Ulasan Agung Bawantara
Di sebuah desa kecil di Tegallalang, Gianyar, berdiri sebuah pohon beringin tua yang hidup di tengah setra—kuburan yang sekaligus menjadi sema, tempat kremasi. Di sana, masyarakat menyebut tempat itu dengan nama “Batan Merem.” Tempat itu menyimpan bukan hanya rimbun dedaunan dan akar-akar yang merambat, tetapi juga ingatan, ketakutan, dan penghormatan terhadap sesuatu yang lebih besar dari manusia.
Dari pohon tua itu, lahir sebuah karya ogoh-ogoh yang tidak biasa. Dirancang oleh undagi ogoh-ogoh Wayan “Locong” Kariasa dari Sekaa Teruna Cila Mekar, Banjar Sebatu, Tegalalang, Gianyar, ogoh-ogoh “Batan Merem” hadir sebagai bentuk tafsir sekaligus pernyataan untuk mengungkap rasa sedih sebuah pohon tua yang renta dan kesepian.
Salah satu hal yang istimewa dari ogoh-ogoh ini adalah representasi sosok pohon dalam bentuk perempuan. Tubuhnya membungkuk, rambutnya menjuntai seperti akar, dan raut wajahnya menyimpan kesedihan yang panjang. Ia bukan hanya lambang dari alam yang diam, tapi juga dari kelembutan yang menahan derita. Dalam banyak kebudayaan, termasuk dalam filosofi lokal Bali, pohon kerap dilihat sebagai simbol keibuan—sebagai femininitas yang mengayomi. Ia menjadi tempat berteduh, tempat bergantung, dan tempat kembali. Dalam ogoh-ogoh ini, pohon tidak hanya digambarkan sebagai benda hidup, tapi juga sebagai jiwa yang merasakan, sebagai perempuan yang menjaga dunia.

Rasa dalam Diam
“Batan Merem” tidak mencolok. Ia tidak mengandalkan warna menyala atau bentuk yang bombastis. Ia tampil dengan warna tanah, akar, lumut, tengkorak samar, dan tubuh manusia yang menyatu dengan batang pohon. Atmosfer mistis hadir bukan karena ingin menakut-nakuti, melainkan karena mengajak kita untuk diam sejenak, mengamati.
Sosok utamanya berdiri dengan ekspresi yang tidak marah, tidak bahagia, tapi seperti menanggung sesuatu yang berat dan lama. Di tubuhnya menempel sosok-sosok kecil yang tampak menggeliat, seolah hidup dalam ingatan pohon itu sendiri. Saput poleng, dedaunan, dan tekstur batang yang detail memperkuat kesan bahwa karya ini bukan sekadar patung besar, tetapi tubuh yang pernah tahu apa itu kehidupan dan kehilangan.
Dalam proses penciptaan ogoh-ogoh seperti ini, tampak bahwa anak-anak muda mulai mengasah kepekaan mereka pada hal-hal yang sederhana. Mereka tidak sedang berusaha membuat narasi besar tentang dunia atau menyusun manifesto perubahan global. Sebaliknya, mereka mengambil inspirasi dari apa yang mereka lihat dan rasakan sehari-hari—sebuah pohon yang diam, sebuah setra yang sepi, atau suasana angker yang sebenarnya adalah bagian dari keseharian mereka.

Namun justru dari “narasi kecil” inilah menyuat persoalan besar. Ia menyentuh sesuatu yang global: relasi manusia dengan alam, ketidaksadaran kolektif terhadap pemusnahan lingkungan, dan keterputusan spiritual dalam kehidupan modern. Karya ini membuktikan bahwa ketika anak-anak muda mulai bersentuhan kembali dengan lingkungan sekitar secara jujur dan empatik, mereka sesungguhnya sedang menyuarakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekadar kompetisi tahunan.
Secara teknis, ogoh-ogoh ini memperlihatkan penguasaan material yang cermat. Struktur vertikal yang menjulang tinggi dan kompleks menunjukkan kemampuan konstruksi yang seimbang. Cabang dan rambut menyebar ke atas, membentuk siluet yang kuat, namun tidak memberatkan visual. Detil lumut, jamur, dan pakis yang menempel di pohon dan akar gantung yang tampak sangat natural menunjukkan pengamatan yang sangat cermat pada sesuatu yang mereka temui setiap hari.
Bahan-bahan alami seperti bambu dan kertas dibentuk dengan ketelitian tinggi, menghadirkan transisi organik antara tubuh manusia dan batang pohon. Tidak ada garis putus yang jelas antara keduanya, karena memang niatnya bukan untuk memisahkan, melainkan menyatu. Komposisi visualnya teratur. Pagar dan pilar tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi memperkuat kesan sakral.
Filosofi yang diangkat dari ogoh-ogoh ini bukan sekadar hiasan. “Batan Merem” adalah tempat yang disebut-sebut dalam Lontar Gong Besi sebagai wilayah kekuasaan Bhatari Durga. Tempat ini dihuni oleh para parerencangan—makhluk-makhluk gaib yang wujudnya menakutkan, namun fungsinya menjaga.

Bagi orang Bali, setra atau kuburan bukan sekadar tempat mengubur atau membakar jenazah. Ia adalah ruang suci untuk memurnikan unsur-unsur kasar tubuh manusia agar kembali menyatu dengan alam semesta. Di sana, tubuh dilebur, dan jiwa dipersiapkan melanjutkan perjalanan spiritual. Setra disebut juga Setra Gandamayu, tempat pelepasan dan pembersihan. Ia berada dalam wilayah kekuasaan Bhatari Durga, dijaga oleh makhluk-makhluk gaib (parerencangan) yang menjaga batas antara dunia manusia dan alam gaib. Setra bukan tempat kotor yang harus dihindari, tapi ruang sakral yang layak dihormati. Ia menyimpan energi spiritual, menjadi penyeimbang antara hidup dan mati—tempat kembali dan awal baru bagi jiwa. Dalam konteks Batan Merem, di sanalah pohon tua itu berdiri, menaungi, menyimpan cerita.
Secara filosofis, ogoh-ogoh ini adalah gambaran hubungan manusia dengan alam. Sosok manusia yang tumbuh dari batang bisa dibaca sebagai keserakahan, bisa juga sebagai bentuk kepasrahan. Tengkorak dan akar-akar yang mencengkeram menandakan bahwa alam menyimpan memori penderitaan.
Hipokrisi Orang Bali
Di balik pesan ini juga ada kritik sosial yang tidak bisa diabaikan: di satu sisi, masyarakat dan pemerintah di Bali senang mengangkat jargon kesucian alam, merayakan Tumpek Wariga, dan menyebut-nyebut Tri Hita Karana di berbagai forum. Namun, di sisi lain, tindakan sehari-hari menunjukkan hal yang sebaliknya. Mereka dengan enteng menebang pohon pelindung demi proyek pembangunan yang disebut “penataan.” Tanah yang dulu hidup ditutup semen, akar dicabut demi estetika bersih yang artifisial. Saat panas menyengat, mereka tak lagi ingat pada pohon yang ditebang, melainkan buru-buru menyalakan pendingin udara.

Seolah-olah, keseimbangan alam hanyalah dekorasi dalam pidato dan papan nama kantor desa. Realitasnya adalah pengingkaran yang sistematis—dan itu dilakukan bukan oleh mereka yang tidak tahu, tetapi justru oleh mereka yang paling sering bicara soal kearifan lokal.
Lebih menyedihkan lagi, gairah terhadap pertumbuhan industri pariwisata mendorong pembangunan yang kerap tak terkendali. Demi membuka jalan bagi villa, hotel, resort, dan perumahan elite, pohon-pohon ditebang tanpa ampun. Tebing-tebing yang dulunya rimbun, kini terbuka dan gundul, bahkan setra atau kuburan pun ikut tergusur. Bukan hanya pohon yang dikorbankan, tapi juga nilai-nilai sakral yang hidup di sekitarnya. Ruang yang mestinya menjadi penjaga spiritual desa, berubah menjadi tempat investasi dan kapitalisasi. Masyarakat Bali sering mengucapkan Tri Hita Karana, tapi lupa menghormati pohon. Pemerintah daerah menebang pohon pelindung demi proyek perataan jalan dan estetika bersih. Trotoar dibangun dengan menggusur akar, tanah diuruk dan disemen. Saat kemarau, jalan menjadi tungku, rumah menjadi oven. Inilah sikap hipokrit dari Orang Bali (modern).

Ironisnya, solusi yang dipilih adalah AC. Padahal, AC menyumbang besar pada efek rumah kaca. Orang-orang yang punya kekuasaan tinggal di ruang berpendingin, tak tersentuh panas yang mereka ciptakan sendiri.
Fragmen tari yang mengiringi ogoh-ogoh ini memperkuat dimensi spiritualnya. Gamelan Semar Pegulingan yang biasa digunakan pada pertunjukan sendratari di Bali dipadu nuansa Gambuh dan Gong Kebyar yang berkelindan dengan suara dalang yang melantunkan narasi menampilkan suasana pementasan yang dramatis.
Gerakan para perempuan mengikuti pola sisya dalam Calonarang—murid-murid yang bergerak lirih namun penuh makna. Penari laki-laki membawa gaya teatrikal dari Kecak, sebagaimana dikembangkan oleh I Ketut Rina dari Teges Kanginan, Gianyar.
Mereka bukan tokoh, bukan figuran. Mereka adalah suasana. Mereka mewakili makhluk-makhluk tak kasat mata penghuni kuburan. Mereka bukan sekadar pengiring, tapi bagian dari lanskap. Gerakan-gerakan mereka adalah napas dari tubuh Batan Merem.

“Batan Merem” adalah ogoh-ogoh yang bukan sekadar hasil kerja kolektif pemuda banjar. Ia adalah sosok yang menyimpan banyak hal: filosofi, kritik, kontemplasi. Ia berdiri di tengah keramaian, tapi berbicara dalam bahasa yang hanya bisa didengar oleh yang bersedia diam.
Dalam dunia yang semakin cepat dan panas, baik secara harfiah maupun metaforis, “Batan Merem” seperti pohon tua di tepi jalan yang tak semua orang sempat singgahi. Tapi bagi mereka yang berhenti sejenak di bawahnya, ada keteduhan, ada cerita, dan ada kemungkinan untuk pulang. []