Sun. Jun 15th, 2025

Membiayai Kreativitas dari Desa, Jalan Panjang Menuju Ekraf yang Berkelanjutan

 

Oleh: I Putu Yuliartha dan Agung Bawantara 

(Bagian Kedua dari Tiga Tulisan)

 

KETIKA gagasan pengembangan ekonomi kreatif (ekraf) di daerah mengadopsi pola seleksi berjenjang layaknya “Indonesian Idol” atau “Indonesia Mencari Bakat”, satu pertanyaan mendasar yang segera mengemuka adalah: siapa yang akan membiayai seluruh rangkaian kegiatan ini dari kelurahan hingga kabupaten/kota? Pertanyaan ini sangat valid dan penting. Karena tanpa model pendanaan yang matang, program seambisius apapun hanya akan berakhir sebagai ide manis di atas kertas. Maka dari itu, penting disusun kerangka berpikir dan skema praktis untuk menjawab pertanyaan kritis tersebut secara sistematis dan solutif.

Jawaban paling realistis terhadap kebutuhan pembiayaan program seleksi ekraf berjenjang adalah dengan menggunakan strategi bauran pendanaan. Ini berarti, dana tidak hanya diambil dari APBD, melainkan dari kombinasi berbagai sumber yang saling melengkapi. Pemerintah daerah wajib hadir sebagai fasilitator utama, minimal dalam hal honorarium juri lokal, biaya logistik dasar seleksi tingkat desa dan kecamatan, publikasi awal melalui media lokal, serta penyediaan lokasi jika dibutuhkan. Namun, APBD bukan satu-satunya tumpuan. Justru kehadirannya memberi legitimasi dan memantik partisipasi pihak lain.

Melibatkan Bisnis Lokal
Program seleksi ekraf adalah kesempatan emas bagi pelaku usaha untuk berkontribusi sekaligus membangun citra merek mereka. Perbankan daerah (BPD), hotel, restoran, pusat perbelanjaan, produsen UMKM, hingga marketplace digital lokal dapat diajak menjadi sponsor utama tiap jenjang, menyediakan hadiah atau dana pembinaan, serta memperluas promosi melalui co-branding acara. Kuncinya adalah imbal balik yang jelas dan branding yang positif.

Komunitas kreatif dan kampus—terutama yang memiliki program studi seni, desain, komunikasi, atau ekonomi—dapat berperan sebagai juri independen, fasilitator pelatihan, dokumentator acara, sekaligus relawan penyelenggara. Kegiatan ini bahkan bisa disinergikan dengan mata kuliah praktik, KKN tematik, atau tugas akhir mahasiswa. Untuk mengurangi biaya promosi dan distribusi konten, penting pula membangun kolaborasi dengan YouTube lokal, podcast komunitas, radio kampus, atau media sosial influencer daerah. Model monetisasi dapat dikembangkan dari adsense, donasi, dan konten berbayar.

Sering kali daerah dengan potensi talenta kreatif justru adalah daerah yang minim anggaran. Apakah ini berarti program tidak bisa berjalan? Tidak. Program ini didesain fleksibel dan tidak harus mewah. Cukup dengan panggung sederhana, peralatan lokal seperti sound system desa dan tenda RW, serta memanfaatkan ruang publik milik bersama seperti balai banjar, aula sekolah, atau kantor desa. Aktivasi gotong royong dan swakelola menjadi kekuatan utama: pemuda karang taruna menjadi panitia, guru kesenian menjadi juri, dan pelaku UMKM menyediakan konsumsi atau hadiah. Dengan pendekatan ini, program justru menjadi alat pemberdayaan sosial, bukan beban anggaran.

Menguji Kemandirian
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah program ini bisa berjalan tanpa dukungan dana dari pemerintah pusat? Jawabannya: bisa. Tapi akan lebih optimal dengan dukungan pusat. Tanpa dana pusat, program tetap dapat berjalan sebagai ajang lokal dengan skala kecil tapi bernilai komunitas tinggi, dan menjadi basis data awal ekosistem kreatif lokal. Namun dengan dukungan pusat, kita bisa menyelenggarakan showcase nasional, menyediakan inkubasi pascakompetisi, pelatihan HKI, digitalisasi produk, hingga membuka akses ke program-program nasional seperti BBI, Apresiasi Kreasi Indonesia, dan sejenisnya. Maka, pemerintah pusat bukanlah syarat mutlak, tapi pengungkit percepatan.

Sebagai ilustrasi, Denpasar dengan sumber daya digital yang tinggi bisa fokus pada subsektor animasi, video pendek, fesyen urban berbasis etnik, dan kuliner kekinian yang berbasis resep tradisi. Sementara itu, Buleleng dengan kekuatan komunitasnya dapat mengangkat musik rakyat, pertunjukan tradisional, dan kriya berbasis bambu dan kayu. Masing-masing daerah dapat menggunakan format seleksi berjenjang dengan pembiayaan yang disesuaikan berdasarkan potensi dan kemampuan lokal.

Pada akhirnya, membiayai ekraf daerah bukan tentang besar kecilnya APBD, melainkan soal keberanian menyusun ruang yang layak untuk talenta berkembang. Ketika kelurahan punya panggung, kecamatan punya semangat, kabupaten punya arah, dan komunitas punya nyali, maka kita tidak butuh menunggu bantuan pusat untuk bergerak. Yang dibutuhkan adalah keberpihakan. Dan dari satu panggung sederhana di desa, bisa lahir bintang baru untuk Indonesia. (Bersambung ke Bagian Tiga)

Tulisan Pertama : Inspirasi dari Panggung Idol: Model Seleksi Berjenjang untuk Akselerasi Ekraf Nusantara

Tulisan Ketiga : Kanal Sebagai Tulang Punggung Kompetisi Ekraf di Daerah

By Bekraf

Related Post