Mon. Jul 28th, 2025

Di Antara Sendok Kayu dan Naga Merah, Pelajaran dari Ogoh-Ogoh Mawak

 

Ulasan Agung Bawantara

 

Ogoh-ogoh berjudul “Mawak” ini adalah karya artistik dan spiritual dari Sekaa Teruna Dwi Tunggal, Banjar Antap, Panjer, Denpasar Selatan, yang berhasil menyita perhatian dalam Festival Ogoh-Ogoh Denpasar 2025. Lewat teknik pengerjaan yang cermat, pemilihan material yang inovatif, serta narasi simbolik yang kuat. Selain tontonan, ia menghadirkan perenungan spiritual dalam wujud visual dan gerak.

Salah satu keunggulan utama ogoh-ogoh ini terletak pada penggunaan material daur ulang, terutama sendok kayu yang membentuk sisik naga atau bhuta merah. Selain memberikan dimensi tekstur yang mencolok, pilihan ini juga mengandung pesan ekologis dan estetika yang kuat: bahwa kekuatan seni bisa hadir dari hal sederhana yang diproses dengan kesadaran. Gerakan mekanik pada kepala dan tangan makhluk merah pun menambah daya hidup dramatik ogoh-ogoh ini, menyatu dengan irama baleganjur yang menggiringnya.

Namun lebih dari itu, figur dan gestur dalam ogoh-ogoh “Mawak” tampak menggambarkan fragmen pewayangan epik: kisah Bima dalam pencarian jati dirinya. Dikisahkan dalam Mahabharata, Bima—putra Pandu dan Dewi Kunti—harus masuk ke tengah samudra demi menemukan hakikat dirinya dan mendapatkan ilmu sejati (aji kesaktian dan pemahaman hakiki tentang dharma). Di dalam samudra itu, ia menghadapi naga merah yang hendak menelannya. Pertarungan itu bukan sekadar ujian fisik, tetapi lambang dari perjuangan melawan amarah (krodha) dalam dirinya sendiri. Sosok bhuta merah pada ogoh-ogoh ini dapat ditafsirkan sebagai perwujudan dari nafsu kemarahan yang menghalangi pencapaian jati diri yang luhur.

Sosok manusia yang menjinakkan naga dalam ogoh-ogoh ini sangat mungkin ditafsirkan sebagai Bima, yang sedang bertarung bukan untuk membunuh, tetapi untuk menjinakkan sifat dasarnya sendiri.

Dua figur yang hadir di atas, tampak bukan sembarang dewa. Di sisi kanan terdapat Dewa Wisnu, ditandai dengan cakra yang berputar di ujung telunjuknya. Ia adalah pemelihara semesta, penguasa elemen air, dan penjaga keseimbangan. Sementara di sisi kiri, dengan janggut putih dan empat tangan yang masing-masing memegang terompet kerang, panah nagapasha, cupu manik astagina (air kehidupan), dan trisula, tampak sosok Dewa Siwa dalam wujud sebagai Batara Guru. Vibrasi yang memancar dari kepala sosok ini mempertegas kehadirannya sebagai sumber ilham spiritual dan pengampunan tertinggi.

Dengan demikian, “Mawak” bukan hanya tentang menaklukkan bhuta secara umum, melainkan tentang menyelam ke dalam batin, menghadapi kegelapan diri, dan menerima bimbingan ilahiah dalam perjalanan menuju kesadaran sejati. Ini adalah alegori tentang pengendalian diri, penerimaan restu, dan perwujudan dharma dalam hidup sehari-hari.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa penggunaan figur pewayangan klasik seperti Bima, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa sudah sangat sering diangkat dalam dunia ogoh-ogoh. Bagi sebagian kalangan muda, figur-figur ini mulai terasa berjarak dengan kehidupan sehari-hari yang kini lebih banyak dibentuk oleh dinamika digital, isu mental health, dan persoalan ekologis kontemporer.

Bukan berarti pewayangan harus ditinggalkan—justru sebaliknya, ia perlu dihidupkan kembali dengan tafsir yang kontekstual. Akan sangat menarik bila ogoh-ogoh ke depan berani menyisipkan tokoh-tokoh baru atau alegori-alegori sosial kontemporer yang mampu menjembatani antara nilai-nilai klasik dan bahasa zaman kini.[]

By Bekraf

Related Post