Ulasan Agung Bawantara
“Tattwaning Kalisangara” karya Sekeha Teruna (kelompok Pemuda) Yowana Pratyaksa, Banjar Bualu, Badung, boleh dibilang salah satu ogoh-ogoh yang paling hebat tahun ini dengan tampilan yang spektakuler. Tidak semata karena ukurannya yang menjulang atau sosoknya yang garang, melainkan karena cara ia berdiri melawan gravitasi bumi. Ogoh-ogoh ini adalah seni yang dikawal oleh teknik. Dengan tinggi lima meter dan bobot lebih dari satu ton, ogoh-ogoh ini tetap mampu berdiri kokoh. Strukturnya tidak hanya menjulang tetapu jug amembentang. Dengan penempatan sosok-sosok secara bertingkat dan komposisi yang kompleks ogoh-ogoh ini cukup kuat melawan hukum gravitasi bumi. Dan itulah salah satu kehebatannya.
Rangka ogoh-ogoh ini disusun dari besi. Besi-besi itu dilas satu per satu, disambungkan seperti merakit mesin. Pada rangka itulah ditempatkan jalinan bambu—disebut ulat-ulatan—membentuk tubuh. Jalinan ini bukan anyaman sembarangan. Ia adalah tulang dan otot. Ia menyangga dan membentuk. Ia harus lentur sekaligus kaku. Harus kuat sekaligus presisi. Salah satu saja goyah, maka seluruh struktur bisa runtuh.

Judul “Tattwaning Kalisangara” berasal dari tiga kata kunci dalam bahasa Sanskerta dan Bali: “tattwa” yang berarti hakikat atau inti kebenaran; “kali” yang merujuk pada Kaliyuga, zaman penuh kegelapan dan kemerosotan moral; dan “sangara” atau “sanghara” yang bermakna kegaduhan, kekacauan, atau kerusakan besar. Jika digabungkan, “Tattwaning Kalisangara” bisa dimaknai sebagai “hakikat dari kekacauan zaman”, atau lebih dalam lagi, sebagai cermin bagi dunia kita yang sedang dikuasai oleh kebisingan, kemarahan, dan kebingungan batin.
Terkait judul, ogoh-ogoh ini mengangkat konsep Sad Ripu, enam musuh dalam diri manusia yang sering kali menghalangi perjalanan menuju Kebajikan, terutama di zaman Kalisangara. Setiap tokoh dalam ogoh-ogoh ini memiliki makna mendalam. Ada Krodha, si pemarah berkulit merah dengan wajah menganga; Lobha si rakus berkepala babi dengan keserakahan luar biasa; Kama, sosok bermata banyak dengan hasrat atau nafsu yang berlebihan terhadap kenikmatan duniawi; Mada, sosok bertopeng bangsawan yang menyimpan segunung kesombongan dan rasa superioritas yang berasal dari ego yang besar; dan Moha, si bingung yang melayang di antara kabut pikirannya sendiri dan terikat pada ilusi duniawi. Semua sosok tersebut mengelilingi satu tokoh utama: Bhutaning Kala.

Bhutaning Kala berdiri paling tinggi. Tubuhnya besar, bersayap, dan bertangan enam. Di salah satu tangan kanan, ia menenteng empat kepala. Tak jelas apakah ini lambang kasta, penjuru, atau hanya pertunjukan kuasa. Sayapnya lebar, bulu-bulunya bersinar keemasan dalam gelap, dan bergerak naik turun. Wajahnya keras, matanya menyala, taring mencuat keluar, seakan hendak menelan apa saja di depannya.
Setiap sosok dibuat dengan detail luar biasa. Krodha dengan urat yang menggembung dan kuku yang mencakar langit. Kama yang tubuhnya seperti lukisan surreal, penuh mata yang menatap balik ke arah penonton. Mada yang seolah raja, tapi retak dan condong, seperti kesombongan yang hendak jatuh. Lobha yang berminyak dan tambun, mencengkeram harta dan daging. Matsarya yang menyala dan siap menyerang, dan Moha yang seperti anak hilang di antara asap.

Konstruksinya bukan main-main. Mesin digerakkan dengan kontrol otomatis. Sayap bergerak. Lampu menyala dari dalam dada. Kabut buatan menyelimuti dasar. Total biaya: 140 juta rupiah. Tapi di balik angkanya, ada gotong royong. Ada anak-anak muda Banjar Bualu yang tidak tidur selama berhari-hari. Yang menganyam, memahat, melukis, menjahit, dan menyambung satu per satu bagian tubuh dari pagi ke malam, dari malam ke pagi.
Namun, seperti karya seni besar lainnya, ada juga celah yang bisa disorot. Sad Ripu adalah tema besar, dan terlalu sering diangkat. Hampir semua orang di Bali tahu bahwa manusia punya enam musuh batin. Semua bisa menyebutnya satu per satu. Tapi tak banyak yang memberi makna baru. Di titik inilah, Tattwaning Kalisangara terasa sedikit kehilangan konteks. Ia menggetarkan secara visual, tapi belum menggigit secara gagasan. Apa hubungan enam musuh ini dengan kehidupan hari ini? Mengapa tak dikaitkan dengan realitas digital, media sosial, atau bahkan krisis solidaritas zaman ini?

Bayangkan jika Krodha bukan sekadar pemarah, tapi simbol ujaran kebencian di media sosial. Jika Matsarya bukan cuma iri, tapi kecemburuan antar komunitas kreatif. Jika Moha bukan hanya bingung, tapi representasi dari hoaks dan kabut informasi. Maka, ogoh-ogoh ini tak hanya spektakuler secara fisik, tapi juga relevan secara sosial. Ia akan menjadi cermin, bukan hanya bagi batin, tapi juga bagi zaman.
Tattwaning Kalisangara tetaplah karya luar biasa. Ia menyatukan teknik dan estetika tinggi dengan semangat kolektif. Namun seperti semua karya besar, ia menyisakan ruang untuk refleksi: bahwa seni tidak hanya butuh keterampilan dan semangat, tapi juga sudut pandang yang tajam, yang berani menggali luka zaman.[BEKRAF/Abe]