Tue. Jul 15th, 2025

Mitologi Nusantara di Panggung Dunia, Peluang Emas dari Krisis Global

Oleh Agung Bawantara

Dunia sedang berubah arah. Gelombang krisis ekonomi yang mengguncang Amerika Serikat kini menjalar ke berbagai sektor, termasuk industri hiburan global yang selama ini didominasi Hollywood. Di balik ketidakpastian itu, tersimpan peluang besar bagi negara-negara seperti Indonesia—yang selama ini menjadi penonton, kini punya kesempatan untuk menjadi sutradara di panggung dunia.

Krisis ini bukan hanya tentang angka dan pasar. Di jantung Hollywood, studio-studio besar tengah menggigit bibir, mencoba bertahan dari biaya produksi yang kian membengkak. Inflasi menghantam keras, suku bunga naik, dan para penonton yang dulunya royal berlangganan platform streaming kini mulai berhemat. Tak sedikit proyek film yang dibatalkan, bahkan setelah proses syuting rampung.

Sementara itu, ide-ide segar terasa makin langka. Dunia bosan dengan cerita superhero dan sekuel yang itu-itu saja. Hollywood kelelahan, dan dunia pun mulai menoleh ke Timur—mencari nafas baru dari budaya yang belum dieksplorasi. Mereka menginginkan sesuatu yang belum dikenali, tapi terasa kuat dan dalam. Dan di situlah Indonesia menunggu: penuh cerita, penuh warna, penuh keajaiban yang selama ini tersembunyi di balik tradisi lisan dan ritual-ritual lokal.

Ensiklopedi Hantu Nusantara
Bayangkan: dari Pulau Sumatra yang mistis hingga Papua yang magis, Indonesia menyimpan ribuan kisah tentang roh, siluman, makhluk penjaga, hingga tokoh sakti yang mewarisi kekuatan alam. Namun hingga hari ini, kisah-kisah itu masih tersebar, tercerai berai dalam dongeng, babad, legenda, dan bisikan para tetua. Belum ada yang mengumpulkannya menjadi satu naskah besar. Belum ada yang menjadikannya sebagai fondasi industri kreatif modern.

Karena itulah, kita perlu sebuah langkah besar: menyusun Ensiklopedi Hantu dan Mitologi Nusantara. Bukan sekadar buku katalog, tapi sebagai peta kekuatan budaya dan naratif bangsa. Sebuah ensiklopedi yang tak hanya berisi deskripsi makhluk dan legenda, tetapi juga membuka pintu imajinasi untuk dunia perfilman, gim, animasi, dan karya visual lain yang bisa menembus pasar global.

Dunia sudah pernah menyambut Mulan dari Tiongkok. Mereka sudah jatuh cinta pada Yokai dari Jepang, siluman dari Korea, hingga makhluk-makhluk mitologi India yang kini menghiasi layar-layar animasi dan film fantasi. Tapi mereka belum mengenal Leak dari Bali. Belum menyelami getirnya Palasik dari Minangkabau. Belum melihat bagaimana Wewe Gombel melindungi anak-anak terlantar, atau bagaimana Calon Arang berbicara tentang kekuasaan, pengetahuan, dan kemarahan perempuan.Padahal, kisah-kisah itu tak kalah kuat. Bahkan jauh lebih kompleks dan spiritual.

Dan keunggulan kita bukan hanya pada isi ceritanya, tetapi juga lanskapnya. Bukankah Indonesia memiliki hutan yang lebih purba dari CGI mana pun? Lautan yang lebih magis dari latar green screen? Ritual yang lebih mendalam dari adegan mistik di film horor barat? Belum lagi para perajin, penari, penembang, dan spiritualis lokal yang siap menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Membangun Kekuatan IP
Karena itu, membangun ensiklopedi ini bukan hanya tugas budaya. Ini adalah strategi nasional. Langkah awal dari sebuah gerakan besar: membangun kekuatan Intellectual Property (IP) Indonesia yang mampu bersaing dan diproduksi bersama studio internasional.

Langkahnya bisa dimulai dengan membentuk tim kurator—penulis, budayawan, antropolog, ilustrator, dan produser. Lalu melakukan perjalanan ke berbagai penjuru negeri, mengumpulkan cerita, mendokumentasikan wujud dan simbol, menggali makna filosofis dan nilai moral di balik setiap tokoh. Setelah itu, kisah-kisah itu bisa disusun dalam format yang beragam: buku cetak, website interaktif, artbook karakter, hingga konten multimedia.

Setiap tokoh bisa menjadi cikal bakal film. Setiap legenda bisa diangkat menjadi serial. Setiap mitos bisa hadir sebagai permainan daring atau wahana edukatif. Dan semuanya bisa berangkat dari satu akar yang sama: kekayaan batin Nusantara.

Lebih dari itu, kita bisa memasarkan karya-karya ini ke dunia. Melalui festival-festival film internasional, pasar konten di Asia dan Eropa, hingga platform streaming yang kini sedang mencari konten dari Asia Tenggara. Dengan biaya produksi yang jauh lebih murah dari Amerika, dan cerita yang jauh lebih kuat dari CGI, Indonesia bisa menjadi pusat baru industri cerita global.

Tentu, semua ini tak bisa terjadi dalam semalam. Tapi setiap langkah kecil akan mengarah ke satu hal besar: Indonesia sebagai narator utama cerita-cerita dunia. Di tengah krisis global, kisah-kisah lokal kita justru bisa menjadi penyembuh. Menawarkan kedalaman, spiritualitas, dan daya tarik sinematik yang tak dimiliki dunia barat.[]

*Pikiran dalam tulisan ini telah disampaikan secara lisan langsung kepada Menteri Ekonomi Kreatif RI, Teuku Riefky Harsya, dalam sebuah diskusi di Sanur, Denpasar, Bali, pada Jumat, 13 Juni 2025

By Bekraf

Related Post