Sun. Jun 15th, 2025

Mamah Warak, Menjinakkan Badak dalam Diri

Mamah Warak saat di arak di Catus Pata Kota Denpasar, Jumat 28 Maret 2025. Foto: @gstsriwii_dokumentasi

 

Ulasan Agung Bawantara

Mungkin saja, ogoh-ogoh bertajuk Mamah Warak yang diusung Sekaa Teruna Dharma Cita, Banjar Abiankapas Tengah, Denpasar, ini adalah salah satu ogoh-ogoh dengan konstruksi paling ekstrem tahun ini. Ukurannya besar dan massif, komposisi figurnya kompleks. Dirancang oleh undagi muda bernama Dwi Aga Yogi Swara, karya ini tampil sebagai sebuah pencapaian multidisipliner antara seni rupa, arsitektur kinetik, sejarah kerajaan Bali, dan filsafat Hindu.

Konstruksi karya ini dibangun dalam empat level vertikal yang berjenjang, menciptakan kesan visual yang dramatis sekaligus menantang secara teknis. Jenjang pertama menampilkan kulit seekor badak yang digelar di tanah yang dijadikan dasar dari seluruh struktur. Di atasnya, jenjang kedua menunjukkan dua abdi kerajaan yang memegang kepala badak—simbol dari persembahan utama. Jenjang ketiga memperlihatkan sosok laki-laki tua berambut putih panjang yang digelung, mengenakan sarung putih dan selendang gringsing, berdiri menginjak kepala badak sebagai bagian dari upacara inisiasi spiritual. Dan akhirnya, di jenjang keempat, berdirilah sosok raksasa dengan tiga kepala dan bertangan enam: makhluk yang menguasai ruang, melambangkan kekuatan destruktif dan misterius.

Tantangan utama dari konstruksi ini adalah menciptakan struktur yang seimbang, tidak hanya secara estetika, tetapi juga secara fisik. Perbedaan skala antara masing-masing jenjang sangat besar, terutama ukuran raksasa yang hampir enam kali lebih besar dari figur manusia di bawahnya. Penyangga internal, sistem distribusi beban, serta titik-titik pusat gravitasi harus dirancang secara presisi, barangkali menggunakan teknik struktur baja ringan atau rekayasa busa dan rangka galvanis. Fakta bahwa ogoh-ogoh ini mampu berdiri tegak, dan bahkan kemungkinan besar sempat diarak, merupakan pencapaian luar biasa yang layak menjadi studi kasus dalam seni rupa teknik kontemporer Bali.

Visual yang Sarat Narasi
Secara visual, Mamah Warak adalah sebuah narasi tiga dimensi. Dari kejauhan, yang pertama tertangkap adalah sosok raksasa dengan tiga kepala: satu kepala badak di tengah, diapit oleh dua kepala manusia bertaring yang menunjukkan ekspresi kemarahan dan nafsu. Keenam tangannya membentuk komposisi menyerupai dewa-dewa dalam ikonografi Hindu, tetapi bukan untuk memberkati, melainkan untuk menguasai dan menekan.

Enam tangan ini menyimbolkan konsep Sad Ripu dalam ajaran Hindu, yakni enam musuh utama dalam diri manusia: kama (nafsu), lobha (keserakahan), krodha (amarah), moha (kebingungan atau delusi), mada (keangkuhan), dan matsarya (iri hati). Dalam bentuknya yang simbolik, tangan-tangan ini menggambarkan betapa kuat dan liarnya energi destruktif yang bisa muncul dari dalam jiwa manusia.

Salah satu tangan kirinya tampak mengelus pundak sang pendeta tua—gestur ambigu yang bisa dibaca sebagai godaan, tekanan, atau justru restu dari kekuatan tak terdefinisikan. Sang pendeta, dengan ekspresi tenang dan penuh kebijaksanaan, berdiri di atas kepala badak sembari memandang ke depan, menyiratkan bahwa ia telah menaklukkan hewan itu secara spiritual. Warna, tekstur, dan detail dari kulit, rambut, pakaian, hingga otot dan luka pada badan badak, semuanya dikerjakan dengan presisi artistik yang mengundang decak kagum.

Filosofi dan Simbolisme
Filosofi utama dari ogoh-ogoh ini berakar pada konsep Hindu tentang pertarungan antara kekuatan tamasik (kegelapan, kebodohan) dan sattvik (kebijaksanaan, kesucian). Raksasa Mamah Warak adalah manifestasi dari sifat tamasik dan rajasic—gabungan dari nafsu, kemarahan, dan ketamakan. Kepala badak di tengah mewakili insting liar yang bahkan lebih purba dari sifat manusia. Dalam konteks ini, badak menjadi simbol dari sifat kebinatangan yang sangat kuat dan sangat sulit ditaklukkan—sebuah metafora tentang naluri dasar yang keras kepala, penuh dorongan primitif, dan menuntut kekuatan spiritual luar biasa untuk dapat dikendalikan. Dua kepala bertaring di sisi kanan dan kiri adalah alegori dari manusia yang kehilangan kendali diri.

Sementara itu, figur pendeta tua melambangkan transformasi spiritual tertinggi, yakni saat manusia mampu menaklukkan seluruh naluri liarnya untuk mencapai moksha atau pembebasan. Gestur menginjak kepala badak adalah simbol dari penaklukan atas ego dan keinginan duniawi. Sarung putih dan selendang gringsing yang dikenakannya menandakan kesiapan untuk menjalani upacara mediksa, sebuah prosesi sakral dalam tradisi Hindu Bali untuk mengangkat seseorang menjadi pendeta.

Meligya dan Diplomasi Raja Klungkung
Ogoh-ogoh ini bukan hanya alegori filosofis, tetapi juga cerminan dari kisah sejarah nyata. Pada tahun 1938, pasangan raja dan ratu Kerajaan Klungkung—Ida I Dewa Agung Putra dan Ida I Dewa Agung Istri Kania—menyelenggarakan upacara Meligya berkelas “Utamaning Utama”. Ini adalah bentuk paling tinggi dari upacara Pitra Yadnya, yang bertujuan menyucikan roh leluhur agar mencapai status sebagai Dewa Pitara.
Salah satu unsur utama dari upacara ini adalah Caru Titi Mamah, di mana kepala badak digunakan sebagai persembahan tertinggi. Atas permintaan Ida I Dewa Agung Istri Kania, seekor badak hidup didatangkan dari Ujung Kulon oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bentuk aliansi strategis dan penghormatan terhadap kerajaan Bali. Kepala badak itu lalu ditempatkan dalam banten caru dan diinjak oleh sang raja serta calon pendeta sebagai bagian dari prosesi penyucian dan mediksa.
Melalui karya ini, ST Dharma Cita selain menghadirkan ogoh-ogoh yang megah, juga menghidupkan kembali memori sejarah yang sangat penting dalam budaya dan spiritualitas Bali.

Konteks Sosial dan Refleksi Zaman
Di tengah situasi sosial saat ini—di mana dunia diwarnai oleh ketamakan, kerusakan alam, krisis identitas, dan kepemimpinan yang kerap kehilangan arah—”Mamah Warak” tampil sebagai peringatan simbolik. Ia mengingatkan kita bahwa tanpa penaklukan terhadap sisi gelap dalam diri sendiri, segala kemajuan hanya akan menjadi pemujaan terhadap kekuatan destruktif.
Sosok Mamah Warak juga dapat dibaca sebagai representasi dari “monster kolektif” yang muncul dari ketidakseimbangan sosial: egoisme yang merajalela, kemiskinan spiritual, dan kelumpuhan etis di berbagai tataran kehidupan. Dalam konteks ini, sosok pendeta tua dan dua abdi di bawahnya menggambarkan harapan: bahwa melalui jalan dharma dan kebijaksanaan leluhur, kita masih bisa berdiri dan menatap masa depan. [BEKRAF]

By Bekraf

Related Post