Tue. May 20th, 2025

Agni Tandava, Magma yang Minim Narasi

Ogoh-ogoh "Agni Tandava" karya STYowana Sawitra, Banjar Abiantimbul, Desa Pemecutan Kelod, Saat diarak pada acara puncak Kesanga Festival 2025 di Catus Pata Kota Denpasar,Jumat (28/3/2025). Foto Kolase : Dok.

 

Ulasan Agung Bawantara

 

Ogoh-ogoh bertajuk “Agni Tandava” karya ST Yowana Sawitra dari Banjar Abian Timbul, Pemecutan Kelod, mencuri perhatian dalam pawai Pangrupukan Denpasar 2025 bukan karena sosoknya yang seram seperti lazimnya ogoh-ogoh, tetapi justru pada ketampanan dan ketenangannya. Sosok utama ogoh-ogoh ini berdiri dengan wibawa, tidak mengumbar ancaman, melainkan menampilkan kehadiran yang memancar dari dalam. Dalam ketenangan dan ketampanannya, tersimpan kekuatan yang mendalam—ibarat magma yang tersembunyi di balik indahnya bentuk gunung. Ia tak menjerit, tak menerkam, tetapi justru menggetarkan melalui diam dan sorotan matanya.

Salah satu keunikan teknis dari ogoh-ogoh ini adalah penggunaan sistem mekanik yang memungkinkan seluruh figur berputar pada porosnya. Gerakan rotasi ini menjadikan karya tampil dinamis meski diam di tempat. Penonton yang berdiri di satu titik dapat menyaksikan seluruh sisi ogoh-ogoh secara menyeluruh tanpa harus berpindah posisi. Ini memberikan pengalaman visual yang menyeluruh dan mengesankan. Selain itu, terdapat elemen bergerak lainnya berupa cakra di tangan kanan tokoh utama yang diputar dengan bantuan sistem mekanis tersembunyi, menambah kekuatan simbolik dan daya hidup dari sosok yang ditampilkan. Di bagian puncak sandaran singgasana, cahaya lampu dengan efek menyerupai kobaran api memperkuat kesan bahwa figur ini bukan hanya menyala secara metaforis, tetapi juga secara harfiah. Efek flaming tersebut berpadu dengan konsep Agni sebagai unsur pembakar dan penyucian, menjadikan keseluruhan karya sebagai pengalaman multisensori yang mengesankan.

“Agni Tandava” menampilkan satu figur utama yang menggambarkan Dewa Siwa dalam wujud Rudra, penari ilahi dalam tarian kosmik penghancuran. Postur tubuhnya tidak diam simetris, tetapi terpilin dalam gerakan spiral. Satu kaki terangkat, tangan-tangan menyebar dalam komposisi asimetris yang memperlihatkan ketegangan dinamis.

Tata rambut, gelung, dan aksesorisnya sebagaimana layaknya tampilan tokoh-tokoh pewayangan di Bali, tapi ada ornamen api yang menjulur di beberapa titik. Ornamen itu tidak sekedar sebagai dekorasi tambahan, tetapi terintegrasi dalam tubuh tokoh. Lidah-lidah api bukan sekadar sebagai asesoris, tetapi seolah melecat dari tubuh mereka, memberi kesan gerakan (motion) pada ogoh-ogoh seperti percikan api yang terjadi pada sesuatu yang bergerak dengan kecepatan tinggi.

Mahkota, gelang lengan, dan kilatan cahaya dari “mata ketiga” yang dipahat dengan detil, menjadi kekuatan visual utama. Dalam komposisi ini, “Agni Tandava” lebih mirip patung hidup dari epos mitologi dibanding ogoh-ogoh konvensional.

Artistik dan Teatrikal

Ada keberanian dalam membekukan tarian ke dalam satu momen klimaks. Ini bukan tarian biasa, tapi tandava—tarian kosmik Dewa Siwa yang dipercaya sebagai ritme semesta: lahir, hidup, mati, dan lahir kembali. ST Yowana Sawitra menangkap momen ini bukan dengan gerak, tetapi dengan bentuk. Dan mereka berhasil. Tidak banyak ogoh-ogoh yang berhasil membekukan gerak seintens ini dalam satu figur.

Teknik pewarnaan menjadi kekuatan lain yang menonjol. Alih-alih pewarnaan datar, ogoh-ogoh ini menampilkan gradasi merah-oranye-kuning yang dirampungkan dengan teknik airbrush dan sentuhan detail pada tepian lidah api. Efek ini menciptakan ilusi cahaya yang menyala dari dalam. Dengan kejelian pada anatomi dan ketegangan otot, karya ini membawa penonton pada rasa kagum bukan karena kemegahannya saja, tetapi karena presisi rasa dan bentuk yang dihadirkan.

 Filosofi dalam Bentuk

Dalam kepercayaan Hindu di Bali, Dewa Siwa dalam wujud Rudra sering disebut sebagai Siwa-Rudra, penjaga penjuru barat laut dalam kosmos. Ia bukan sekadar dewa penghancur, tetapi juga dewa pemurni. Kaum pande atau para empu keris memujanya sebagai kekuatan yang membakar dan melebur unsur kotor dalam logam untuk melahirkan bentuk baru yang sakral. Di bawah vibrasi Siwa-Rudra, besi dilebur dan ditempa agar menjadi keris pusaka—senjata sakral yang bukan sekadar senjata fisik, melainkan simbol ketajaman pikiran dan kesadaran. Maka ogoh-ogoh ini, yang menampilkan figur Rudra dalam tarian agni tandava, bukan hanya merepresentasikan kekuatan destruktif, melainkan juga kekuatan transformasi menuju keagungan batin.

“Agni Tandava” bukan sekadar api yang membakar. Ini adalah nyala spiritual yang menghancurkan keterikatan, membakar ilusi, dan menyingkap lapisan terdalam batin manusia. Dalam konteks ini, api tidak dimaknai secara destruktif, tetapi sebagai alat transendensi. Pose tubuh tokoh utama seperti mengajak penonton untuk turut menari dalam ritme perubahan. Ia menantang: maukah kau terbakar agar bisa menjadi terang?

Tarian tandava sendiri merupakan simbol dari lima aktivitas kosmis Dewa Siwa: penciptaan (srishti), pemeliharaan (sthiti), penghancuran (samhara), penyamaran (tirobhava), dan anugerah (anugraha). Kelima aspek ini terlihat dalam postur tangan, arah mata, dan penggambaran wajah yang ambigu antara amarah dan belas kasih. Inilah kejeniusan simbolik yang tak banyak ditemukan dalam ogoh-ogoh kontemporer lainnya.

 Kekuatan teknis ogoh-ogoh ini terletak pada keseimbangan antara beban dan struktur. Pose spiral yang kompleks dan penuh tekanan distribusi berat tidak menyebabkan instabilitas. Ini menunjukkan kemampuan tim kreatif dalam merancang rangka internal yang kokoh namun fleksibel. Material yang digunakan, dari styrofoam keras, resin ringan, hingga bahan-bahan sintetis lentur untuk rambut dan lidah api, dipilih dengan presisi. Ada pemahaman mendalam akan keterbatasan bahan lokal dan bagaimana menyulapnya menjadi bentuk mitologis yang hidup.

Teknik finishing juga patut diapresiasi. Tak ada bagian yang terasa dikerjakan tergesa-gesa. Bahkan bagian belakang—yang sering diabaikan—menunjukkan kualitas pengerjaan yang konsisten. Penanganan tekstur kulit, kilapan pada mata ketiga, hingga kerut pada dahi dan leher, memperlihatkan perhatian tinggi pada detil.

Minim Narasi

Sayangnya, di balik kekuatan bentuk dan simbolisme itu, terdapat kekosongan yang mengganggu: ketiadaan narasi pendamping. Baik dalam bentuk teks, rekaman suara, dokumentasi visual resmi, maupun narasi lisan yang terstruktur, “Agni Tandava” seperti dibiarkan berbicara sendiri di tengah keramaian yang memekakkan. Tak tersedia tafsir resmi, tak ada dokumentasi yang membedah makna di balik bentuk. Bagi penonton umum, ini menciptakan jarak yang terlalu jauh. Bagi peneliti dan peminat serius, ini menciptakan frustrasi.

Dalam konteks perkembangan ogoh-ogoh sebagai seni urban yang kian kompleks, ketidaktersediaan narasi resmi atau materi penunjang adalah kekurangan yang nyata. Ia menyulitkan siapapun yang ingin menjadikan karya ini sebagai objek pembelajaran, pembacaan simbolik, atau bahkan sebagai studi visual. Karya ini begitu matang dari sisi visual dan struktur, tetapi seperti dibiarkan yatim dalam ranah interpretasi.

“Agni Tandava” layak menjadi bahan kajian dalam diskursus seni rupa kontemporer Bali, tetapi ia gagal menyediakan ruang masuk yang memadai. Narasi tak harus selalu panjang, tetapi bisa hadir sebagai brosur, caption resmi, atau QR code yang terhubung ke video interpretatif. Di era digital, absennya hal-hal ini bisa diartikan sebagai kealpaan dalam memelihara nilai intelektual karya. [BEKRAF]

 

By Bekraf

Related Post