Sun. Jun 15th, 2025

Simfoni Peringatan, Perlawanan, dan Pemulihan Bernama Avajña

 

Ulasan : Agung Bawantara

DUA sosok raksasa berbulu cokelat kehitaman tampak tengah mengamuk. Mulutnya menyeringai, matanya melotot, dan tangan-tangan mereka berusaha mencengkeram bagian apa saja dari tubuh manusia di hadapannya. Di sekeliling keduanya, tiga laki-laki (Bali) bertelanjang dada terpental dari amukan keduanya. Ketiganya tampak jumpalitan. Satu orang terpelanting ke udara, satu lainnya terkapar di antara kaki-kaki kedua raksasa dengan tangan digamit oleh salah satu raksasa itu, sedangkan satu terjelungup di tanah dengan lutut tercengkram tangan raksasa. Semua figur ini dirangkai membentuk gerakan berkelok seperti huruf “S”, menciptakan ilusi pertempuran yang melayang di udara. Komposisinya mengalir dari bawah ke atas. Semua menunjukkan kekalahan manusia seperti siklus spiral yang tak yang selalu kembali ke awal. Inilah Avajña, ogoh-ogoh karya Sekaa Teruna (ST) Adhi Kusuma, Banjar Tegal Kuwalon, Sumerta Kaja, Denpasar Timur.

Ogoh-ogoh yang dibuat dengan detail yang luar biasa ini menyampaikan pesan yang kuat. Nama Avajña diambil dari bahasa Sanskerta, yang berarti merendahkan nasihat atau menolak kebenaran yang dianggap otoritatif. Sebuah sikap yang meremehkan nilai-nilai hidup.

Simfoni Kekacauan dan Ketakberdayaan
Secara komposisi, Avajña membentuk garis spiral melengkung menyerupai huruf “S” yang bergerak dari bawah ke atas. Bentuk ini menciptakan kesan gerak yang mengalir dan terus berulang, seperti siklus kekalahan yang tak berujung. Tidak ada perlawanan dalam komposisi ini. Ketiga laki-laki Bali yang muncul di sekeliling dua raksasa bukanlah pejuang, melainkan korban.

Satu sosok terpelanting ke udara, tubuhnya terjengkang dengan wajah menghadap langit. Sosok kedua tergeletak di antara kaki kedua raksasa, tangannya digamit paksa. Sosok ketiga terjerembap di tanah, lututnya dicengkeram oleh tangan kekar sang raksasa. Semua tubuh manusia ini menggambarkan ketakberdayaan total, terpental, terjepit, dan tergenggam. Tidak satu pun yang sedang melawan.

Gerakan tubuh para tokoh, posisi kaki dan tangan, serta arah pandangan mereka memperkuat kesan dominasi total dari para raksasa. Komposisi ini tidak menawarkan harapan tentang kemenangan manusia atas kekuatan gelap, melainkan menggambarkan situasi ketika manusia gagal menjaga kewaspadaan dan akhirnya dihancurkan oleh kekuatan yang mereka remehkan sendiri. Inilah tragedi Avajña yang divisualkan dengan kejujuran dan keberanian bentuk.

Dari sisi teknis, keterhubungan antar sosok — baik dalam gestur cengkeraman raksasa maupun posisi terhempasnya tubuh-tubuh manusia — merupakan siasat arsitektural yang cermat. Jalinan tangan dan tubuh ini secara strategis menutupi rangka besi di baliknya, yang menjadi tulang punggung struktur ogoh-ogoh. Rangka tersebut kemudian dibalut dengan anyaman bambu, kertas, dan kulit buah-buahan seperti kulit nangka dan nanas. Pendekatan ini bukan hanya menunjang kekuatan visual, tetapi juga mencerminkan kecerdikan teknis dan kepedulian terhadap penggunaan bahan alami yang ramah lingkungan.

Asuri Sampad

Dalam ajaran Hindu, dikenal sifat asuri sampad yaitu kecenderungan batin manusia menuju kekacauan: iri, marah, angkuh, sombong, dan penuh kebencian. Dalam teks Lontar Siwagama kekuatan adharma itu digambarkan dalam bentuk sosok raksasa Buta Kedap dan Buta Kilap yang merasuki manusia. Buta Kedap melambangkan ketidaktahuan dan keangkuhan, sementara Buta Kilap melambangkan gemerlap semu yang menipu batin.

Di era digital ini, buta-buta itu tidak hanya ada dalam cerita — mereka hidup dalam bentuk algoritma yang memperkuat polarisasi, komentar-komentar penuh kebencian, budaya saling menjatuhkan, dan gaya hidup yang merayakan kemewahan tanpa makna. Avajña menangkap esensi ini dan mengangkatnya dalam bentuk simbolik: raksasa kera yang mewakili sifat-sifat destruktif tersebut.

Tiga manusia yang bertarung melawan mereka bukan hanya representasi fisik dari pertarungan, tetapi juga simbol dari tiga reaksi manusia modern terhadap kekacauan: ada yang menyerang langsung, ada yang bertahan dengan strategi, dan ada yang merangkak dari keterpurukan sambil menggenggam harapan.

Estetika yang Ramah Lingkungan

Salah satu terobosan penting dari Avajña adalah keberanian tim kreator menggunakan bahan limbah sebagai bahan utama ogoh-ogoh. Limbah kulit nangka dan kulit nanas, yang biasanya berakhir di tempat sampah pasar-pasar Denpasar, dikumpulkan, dikeringkan, dan diproses menjadi elemen utama pembuatan tubuh raksasa dan tekstur ogoh-ogoh. Pilihan ini bukan hanya pertimbangan ekologis, tetapi juga simbolik: dari hal yang hina dan dibuang, lahirlah karya yang agung.

Dalam hal ini, para pemuda Adhi Kusuma telah melampaui batas fungsi artistik. Mereka menjadikan proses kreatif sebagai medium edukasi dan advokasi: bahwa seni bisa lahir dari kesadaran ekologis, bahwa keindahan tidak harus merusak bumi. Ini adalah bentuk konkret dari filosofi tri hita karana dalam praktik nyata.

Relevansi Sosial
Relevansi Avajña terhadap kondisi kekinian sangat kentara. Di tengah dunia yang semakin bising dengan kebohongan, pertarungan ideologi, krisis ekologi, dan kemunduran moral, avajñā muncul sebagai penyakit kolektif: kita mulai kehilangan rasa hormat, meremehkan kebenaran, menertawakan spiritualitas, dan menolak otoritas moral yang sah.

Dalam konteks Bali sendiri, modernisasi yang tidak seimbang telah memunculkan gaya hidup baru yang cenderung konsumtif dan superficial. Adat dan budaya masih dirayakan secara seremonial, tetapi substansi kadang ditinggalkan. Avajña seperti alarm yang berbunyi di tengah keramaian festival: sebuah peringatan bahwa jika kita menghina nilai luhur, maka yang muncul adalah kekacauan yang tak terbendung.

Secara keseluruhan Ogoh-ogoh Avajña mengambil dua peran: sebagai tontonan sekaligus sebagai tuntunan. Penikmat yang melihatnya selain mendapat suguhan keindahan visual juga pesan mendalam di sebaliknya.

Karya ini menjadi sarana edukasi kreatif yang membuka ruang tafsir bagi ajaran-ajaran lama untuk merespons zaman kini. Ogoh-ogoh ini melampaui fungsi ritualnya. Ia adalah karya seni yang menyatukan estetika, teknik konstruksi, kesadaran ekologis, dan pesan moral. Dalam tubuh dua raksasa kera yang menyerang, dan tiga manusia yang berusaha melawan, kita melihat refleksi dari pertarungan batin manusia modern: antara kesadaran dan kehancuran, antara dharma dan adharma, antara menghina dan menghormati. [BEKRAF]

By Bekraf

Related Post