Tue. May 20th, 2025

Angkrah dan Bullying yang Dinormalisasi

"Angkrah" karya ST Ekalaksana, Banjar Gaduh, Sesetan, Denpasar saat diarak di malam Pengrupukan, Jumat, 28 Maret 2025. Foto : @ericprima_26

Ulasan Agung Bawantara

Meskipun tak terpilih sebagai juara satu pada kompetisi ogoh-ogoh Kesanga Festival 2025, bagi pera pengagumnya ogoh-ogoh inilah jawaranya. Ogoh-ogoh berjudul “Angkrah” karya Sekaa Teruna Eka Laksana Banjar Gaduh, Sesetan, Denpasar, ini tak hanya kuat dari segi artistik tetapi juga dari kedalaman simbolik dan kepekaannya mengangkat isu sosial yang relevan dan menyentuh: bullying.

Ogoh-ogoh rancangan undagi Putu Sigit Gangga Bayu ini memancarkan energi kuat. Tokoh utama digambarkan sebagai Raja raksasa bertaring, bertubuh besar, duduk dengan posisi mendominasi di atas satu sosok lain yang ditindih dan dicengkeram kepalanya. Dua tokoh pendamping di sisi kiri dan kanan menambah efek dramatis: bukan sebagai penengah, tetapi justru sebagai pendukung, bahkan antek dari kekuasaan tokoh utama. Keduanya memiliki ekor yang bermakna sebagai pengikut atau pengekor yang mengiyakan dan menjalankan apa pun titah sang boss.

Raut wajah tokoh utama begitu ekspresif: sorot mata membara, mulut terbuka dengan deretan gigi tajam, alis menukik tajam—semuanya dirancang untuk menciptakan rasa ancaman yang nyata. Detail anatomi tubuh tokoh pun tak kalah mengesankan. Setiap urat otot, lekukan dada, gerakan tangan, dan posisi kaki ditata presisi dan penuh pertimbangan dramatik. Tidak ada ruang yang kosong dari makna. Semua bagian tubuh berbicara tentang kuasa dan penindasan.

Ketika diarak pada malam pengrupukan, terpaan sorotan lampu dan pantulan cahaya dari ponsel penonton menambah aura mistis dan teatrikal pada karya ini. Saat kepala tokoh utama digerakkan ke kiri dan ke kanan melalui sistem mekanik tersembunyi, publik seakan berhadapan langsung dengan raksasa hidup yang sedang menilai dan memilih siapa yang patut dijadikan korban selanjutnya.

Tentang Bullying dan Budaya Iri Hati

“Angkrah” adalah istilah dalam Bahasa Bali yang nyaris dilupakan. Dalam pemaknaan klasik, angkrah adalah sifat egoistis yang melampaui batas, muncul dari rasa iri hati dan dengki, yang kemudian berkembang menjadi perilaku manipulatif dan perundungan. Ia bukan hanya merasa cukup membenci; ia mengajak orang lain untuk ikut membenci. Angkrah adalah akar dari bullying.

Dalam narasi ogoh-ogoh ini, kita tidak hanya melihat pelaku utama perundungan, tetapi juga para pendukung yang dengan sukarela menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Sosok yang ditindih—simbol korban—tak melawan. Ia adalah cermin dari banyak remaja, pelajar, atau bahkan orang dewasa yang menjadi target karena keunikannya, prestasinya, atau keberaniannya untuk bersinar.

Pesan yang ingin disampaikan oleh tim kreatif dari ST Eka Laksana sangat jelas: tinggilah karena karya dan usaha sendiri, bukan dengan menjatuhkan orang lain. Dalam budaya Bali yang menjunjung harmoni, nilai Tatwam Asi (aku adalah kamu) dan konsep Tri Hita Karana, bullying adalah penghancuran tatanan dasar kehidupan bersama. Dan melalui ogoh-ogoh ini, pesan itu disuarakan lantang.

Cermin Kesabaran dan Inovasi

Ogoh-ogoh ini dikerjakan dalam waktu empat bulan. Proses panjang ini bukan hanya soal teknis pengerjaan, tetapi juga perjalanan spiritual dan sosial dari para pembuatnya. Mereka tidak bekerja sekadar untuk memenangkan lomba, tetapi untuk menciptakan karya yang berbicara. Dengan komitmen tinggi terhadap pelestarian lingkungan, ogoh-ogoh “Angkrah” dibuat dari bahan ramah lingkungan: rotan, kardus bekas, serta ornamen dari bahan-bahan alam seperti bulir beras, jagung, kacang hijau, biji-bijian, dan bahkan irisan jeruk limau.

Ornamen alami ini tidak hanya mempercantik tampilan, tetapi menjadi simbol dari keutuhan dan kesuburan. Dalam kearifan agraris Bali, biji-bijian adalah lambang benih kehidupan dan harapan. Menempelkannya pada tubuh makhluk yang merepresentasikan keburukan menjadi bentuk pembalikan artistik yang halus namun menyentuh.

Sistem mekanik yang memungkinkan kepala tokoh utama bergerak ke kiri dan ke kanan menjadi inovasi tersendiri. Ini memperkuat kesan bahwa tokoh tersebut bukan patung mati, tetapi entitas hidup yang aktif menilai, memantau, bahkan mengancam. Dalam konteks budaya digital, gerakan ini bisa dimaknai sebagai representasi scrolling judgmental—seperti netizen yang menelusuri layar untuk mencari korban berikutnya.

Normalisasi Bullying dan Urgensi Kesadaran Sosial

Dalam konteks global, bullying telah menjadi fenomena sosial yang begitu luas dan kerap kali dianggap biasa. Di Indonesia, menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pada tahun 2023 tercatat lebih dari 2 ribu kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah, dan sebagian besar merupakan kasus perundungan. Sementara itu, laporan UNESCO menyebutkan bahwa hampir satu dari tiga siswa di seluruh dunia pernah mengalami bullying oleh teman sebayanya di sekolah.

Fenomena ini semakin mengkhawatirkan ketika budaya digital memperkuat ruang perundungan melalui media sosial. Studi dari Digital Civility Index Microsoft menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat risiko tertinggi dalam hal perundungan siber. Di ruang maya, bullying bisa berlangsung tanpa kontrol, dengan pelaku yang bersembunyi di balik anonimitas dan korban yang semakin terisolasi.

Yang lebih mengkhawatirkan, banyak masyarakat menganggap bullying sebagai bagian dari “proses pendewasaan” atau “penguatan mental”. Akibatnya, sikap permisif ini justru melegitimasi kekerasan verbal dan psikologis yang menghancurkan kepercayaan diri dan martabat individu.

Dalam konteks inilah ogoh-ogoh “Angkrah” menjadi penting: sebagai pengingat bahwa perilaku angkrah—yang berakar dari iri hati dan kebiasaan menjatuhkan orang lain—harus dilawan, tidak dibenarkan apalagi diwariskan. Ia berbicara kepada nurani publik melalui bentuk, simbol, dan seni yang hidup. {BEKRAF]

 

By Bekraf

Related Post