Oleh IGP Rahman Desyanta
Di ruang tunggu Instalasi Gawat Darurat sebuah rumah sakit daerah, seorang ibu menanti kabar anaknya yang dirujuk dari puskesmas. Dokter terpaksa melakukan pemeriksaan ulang karena sistem informasi antar fasilitas belum sepenuhnya terintegrasi. Di sisi lain, seorang pasien lansia dipindahkan dari rumah sakit swasta ke rumah sakit umum, namun rekam medis tidak terbawa secara lengkap akibat belum adanya sistem integrasi lintas rumah sakit. Sementara itu, klaim BPJS terhambat karena ketidaksesuaian data, dan tenaga administrasi menghadapi tantangan dalam menyelaraskan data manual dan digital secara bersamaan.
Ini bukan fiksi. Di banyak rumah sakit di Indonesia, masih ditemukan bagaimana rekam medis pasien tercecer atau tidak terintegrasi antar fasilitas, verifikasi kredensial dokter yang lambat dan rawan manipulasi, distribusi vaksin atau obat yang tidak akurat dan sulit dilacak, serta sistem klaim asuransi yang lambat dan rawan fraud.
Persoalan-persoalan tersebut bukan sekadar soal teknis, tetapi berdampak langsung pada kualitas pelayanan dan bahkan keselamatan pasien. Di sinilah teknologi blockchain menawarkan solusi nyata.
Blockchain adalah sistem pencatatan digital terdistribusi yang menyimpan data secara aman, transparan, dan tidak bisa diubah (immutable). Setiap transaksi atau perubahan data tercatat dalam blok yang saling terhubung dan diverifikasi oleh jaringan.
Pada konteks rumah sakit, ini berarti: rekam medis pasien dapat disimpan secara terenkripsi dan tidak bisa dimanipulasi, akses data bisa dikontrol oleh pasien dan dicatat siapa mengakses apa, proses validasi seperti kredensial dokter atau klaim asuransi bisa diotomatisasi melalui smart contract, serta informasi antar rumah sakit bisa disinkronkan secara real-time tanpa perlu perantara.
Studi Kasus Dunia
Selama pandemi COVID-19, National Health Service (NHS) Inggris bekerja sama dengan Everyware dan Hedera Hashgraph untuk memantau distribusi vaksin. Sistem ini mencatat suhu penyimpanan vaksin secara real-time dan tidak dapat diubah. Hasilnya: tidak ada vaksin rusak karena kesalahan suhu, distribusi lebih cepat dan transparan, kepercayaan publik meningkat.
Di Amerika Serikat, konsorsium yang terdiri dari Aetna, Humana, MultiPlan, dan Quest Diagnostics menggunakan blockchain untuk verifikasi kredensial tenaga medis secara otomatis, sinkronisasi data lintas rumah sakit, serta mengurangi beban administrasi dan menekan biaya.
Di Estonia, hampir seluruh data kesehatannya sudah terdigitalisasi dan diamankan oleh teknologi blockchain sejak 2008. Pasien bisa mengakses rekam medisnya dan memberi izin akses secara mandiri kepada dokter.
Di Korea Selatan, beberapa rumah sakit seperti Myongji dan Gil Medical Center telah menggunakan blockchain untuk manajemen data medis dan pengembangan riset.
Selain negara-negara di atas, UEA, Kanada, Swiss, India, dan Afrika Selatan juga tengah mengembangkan solusi serupa untuk efisiensi dan keamanan sistem layanan kesehatan mereka.
Bagaimana dengan Indonesia? Negara kita perlu menerapkan teknologi Blockchain di rumah sakit-rumah sakit untuk beberapa alasan mendasar. Pertama, adanya fragmentasi data dan sistem di mana setiap rumah sakit memiliki sistem informasi sendiri. Belum semua terkoneksi dan masih banyak proses manual.
Kedua, keamanan data dan privasi pasien yang sangat ringkih. Kasus kebocoran data medis kerap terjadi. Pada konteks ini, Blockchain memberikan enkripsi dan kontrol akses yang lebih kuat.
Ketiga, efisiensi proses dan pengurangan beban administrasi semakin mendesak untuk dilakukan. Dengan blockchain, verifikasi kredensial dokter, klaim asuransi, atau distribusi logistik medis bisa dipercepat secara drastis.
Keempat, interoperabilitas Nasional dan Daerah untuk sinkronisasi data antarfasilitas, lintas provinsi, bahkan lintas sistem asuransi (BPJS dan swasta).
Semua itu selaras dengan apa yang telah dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dengan meluncurkan platform integrasi data bernama SATUSEHAT serta merespons amanat UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang memberikan kerangka hukum untuk pengelolaan data sensitif.
AI, Rekam Medis, dan Peran Blockchain dalam Menjaga Kepercayaan
Rekam medis menyimpan berbagai informasi penting yang tidak hanya teknis, tetapi juga bersifat personal dan rahasia. Dalam praktiknya, ada banyak tantangan: keterbatasan waktu dokter, usia, atau kemampuan digital membuat pengisian rekam medis tidak selalu lengkap. Bahkan dalam beberapa kasus, proses pencatatan dilakukan oleh perawat, yang sebenarnya bertentangan dengan regulasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis Elektronik, pencatatan dan penandatanganan rekam medis harus dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.
Teknologi AI kini dapat membantu proses ini tanpa membebani dokter. Dengan menggunakan voice recognition dan pemetaan use case berbasis diagnosis atau tindakan medis, AI dapat menangkap percakapan dan aktivitas selama proses pemeriksaan. AI kemudian mengusulkan ringkasan rekam medis secara otomatis kepada dokter, yang kemudian tinggal melakukan verifikasi sebelum disimpan di sistem.
Namun, muncul pertanyaan: Apakah AI bisa dipercaya untuk memproses data medis yang sensitif?
Di sinilah blockchain menjadi kunci kepercayaan. Setiap data rekam medis yang dihasilkan AI akan dicatat secara terenkripsi dalam blockchain. Sebelum AI dapat mengakses atau menggunakan data tersebut untuk pelatihan atau analisis, pasien akan dimintai persetujuan (consent) melalui sistem notifikasi. Dengan demikian, setiap akses AI ke data rekam medis terekam, transparan, dan hanya terjadi sesuai izin pasien.
Baliola telah mengembangkan Medisa, sebuah protokol rekam medis berbasis blockchain yang memastikan kendali rekam medis sepenuhnya berada di tangan pasien. Medisa bukan hanya sistem penyimpanan, tapi juga mekanisme perlindungan data dan manajemen consent berbasis smart contract, memberikan rasa aman bagi pasien dan fleksibilitas bagi tenaga medis. Medisa mengkombinasikan DID protocol yang dibangun diatas jaringan IDCHAIN, jaringan yang dibangun atas kolaborasi Baliola dan PANDI (pengelola nama domain internet Indonesia) dengan smartcontract medical record, memberikan kepastikan keamanan dan mengembalikan hak dari rekam medis tersebut ke pasien sendiri.
Junaidi-ai.id: Masa Depan Dokter dan Intelektualitas yang Abadi
Salah satu inisiatif yang patut mendapat perhatian dalam lanskap transformasi digital layanan kesehatan di Indonesia adalah junaidi-ai.id. Platform ini dibangun oleh kumpulan dokter yang menyadari bahwa masa depan dunia medis akan dibentuk oleh kolaborasi antara kecerdasan manusia dan kecerdasan buatan (AI). Mereka tidak membayangkan AI sebagai pengganti dokter, melainkan sebagai asisten digital pribadi yang mampu memperkuat kapasitas manusia, khususnya para dokter, dalam pengambilan keputusan klinis.
Junaidi berfokus membangun komunitas dokter yang siap menyongsong peradaban baru, di mana AI berperan sebagai mitra kolaboratif. Melalui platform ini, para dokter memiliki asisten AI yang mampu membantu mereka mengelola pengetahuan medisnya secara terstruktur, mendiskusikan kasus dengan pendekatan mirip diskusi dengan mentor senior, dan menyusun skema diagnosis maupun treatment berdasarkan wawasan pribadi si dokter itu sendiri.
Uniknya, setiap Dokter AI yang dibentuk dalam junaidi tidak bersifat generik, melainkan sangat personal. AI ini dilatih dari pengetahuan, pengalaman, dan cara berpikir spesifik dari satu dokter tertentu. Dengan demikian, setiap Dokter AI adalah representasi digital dari intelektualitas si dokter, dan tidak akan pernah sama dengan milik dokter lainnya. Dalam kondisi pasien yang beragam dan kompleks, serta tekanan kerja yang tinggi, keberadaan asisten seperti ini sangat membantu dokter untuk tetap fokus, terstruktur, dan tenang dalam mengambil keputusan. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan dokter manusia, karena pertimbangan medis tidak hanya memerlukan logika, tetapi juga empati, intuisi, dan nilai kemanusiaan.
Dari sisi hak dan perlindungan, di sinilah peran blockchain menjadi sangat penting. Karena Dokter AI adalah bentuk dari intelektual properti si dokter, maka sistem ini dibangun dengan landasan smart contract yang mencatat kepemilikan dan hak atas model AI tersebut. Setiap Dokter AI juga memiliki Decentralized Identifier (DID), sebuah identitas digital yang menyimpan metadata tentang siapa penciptanya, lisensi penggunaannya, hingga peran dan batasannya dalam sistem kesehatan.
Smart contract ini juga berfungsi sebagai sistem tata kelola yang memastikan Dokter AI tidak melampaui perannya sebagai asisten. Ia tidak dapat membuat keputusan tanpa persetujuan dokter, dan setiap akses terhadap Dokter AI dapat ditelusuri dan diverifikasi.
Lebih jauh lagi, Dokter AI membuka kemungkinan baru bagi keberlanjutan pengetahuan medis. Ketika seorang dokter pensiun atau bahkan telah wafat, ilmunya tetap hidup melalui Dokter AI-nya. Junior dan mahasiswa kedokteran dapat terus belajar dari pengalaman dan pemikiran sang dokter melalui AI yang ia ciptakan. Dengan adanya sistem pencatatan berbasis blockchain, seluruh kontribusi ini dapat diakui dan dihargai secara ekonomi dan sosial, bahkan menjadi bentuk “amal jariah digital” yang manfaatnya bisa diwariskan kepada keturunan sang dokter.
Inilah bentuk nyata dari digital twin yang dipersonalisasi, sebuah representasi digital manusia yang dibangun dengan nilai, ilmu, dan pengalaman nyata, lalu diperkuat dengan teknologi blockchain sebagai pelindung integritas dan hak atasnya. Sebuah langkah konkret menuju masa depan layanan kesehatan yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan adil bagi para tenaga medis.
Tantangan Implementasi
Memang ada beberapa tantangan jika sistem ini hendak diterapkan di Indonesia. Tetapi bukan berarti hal itu menjadi alasan untuk menjauhinya, melainkan untuk mengenali persoalan agar tepat dalam mengambil langkah.
Adapun beberapa tantangan tersebut antara lain: literasi digital tenaga medis dan manajemen rumah sakit; kesiapan SDM dan infrastruktur digital; biaya implementasi awal pada infrastruktur dan pelatihan untuk penerapan teknologi ini; regulasi teknis dan standar Nasional; serta perlunya pendekatan komunikasi dan pelatihan yang adaptif untuk mendampingi proses perubahan.
Rekomendasi Implementasi untuk Indonesia
Untuk membantu meningkatkan layanan Kesehatan, maka implementasi teknologi baru seperti Blockchain dan AI harus dipetakan dengan baik. Untuk dapat melakukan ini, diperlukan adanya pilot project terbatas dimulai dari RSUD besar atau rumah sakit rujukan nasional.
Adapun penerapan awalnya lebih difokuskan pada satu fungsi dulu misalnya kredensial tenaga medis atau distribusi vaksin. Bisa juga integrasi dengan SATUSEHAT di mana Blockchain menjadi pelindung dan penguat integritas data yang dikumpulkan oleh SATUSEHAT dan AI membangun knowledge dari kasus tersebut.
Agar berjalan baik, kolaborasi multi-pihak sangat diperlukan. Pemerintah perlu menggandeng startup lokal, universitas, pemerintah daerah, dan BUMN farmasi. Selanjutnya, sosialisasi dan pelatihan sangat perlu dilakukan untuk membangun kesadaran dan pemahaman teknis bagi tenaga kesehatan dan manajer rumah sakit.
Tak kalah pentingnya adalah penyiapan ekosistem di mana Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, OJK dan Kominfo, serta lembaga riset dan asosiasi profesi tercakup di dalamnya.
Penutup
Teknologi blockchain dan AI tidak akan menggantikan dokter atau perawat. Tapi ia dapat menjadi infrastruktur kepercayaan yang mendukung mereka untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa. Ketika data benar, aman, dan mudah diakses; ketika proses administratif tidak lagi menyita waktu tenaga medis; ketika distribusi vaksin dan obat dapat dipantau secara real-time—saat itulah kita sedang membangun rumah sakit masa depan.
Indonesia tidak harus menunggu semua sempurna untuk mulai. Yang dibutuhkan adalah visi, keberanian, dan strategi. Jika negara seperti Estonia, Inggris, dan bahkan Bangladesh telah memulainya, Indonesia pun bisa. Sudah saatnya blockchain dan AI menjadi tulang punggung sistem informasi kesehatan yang kuat, adil, dan transparan.[]