SEBUAH potret kehidupan dari Pulau Obi, Maluku Utara, hadir di Bali lewat film dokumenter berjudul Ngomi O Obi (Kami yang di Obi). Film ini menceritakan kisah nyata warga yang hidup berdampingan dengan industri tambang nikel berskala global. Ditayangkan perdana di Dharma Negara Alaya, Denpasar, pada Sabtu, 17 Mei 2025, pemutaran ini merupakan kerja sama antara TV Tempo, Badan Kreatif Denpasar, Denpasar Documentary Film Festival (DDFF), dan Yayasan Mukti Bali Gumanti.
Salah satu tokoh sentral dalam film ini adalah Siti Marnia, atau akrab disapa Mama Nia—seorang perempuan 46 tahun yang berhasil membalik tantangan menjadi peluang. Meski tinggal di tengah aktivitas pertambangan nikel dan hilirisasi industri di Pulau Obi, Mama Nia justru meraih penghasilan bersih Rp30 hingga Rp50 juta per bulan dari usaha pertanian dan koperasi yang ia bangun bersama perempuan-perempuan lokal.
“Di film itu, saya bercerita apa adanya. Bukan ada apanya,” ujar Mama Nia di hadapan para sineas muda, mahasiswa, jurnalis, dan pemangku kebijakan di Denpasar. “Saya enggak mau diatur sutradara. Yang kalian lihat, ya, itulah kehidupan saya.”
Film berdurasi satu jam ini merupakan karya dokumenter dari Arfan Sabran, sineas yang telah membawa karyanya ke panggung festival film dunia. Lewat sudut pandang tokoh-tokoh lokal, film ini menampilkan sisi berbeda dari kehidupan masyarakat Pulau Obi—dari kisah sukses pertanian hingga kembalinya nelayan ke laut setelah sempat kehilangan harapan akibat dampak eksploitasi sumber daya.
“Awalnya saya pikir kehidupan di Pulau Obi sangat berat karena alamnya dieksploitasi,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Kota Denpasar, Ni Luh Putu Riyastiti. “Tapi film ini memberi wajah lain: harapan, ketekunan, dan peran perempuan hebat seperti Mama Nia.”
Pemutaran ini juga mendapat apresiasi dari CEO TV Tempo, Anton Aprianto. Ia menegaskan bahwa dokumenter tidak selalu harus memotret sisi kelam. “Tempo memilih pendekatan yang menampilkan sisi positif. Kritik tetap penting, tapi harus berimbang. Jika hanya menyuguhkan sisi buruk, kita kehilangan konteks,” katanya.
Namun pendekatan ini menimbulkan catatan kritis. Struktur narasi film dinilai berbeda dari tradisi jurnalistik investigatif khas Tempo yang biasanya fokus pada konflik dan ketegangan antara pihak-pihak yang bertentangan. Dalam Ngomi O Obi, dari delapan tokoh yang diangkat, hanya tiga yang menyoroti dampak negatif tambang. Sisanya justru mengisahkan manfaat dari hadirnya industri nikel, termasuk reboisasi dan peningkatan ekonomi lokal. Bahkan, rapat teknis proyek dan penjelasan reklamasi mendapat porsi besar, sementara isu lingkungan seperti kematian ikan, banjir bandang, dan hilangnya mata pencaharian nelayan hanya ditampilkan secara singkat melalui tayangan media sosial dan kliping berita. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang muncul di layar namun tak terjawab : Apa yang menyebabkan nelayan Obi kehilangan mata pencarian –bahkan saat diwawancara sudah tak melaut selama setahun? Apa yang menyebabkan banjir bandang terjadi di Obi? Apa yang menyebabkan ikan-ikan mati di perairan Obi?
Pendekatan ini menimbulkan kesan bahwa film lebih condong sebagai alat promosi industri tambang daripada dokumenter investigatif. Hal ini kontras dengan laporan Tempo sebelumnya pada 2 Februari 2022 yang berjudul “Lumpur Penambangan Nikel Mencemari Laut Obi”—sebuah laporan yang menyoroti kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang.
Director of Photography film ini, Nicky N. Soetarto, mengaku tak menyangka keindahan dan kompleksitas Pulau Obi. Ia membagikan tantangan teknis saat syuting, termasuk kesulitan menerbangkan drone karena banyaknya elang, serta perjalanan ekstrem menuju lokasi reklamasi tambang. “Tapi justru pengalaman-pengalaman inilah yang membuat film ini berkesan,” ujarnya.
Ketua Harian Badan Kreatif Denpasar, I Putu Yuliartha, menyambut hangat pemutaran perdana ini. Ia berharap kegiatan semacam ini dapat memperluas wawasan sineas muda Bali tentang kekayaan dan dinamika sosial di daerah lain. “Screening film seperti ini perlu terus digelar untuk memperkuat jejaring kreatif dan membuka ruang dialog,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Mukti Bali Gumanti, Agung Bawantara, menyampaikan bahwa pemutaran ini merupakan bagian dari kesinambungan program dokumenter yang telah dirintis yayasannya selama 17 tahun terakhir. “Kami memilih untuk fokus pada pemutaran film terpilih secara regular. Ini bagian dari menjaga denyut hidup dokumenter,” ucapnya.
Dengan gaya naratif yang berbeda dari ciri khas dokumenter Tempo selama ini, Ngomi O Obi menandai babak baru diskursus visual tentang industri ekstraktif dan kehidupan masyarakat yang bersinggungan langsung dengannya. Di tengah gemuruh mesin tambang, suara-suara lokal seperti Mama Nia menjadi gema yang mengingatkan bahwa kehidupan tetap tumbuh di sela-sela deru eksploitasi—meski pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini potret ketahanan masyarakat, atau justru narasi yang terlalu cepat berdamai dengan kompromi industri? [BEKRAF/Abe]