Mon. Apr 28th, 2025

Perang Dagang AS vs Tiongkok dan Dampaknya terhadap Ekonomi Kreatif Indonesia

Oleh : Putu Yuliartha

PADA 2025, dunia kembali dikejutkan oleh memanasnya perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok. Ketegangan yang sempat mereda kini membara kembali, menyulut ketidakpastian di pasar global dan mengguncang berbagai sektor industri, termasuk ekonomi kreatif di banyak negara, tak terkecuali Indonesia.

Permulaan ketegangan ini bermula ketika pemerintahan Presiden Donald Trump, yang kembali mencalonkan diri dan mengusung retorika “America First“, mengambil langkah keras terhadap Tiongkok. Trump memperkenalkan tarif impor baru terhadap berbagai produk Tiongkok, dengan alasan melindungi industri dalam negeri Amerika dan memperkecil defisit perdagangan. Ia meyakini bahwa praktik perdagangan tidak adil Tiongkok, termasuk subsidi besar-besaran dan dugaan pencurian hak kekayaan intelektual, telah merugikan ekonomi Amerika.

Namun dampak perang dagang tidak hanya terbatas pada hubungan AS-Tiongkok. Amerika Serikat di bawah Trump juga memberlakukan tarif resiprokal terhadap negara lain, termasuk Indonesia. Produk-produk ekspor Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan komponen kreatif lainnya dikenakan tarif tambahan sebesar 32%. Tarif ini secara langsung memperlemah daya saing ekspor Indonesia di pasar AS, yang merupakan salah satu tujuan ekspor utama.

 

Dampak Bagi Ekraf Indonesia

Pertama-tama, banyak pelaku ekonomi kreatif, terutama UMKM di bidang fesyen, kerajinan, dan furnitur, sangat bergantung pada bahan baku impor dari Tiongkok. Ketegangan perdagangan menyebabkan lonjakan harga bahan baku dan memperlambat jalur pasok, sehingga biaya produksi melonjak dan menurunkan daya saing produk Indonesia.

Kedua, permintaan ekspor produk-produk ekonomi kreatif Indonesia ke pasar utama seperti Amerika dan Tiongkok mengalami penurunan. Pembeli dari kedua negara tersebut menjadi lebih selektif akibat ketidakpastian ekonomi domestik.

Ketiga, sektor padat karya seperti tekstil dan furnitur menghadapi tekanan besar. Dengan penurunan permintaan di pasar AS, ancaman terhadap ketahanan lapangan kerja menjadi nyata. Industri tekstil, yang mempekerjakan hampir empat juta orang, dan industri furnitur yang melibatkan hampir satu juta tenaga kerja, paling merasakan dampaknya.

Keempat, efek ketidakpastian global membuat nilai tukar rupiah tertekan, bahkan sempat menembus Rp17.217 per USD sebelum sedikit menguat. Pasar saham dan obligasi pun sempat bergejolak akibat sentimen negatif dari pasar global.

 

Peluang di Tengah Krisis

Namun, dari badai ini juga muncul peluang. Pengamat seperti Pandu Sjahrir menyebut bahwa perang dagang menjadi “blessing in disguise” bagi Indonesia.

Relokasi industri dari China dan Vietnam ke Indonesia menjadi lebih mungkin, dengan peluang besar di sektor manufaktur dan industri kreatif. Selain itu, fokus pada penguatan pasar domestik, ketahanan pangan, energi, dan deregulasi untuk mempercepat investasi menjadi kunci memperkuat posisi ekonomi nasional.

Pasar modal Indonesia pun menunjukkan sinyal positif, dengan IHSG sempat menguat empat hari berturut-turut pada April 2025. Investor asing mulai melirik Indonesia sebagai alternatif investasi yang lebih stabil.

Sektor-sektor seperti properti, keuangan, dan konsumsi domestik memperlihatkan performa baik di tengah ketidakpastian global. Dorongan terhadap produk dalam negeri dan diversifikasi pasar ekspor menjadi langkah strategis yang semakin penting.

 

Strategi Adaptasi

Dalam situasi yang boleh dibilang kritis ini, beberapa langkah strategis yang dapat diambil antara lain:

  • Mengurangi Ketergantungan pada Impor : Pelaku usaha harus mulai mencari sumber bahan baku lokal atau dari negara alternatif untuk menjaga stabilitas produksi.
  • Meningkatkan Kualitas dan Inovasi Produk: Produk kreatif Indonesia harus menonjolkan keunikan, inovasi, dan nilai budaya lokal untuk menembus pasar global.
  • Mengoptimalkan Platform Digital: Mempercepat adopsi e-commerce lintas batas, pemasaran digital, dan ekspansi distribusi online.
  • Mengikuti Standarisasi Internasional: Peningkatan kualitas dan sertifikasi internasional penting untuk meningkatkan daya saing produk di pasar dunia.
  • Kolaborasi dan Konsolidasi: Membangun ekosistem kreatif berbasis kolaborasi lintas subsektor untuk memperkuat posisi tawar di pasar global.

Perang dagang AS–Tiongkok 2025 menjadi ujian sekaligus peluang bagi Indonesia. Ini adalah saat untuk memperbaiki ketergantungan struktural, memperluas pasar, meningkatkan kualitas produk, memperkuat teknologi lokal, dan mendorong inovasi dalam ekonomi kreatif.

Indonesia harus fokus pada penguatan sektor dalam negeri, mengambil pelajaran dari dinamika global, dan berani melangkah maju untuk menjadikan ekonomi kreatif sebagai pilar utama pertumbuhan di tengah tantangan dunia yang terus berubah. []

*Penulis adalah Ketua Harian Badan Kreatif Denpasar

By Bekraf

Related Post