DALAM diskusi terbuka yang berlangsung hangat di sebuah kafe kreatif di Denpasar pada Senin (26/5/2025) petang, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Irene Umar, dan CEO Baliola sekaligus Founder Mandala Chain, IGP Rahman Desyanta, membahas masa depan blockchain di Indonesia, khususnya dalam konteks pengembangan ekonomi kreatif.
Irene Umar, yang dikenal sebagai tokoh penting dalam industri blockchain global dan pendiri platform W3GG, menegaskan bahwa blockchain adalah “the next level of the Internet.” Teknologi ini membuka peluang baru untuk keamanan, transparansi, dan desentralisasi yang akan menjadi pondasi ekonomi digital Indonesia. Namun, ia juga menyoroti absennya stable coin di Indonesia sebagai hambatan serius.
“Kalau tidak ada stable coin, bagaimana bisa bertransaksi? Kita bisa membangun sistem canggih, tapi akan mandek kalau tidak ada jembatan ke sistem pembayaran yang stabil,” tegas Irene.
Sementara itu, IGP Rahman Desyanta yang akrab disapa Anta mengangkat perspektif lebih dalam soal pentingnya pendekatan berbasis use case lokal. Menurutnya, teknologi tidak akan berarti apa-apa jika tidak menjawab persoalan nyata masyarakat.
“Kami di Mandala Chain membangun blockchain bukan demi hype, tapi demi solusi,” jelas Anta.
Ia memaparkan sejumlah sektor yang kini tengah digarap oleh timnya:
- Layanan kesehatan: dengan blockchain, rekam medis dapat tersimpan secara terenkripsi dan aksesnya dikendalikan oleh pasien. Ini mendukung efisiensi klaim asuransi dan perawatan lintas fasilitas kesehatan.
- Identitas digital: melalui kerja sama dengan PANDI, proyek IDCHAIN Mandala Chain tengah membangun sistem identitas digital terdesentralisasi untuk layanan keuangan, pendidikan, hingga pemerintahan.
- Ekonomi kreatif: melalui Baliola, blockchain digunakan untuk perlindungan hak cipta dan perdagangan karya seni digital (NFT), menjamin seniman lokal tetap memiliki kendali atas karyanya.
- Tokenisasi aset nyata: seperti emas dan produk lokal lainnya, guna memperluas akses investasi digital masyarakat kecil.
Namun, Anta mengakui bahwa semua itu masih menghadapi hambatan besar: belum adanya kerangka legal yang mengakomodasi stable coin.
“Saat kita ingin menjembatani UMKM dan adat ke dunia blockchain, kita seperti membangun jembatan tanpa ujung jika tidak ada stable coin yang bisa menjamin nilai tukar dalam transaksi digital,” keluhnya.
Irene Umar pun menanggapi hal tersebut dengan membuka peluang dialog lebih luas antara pemerintah dan komunitas. Ia menegaskan bahwa Kemenparekraf tidak ingin bersikap sok tahu dan akan terus membuka ruang konsultasi publik untuk memastikan bahwa pengembangan teknologi seperti blockchain tidak meninggalkan pelaku industri di daerah.
Irene juga mendukung wacana penambahan subsektor ke-18 dalam daftar ekonomi kreatif, yakni “Teknologi Terbarukan”, yang mencakup blockchain dan kecerdasan buatan (AI). Ia percaya Indonesia bisa menjadi pemimpin di kawasan ini, tetapi hanya jika regulasi dan infrastrukturnya mendukung.
Pertemuan ini mencerminkan urgensi untuk membangun ekosistem blockchain yang adil, fungsional, dan berbasis lokalitas. Rahman menutup dengan pernyataan reflektif, “Kita tidak bisa terus menunggu sistem sempurna dari pusat. Kita mulai saja dari sini, dari komunitas, dari Bali, sekarang.”
Dengan sorotan dari Denpasar, narasi tentang blockchain Indonesia semakin jelas: bukan sekadar mengejar tren global, tapi menjawab kebutuhan lokal — dan itu semua harus dimulai dengan fondasi yang stabil, termasuk kehadiran stable coin. [BEKRAF/Abe]