Fri. Jul 18th, 2025

“Ibu Jiwa Semesta”, Doa dalam Garis dan Cahaya

Ibu Jiwa Semesta karya I Nyoman Ariwinata (150 x 200 cm, Acrylic , Tinta di Kanvas, 2025)

Ulasan Agung Bawantara

SESOSOK perempuan suci, penuh cahaya, dengan postur lembut dan wajah tenang. Sosok itu sangat mirip dengan gambaran Bunda Maria dalam tradisi Katolik. Ia berdiri dikelilingi oleh semburat cahaya yang memancar ke segala arah, seperti pelangi yang berdenyut dari dalam tubuhnya. Di dadanya terdapat sebentuk hati yang menyala. Itu adalah simbol cinta kasih yang agung—sebuah hati yang memberi, bukan menuntut.

Itulah figur yang terdapat di sisi kanan lukisan I Nyoman Ari Winata (2025). Figure tersebut bukan hanya ibu dalam arti keibuan manusiawi, tapi ia adalah personifikasi dari cinta semesta. Ia adalah Ibu dari Jiwa Segala Hal, sebagaimana judul lukisan ini.

Perempuan itu berdiri di atas semacam altar bumi, menghadap ke bawah, seakan sedang memberkati alam dan makhluk-makhluk di dalam lukisan. Di sekelilingnya tumbuh pohon-pohon, bunga-bunga, dan bentuk-bentuk kehidupan lain yang tampak bergerak, seolah semua ikut hidup dalam medan cahaya kasih sang ibu.

Jika diperhatikan lebih dekat, figur perempuan ini juga dikelilingi oleh barisan ikan-ikan yang berenang mengelilinginya, menciptakan kesan bahwa ia muncul dari kedalaman laut. Elemen ini mengingatkan kita pada mitos Nusantara tentang penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul—sosok perempuan agung yang memegang peran sentral dalam dunia air. Penempatan ikan-ikan ini memberi nuansa bawah laut yang kental, sekaligus memperkuat kesan bahwa ibu semesta  berasal dari rahim bumi terdalam.

Di sekeliling figur perempuan tersebut juga tampak gelombang-gelombang air yang, secara bentuk, menyerupai burung cenderawasih. Garis-garis lengkung dan sayapnya yang mengembang memberi kesan bahwa laut pun bisa mengepak dan terbang, sebagaimana langit. Ini menciptakan jembatan imajinatif antara langit dan laut, antara gerakan udara dan gerakan air, antara makhluk darat dan makhluk yang berenang.

Simbol-simbol ini tidak hadir sebagai ornamen semata, melainkan membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam bahwa ibu semesta adalah penjaga dari semua unsur: langit, bumi, dan lautan. Bahwa kehadirannya menjangkau segala arah dan dimensi, dan bahwa kasihnya tidak memilih tempat untuk tumbuh.

Menarik pula untuk dicermati, di dekat figur perempuan itu terdapat bentuk menyerupai bahtera dan seekor ikan besar yang tampak mengiringinya. Bentuk bahtera ini sekilas mengingatkan kita pada kisah Nabi Nuh dalam tradisi Abrahamik—sebuah kisah tentang keselamatan, keberlanjutan kehidupan, dan harapan setelah bencana. Kehadiran bahtera di dekat ibu semesta bisa dimaknai sebagai simbol pemeliharaan dan perlindungan semesta terhadap kehidupan.

Ikan besar yang mendampingi bahtera menambahkan lapisan makna baru, seolah menggabungkan mitos laut dengan narasi penyelamatan spiritual. Bahtera dan ikan itu tidak digambarkan dengan megah, tetapi cukup jelas untuk membangkitkan asosiasi simbolik. Mereka hadir sebagai penanda bahwa dalam semesta yang penuh gerak ini, selalu ada ruang perlindungan, selalu ada yang menjaga kehidupan dari dalam kedalaman dan gelombang. bahwa ibu semesta adalah penjaga dari semua unsur: langit, bumi, dan lautan. Bahwa kehadirannya menjangkau segala arah dan dimensi, dan bahwa kasihnya tidak memilih tempat untuk tumbuh.

Yang juga sangat menarik, sosok ibu tersebut ditempatkan bukan di tengah-tengah, melainkan di sisi kanan lukisan. Ini bukan sekadar keputusan komposisi visual, melainkan pilihan yang mengandung makna mendalam. Dalam seni Barat, figur utama lazimnya ditempatkan di tengah. Tapi di sini, sang ibu hadir tidak sebagai pusat kekuasaan, melainkan sebagai sumber cinta yang tidak menuntut sorotan. Ia memancar dari pinggir, seperti cinta yang diam-diam menyelubungi segalanya.

Secara simbolik, sisi kanan kerap dikaitkan dengan intuisi, pemberian, dan cahaya. Penempatan ini membuat kehadiran sang ibu terasa lebih lembut dan spiritual. Ruang kosong di tengah lukisan menjadi jalan masuk bagi penonton, mengundang kita larut dalam arus energi yang mengalir dari ibu semesta.

Dari arah tubuh sang ibu, mengalir garis-garis cahaya yang menelusuri seluruh permukaan lukisan. Komposisinya spiral dan mengalir, membawa mata kita menelusuri bentuk-bentuk alam: burung, ombak, akar, tangan, gunung, rembulan. Tidak ada satu pun bagian yang diam. Lukisan ini bergerak, tapi tidak gaduh. Hidup, tapi tetap menenangkan.

Burung-burung putih yang beterbangan dari tubuh sang ibu adalah elemen yang sangat kuat secara simbolik. Mereka adalah roh damai, doa yang terbang, atau bahkan pesan-pesan cinta yang menuju langit. Gerakannya serempak, seperti napas yang lembut, membawa pesan bahwa kehidupan sejati lahir dari keseimbangan dan keharmonisan.

Yang mengusik perhatian, di sekitar gerombolan burung-burung itu, tampak pula figur-figur ikan pari. Mereka dilukiskan melayang di udara, seolah ikut terbang bersama kawanan burung. Ini bukan hanya tampilan visual yang unik, tetapi juga simbolik. Kehadiran ikan pari di langit membawa kesan bahwa alam bawah laut pun memiliki bentuk kehidupan yang menyerupai langit. Bahwa di dalam laut, ada makhluk yang mengepak, sebagaimana burung di angkasa. Imaji ini menyiratkan bahwa batas antara elemen laut dan udara menjadi cair dalam wilayah simbolik. Bahwa langit dan laut sesungguhnya memiliki bahasa gerak yang serupa: mengalir, melayang, dan bebas.

Burung-burung ini juga dapat dimaknai sebagai utusan spiritual, penjaga keheningan, dan simbol pelepasan. Mereka membawa harapan, menghubungkan yang fana dan yang kekal, yang manusiawi dan yang ilahi. Dalam tradisi banyak budaya, burung putih adalah pertanda baik, kehadiran berkah, atau bahkan penanda transformasi jiwa.

Di bagian atas kanan, tampak bulan dengan dua wajah yang menyatu. Ini adalah simbol dari kesatuan dualitas: maskulin dan feminin, terang dan gelap, kesadaran dan bawah sadar. Bulan ini menjadi titik kontemplatif, pusat keheningan di tengah riuhnya gerak semesta. Ia adalah pengingat bahwa harmoni bukanlah ketiadaan perbedaan, melainkan pelukan terhadap semua sisi kehidupan.

Bulan dengan dua wajah juga bisa dibaca sebagai simbol penyatuan cinta. Ia menggambarkan kedekatan spiritual, bukan hanya secara romantik, tetapi sebagai kesadaran kolektif. Dalam ketenangan bulan itu, dua jiwa bertemu dalam satu cahaya. Dan dari sinilah spiritualitas lukisan ini makin mendalam—ia tidak bicara tentang satu pribadi, tapi tentang kebersatuan sebagai inti dari keberadaan.

Salah satu bagian paling menyentuh adalah sepasang tangan yang muncul dari bumi. Tangan itu terbuka, mempersembahkan sehelai daun sambil menyongsong cahaya. Sebuah gestur yang sederhana, tetapi sarat makna—penghormatan, persembahan, dan kesadaran akan kehidupan yang tumbuh dari bumi dan kembali ke cahaya.

Latar bawah lukisan dipenuhi bentuk air, bunga, bebatuan, dan akar. Semuanya mengalir, tumbuh, dan bergerak. Bumi dalam lukisan ini bukanlah benda mati, melainkan makhluk hidup yang bernapas. Warna-warna yang digunakan Ari sangat halus, berpadu seperti irama alam. Tidak ada warna yang dominan, semua saling menyokong. Seperti koor yang menyanyikan lagu sunyi.

Tanah bukan digambarkan sebagai beban, melainkan sebagai pelukan. Air bukan sebagai ancaman, melainkan arus penyembuh. Akar tidak terkesan menjerat, tetapi mengikat erat cinta yang tak kasat mata. Lukisan ini mengajarkan kita untuk melihat ulang alam bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang memiliki hati.

Teknik garis berlapis yang digunakan Ari menunjukkan kesabaran dan kontemplasi. Setiap garis tampak seperti ditarik dengan keheningan. Tidak tergesa, tidak memaksa. Garis-garis ini bukan batas, tapi aliran. Mereka menenun cahaya dan ruang dalam bentuk visual yang terasa seperti medan energi.

Ari tampaknya tidak hanya melukis dengan tangan, tetapi juga dengan napas. Ia menaruh jiwa dalam setiap lapis warna dan garis. Goresannya lembut, tetapi sangat riuh. Dan justru di situlah kekuatan semesta terungkap: dalam ketenangan yang berisi gerak, dalam keheningan yang penuh suara.

Lukisan ini riuh, tetapi lembut. Sebuah paradoks yang justru mencerminkan keadaan semesta itu sendiri. Kehidupan memang seperti itu: dari luar tampak tenang, tapi di dalamnya penuh gerak. Setiap detik, jutaan hal terjadi sekaligus. Tapi dari jarak tertentu, semua itu membentuk harmoni yang utuh.

Kita bisa menyebut karya ini sebagai manifestasi visual dari kesadaran ekologis spiritual. “Ibu Jiwa Semesta” tidak hanya bicara tentang cinta atau alam, tapi tentang bagaimana manusia seharusnya hadir di dunia ini: bukan sebagai pemilik, tapi sebagai bagian. Sebagai penjaga. Sebagai anak dari semesta.

Spiritualitas yang ditawarkan lukisan ini melintasi batas agama. Ia berbicara dengan bahasa batin yang universal. Semua yang hidup, dari manusia hingga batu, dari burung hingga embun, terhubung oleh satu napas: cinta sang ibu semesta.

Dalam dunia yang terpecah oleh batas, kepentingan, dan ambisi, lukisan ini mengajak kita untuk kembali mendengarkan bisikan halus semesta. Untuk menghormati keheningan. Untuk menyadari bahwa kita tidak sendiri. Bahwa kita tak pernah benar-benar terputus dari sang sumber.

“Ibu Jiwa Semesta” adalah karya yang menyembuhkan. Ia bukan hanya untuk dilihat, tapi juga untuk dihuni. Ia adalah rumah bagi jiwa yang lelah, tempat kembali bagi hati yang rindu, dan pelukan bagi siapa pun yang ingin merasakan damai dalam kebisingan dunia.

Dan mungkin, dari sisi kanan lukisan itu, ibu semesta sedang memanggil kita pulang. []

By Bekraf

Related Post