Wed. Apr 16th, 2025

 

Catatan Agung Bawantara

 

“Naskleeng, Kedux!” Ucapan itu bisa berarti makian, bisa juga berarti pujian. Jika diucapkan dengan kasar dan emosi yang meluap serta disertai wajah marah, maka itu jelas sebuah makian. Tetapi jika diucapkan dengan nada sedikit pelan dan wajah sumringah, ia menjadi pujian, sebuah tanda keakraban, bahkan pengakuan terhadap seseorang yang berhasil membuat orang lain ternganga oleh kekaguman. Dalam konteks ini, “Naskleeng!” adalah sebuah selebrasi.

Kata “naskleeng” sendiri adalah adopsi dari sebuah ungkapan kotor yang dalam bahasa Jawa bisa disejajarkan dengan “jancuk”. Pada masyarakat egaliter dan ekspresif, seperti sebagian besar pemuda di Bali dan Jawa Timur, kata ini tidak hanya berkonotasi negatif. Ia bisa menjadi bentuk keintiman sosial, tanda bahwa antara yang mengucap dan yang diucap memiliki jarak yang dekat. Misalnya ketika Kedux, seorang seniman dan kreator ogoh-ogoh asal Denpasar, membuat karya-karya spektakuler, para sahabatnya akan berseru, “Kedux memang naskleeng. Karyanya hebat banget. Tak terpikir sebelumnya oleh kreator lain.”

Dari sini, kita sampai pada satu nama yang tak terpisahkan dari istilah ini: NK13. Singkatan dari Naskleeng 13, NK13 adalah sebuah komunitas kreatif yang dibentuk oleh Kedux dan rekan-rekannya di Denpasar. Komunitas ini lahir dari jalanan, dari stigma, dari umpatan masyarakat yang kerap kali menyaksikan mereka melintas dengan gaya sangar dan berani tampil beda. Ketika mereka melintas di gang sempit, orang-orang tua menyumpah dengan kata: “Naskleeng!” Sebuah umpatan yang kemudian diambil dan dijadikan identitas—NK13.

NK13 sempat dicap sebagai geng motor liar. Namun waktu membuktikan bahwa mereka bukan hanya sekadar anak jalanan. Mereka adalah seniman. Komunitas ini perlahan tumbuh menjadi kelompok kreatif. Mereka memproduksi kaos dan merchandise, mengorganisasi event, dan yang terpenting, mereka mempopulerkan gaya hidup kreatif alternatif di Bali. Bahkan sebelum Sujiwo Tejo memopulerkan kata “jancuk” di televisi nasional pada tahun 2020, Kedux dan NK13 telah terlebih dahulu mengangkat kata “naskleeng” menjadi simbol perlawanan, keakraban, dan ekspresi kebebasan kreatif di Bali sejak 2016.

Kedux, atau nama aslinya Komang Gede Sentana Putra, adalah roh dari NK13. Ia dikenal luas sebagai seniman ogoh-ogoh yang membawa seni ini ke tingkat inovasi baru. Ia tak sekadar membuat ogoh-ogoh sebagai simbol Bhuta Kala, tetapi juga menjadikannya media seni kontemporer dengan pengaruh kuat dari seni patung Bali dan teknik mekanik modern.

Beberapa ogoh-ogoh garapannya bahkan menjadi tren dan rujukan bagi sekaa teruna lainnya. Di antaranya: Bademas (2016)  yang merupakan  tingkat ilmu leak (ilmu hitam) tertinggi; Sampian Mas (2017) juga tentang ilmu leak  tingkat tinggi; Sang Hyang Aji Ratu Sumedang (2018)  yang menggambarkan kekuatan ajian pengiwa (ilmu hitam) yang sangat dahsyat dengan detail ornamen yang memukau; Tedung Agung (2019) menggunakan simbol payung besar dan bersusun sebagai perlambang perlindungan semesta, karya ini menjadi sorotan di Denpasar.

Tak ada catatan karya ogoh-ogohnya pada 2020 dan 2021 karena saat itu pandemi Covid 19 merebak. Namun, ketika situasi normal kembali pada 2022, Kedux melahirkan Kepet Agung, kipas raksasa sebagai simbol harapan dan kesejukan pasca pandemi, ogoh-ogoh ini menandai babak baru dalam penggabungan desain dan narasi kontemporer.

Pada 2023 Kedux membuat Garuda Suwarnakaya, sebuah ogoh-ogoh dengan nuansa mitologi Hindu yang dipadukan dengan teknik pewarnaan dan gerak mekanik, menjadikannya masterpiece Kedux. Tahun berikutnya, pada 2024, Kedux merancang ogoh-ogoh berjudul Celuluk yang menarik perhatian dengan menampilkan celuluk dengan kulit yang mengidap penyakit Vitiligo.

Inovasi Kedux tidak berhenti pada desain dan cerita. Ia juga menjadi salah satu pelopor penggunaan teknologi hidrolik dalam ogoh-ogoh. Salah satu tantangan besar dalam parade ogoh-ogoh adalah keberadaan kabel listrik yang membentang rendah di jalanan. Untuk itu, Kedux merancang sistem hidrolik yang memungkinkan ogoh-ogoh turun dan naik secara otomatis untuk melewati kabel. Teknologi ini kemudian diadopsi oleh banyak kreator lainnya dan menjadi standar baru dalam desain ogoh-ogoh modern.

Selama bertahun-tahun, ogoh-ogoh garapannya untuk Banjar Tainsiat selalu menjadi sorotan. Tiga tahun berturut-turut karya ogoh-ogohnya menang dan membuat Banjar Tainsiat bahkan tidak diperkenankan lagi ikut lomba karena dianggap terlalu mendominasi. Ia pun makin disanjung. Ucapan “naskleeng” pun semakin sering terdengar, sebagai simbol kekaguman dan hormat.

Namun tidak semua perjalanan kreatif berjalan mulus. Tahun 2025 menjadi tahun yang berat bagi Kedux. Ogoh-ogoh Bhuta Ngawesari yang digarapnya mencoba menggabungkan gaya patung tradisional Bali dengan teknologi canggih PLC. Konsepnya luar biasa. Tapi hasil akhirnya tidak memenuhi ekspektasi.

Pengerjaan yang terlambat, ogoh-ogoh yang baru rampung di malam pengerupukan, dan performa teknis yang kurang maksimal membuat penonton kecewa. Bahkan, sebagian penonton yang menunggu di kawasan Catur Muka Denpasar memilih pulang sebelum ogoh-ogoh tampil. Kritik datang bertubi-tubi dari warganet dan masyarakat. Kekecewaan itu pun dijawab dengan sikap ksatria.

Kedux bersama Ketua STYSB Komang Angga Natyalaksana mengeluarkan surat permintaan maaf yang diunggah ke akun Instagram resmi. Dalam surat tersebut, mereka menyatakan permohonan maaf atas ketidaksempurnaan karya tahun ini. Mereka mengakui keterbatasan dalam pengelolaan waktu, sumber daya manusia, dan keuangan. Permintaan maaf itu juga ditujukan kepada pemerintah, donatur, dan semua pihak yang mendukung.

“Aspirasi tersebut sangat berharga untuk kami sehingga dapat kami jadikan sebagai bahan renungan serta evaluasi kami untuk berkarya yang lebih baik di masa depan,” tulis surat itu.

Dan sekali lagi, setelah peristiwa itu, banyak yang kembali berujar: “Kedux, naskleeng…” Tapi kali ini, bukan hanya sebagai pujian untuk karya, melainkan untuk keberanian meminta maaf dan mengakui kekurangan. Sebab, dalam dunia kreatif, jatuh dan bangkit adalah bagian dari perjalanan.

Kedux adalah gambaran tentang anak muda Bali yang tak hanya sangar di tampang, tapi juga tajam dalam berpikir, liat dalam berkarya, dan terbuka untuk belajar. Ia mewarisi semangat para seniman seperti I Cokot yang membiarkan bentuk kayu mengarahkan pahatan, bukan sebaliknya. Dalam dirinya, seni dan jalanan, tradisi dan teknologi, makian dan pujian, semua menyatu dalam satu kata: Naskleeng! []

By Bekraf

Related Post