Sat. Jun 14th, 2025

Dari Captain Tsubasa ke Piala Dunia


(Peran Industri Kreatif dalam Kebangkitan Sepak Bola Jepang)

 

Oleh: I Putu Yuliartha dan Agung Bawantara

 

Jepang dipastikan lolos ke Piala Dunia 2026 setelah pada pertandingan 10 Juni 2025 di Stadion Saitama mengalahkan Indonesia dengan skor telak 6-0 dan meneguhkan diri sebagai juara klasemen Grup C zona Asia.

Kemenangan telak ini bukan sekadar hasil dari latihan keras dan strategi pelatih, tapi juga merupakan buah dari ekosistem besar yang mendukung sepak bola Jepang—termasuk industri kreatif yang memainkan peran signifikan dalam membentuk wajah dan budaya sepak bola di Negeri Sakura.

Jauh sebelum mendominasi Asia dan menjadi peserta tetap Piala Dunia, Jepang sempat mengalami puluhan tahun kegagalan. Sejak pertama kali mencoba lolos ke Piala Dunia pada tahun 1954, Jepang terus mengalami kekalahan di babak kualifikasi. Sepak bola saat itu belum menjadi olahraga utama; perhatian publik lebih tertuju pada bisbol, dan infrastruktur maupun sistem pembinaan sepak bola masih sangat terbatas.

Baru pada akhir 1980-an, menyadari stagnasi ini, Jepang mengambil langkah revolusioner. Mereka tidak hanya membenahi sistem kompetisi, tetapi juga menciptakan sebuah karya budaya yang membangkitkan imajinasi kolektif anak-anak muda Jepang terhadap sepak bola: anime Captain Tsubasa.

Adegan Kapten Tsubasa di tayangan televisi

Anime ini bukan sekadar hiburan. Ia menjadi ikon nasional yang memperkenalkan sepak bola sebagai permainan penuh semangat, impian, dan kehormatan. Anak-anak Jepang mulai bercita-cita menjadi pemain bola seperti Tsubasa Ozora, bukan sekadar pemain bisbol. Anime ini memperlihatkan sepak bola sebagai arena mimpi dan perjuangan global—membangun keyakinan bahwa Jepang bisa bersaing di panggung dunia.

Momentum ini dilanjutkan dengan peluncuran J.League pada 1993, liga profesional sepak bola pertama Jepang, yang membuka jalan bagi pembinaan sistematis, profesionalisme, dan struktur kompetisi yang sehat. J.League tidak hanya mengembangkan pemain, tetapi juga membentuk wajah sepak bola Jepang lewat industri kreatif: logo klub yang dirancang serius, maskot yang digemari anak-anak, hingga kampanye pemasaran yang menggabungkan seni visual, musik, dan desain media modern.

Hasil dari kombinasi imajinasi yang dibangkitkan oleh anime Captain Tsubasa dan sistem profesional yang dikembangkan melalui J.League terbukti membawa hasil nyata. Setelah gagal lolos ke Piala Dunia selama beberapa dekade sejak 1954, Jepang akhirnya berhasil menembus putaran final untuk pertama kalinya pada Piala Dunia 1998 di Prancis. Sejak itu, Jepang tidak pernah absen—menjadi tuan rumah bersama pada 2002 dan lolos ke babak 16 besar, tampil di Jerman 2006, Afrika Selatan 2010, Brasil 2014, Rusia 2018, serta Qatar 2022 yang mengesankan dengan kemenangan atas Jerman dan Spanyol. Kini, Jepang kembali memastikan keikutsertaannya di Piala Dunia 2026 sebagai kekuatan tetap dari Asia.

Industri Kreatif sebagai Pendorong Kemajuan Sepak Bola Jepang
Industri kreatif memainkan peran strategis dalam membentuk budaya sepak bola di Jepang. Pertama, manga dan anime Captain Tsubasa (1983) bukan sekadar serial hiburan, melainkan juga alat edukasi dan inspirasi nasional. Serial ini membuat sepak bola menarik, dramatis, dan penuh makna emosional. Banyak pemain top Jepang dan bahkan dunia mengakui anime ini sebagai inspirasi mereka.

Kedua, klub-klub J.League menampilkan identitas visual kuat yang digarap oleh desainer profesional. Logo, kostum, dan maskot klub menjadi bagian dari gaya hidup generasi muda. Di sini keunggulan pegiat industri desain visual dan branding Jepang sangat berperan.

Seorang suporter Timnas Garuda berpose di booth Kapten Tusbasa di sebuah stadion di Jepang

Ketiga, game dan media digital tak ketinggalan mengambil peran. Game Winning Eleven (Pro Evolution Soccer) buatan Konami menjadi bagian dari budaya sepak bola global. Sejurus dengan itu, klub dan timnas Jepang aktif membangun narasi visual dan konten kreatif di media sosial.

Musik dan teater stadion pun tak ketinggalan. Chant suporter dibuat kolaboratif bersama musisi, dan stadion dirancang sebagai ruang pertunjukan visual dengan akustik yang kuat.

Untuk mengukuhkan semua langkah di atas, Jepang membangun diplomasi budaya dan soft power dengan mempromosikan sepak bola lewat program pertukaran budaya, pertandingan persahabatan, dan festival sepak bola di luar negeri. Klub Jepang sering terlibat dalam proyek-proyek budaya di negara lain, memadukan sepak bola dengan seni dan pendidikan.

Mengiringi semua itu, industri merchandise dan produk kreatif turut ambil peran. Kolaborasi klub dengan brand fashion Jepang dan seniman lokal menghasilkan merchandise eksklusif. Penjualan produk tersebut menjadi sumber pendapatan sekaligus alat distribusi budaya bagi Jepang.

Jepang hari ini bukan hanya negara yang kuat di lapangan, tetapi juga negara yang memahami bahwa olahraga dan budaya harus berjalan beriringan. Keberhasilan mereka dalam lolos ke Piala Dunia 2026 dengan meyakinkan adalah bukti bahwa sepak bola Jepang telah menjelma menjadi sistem nasional yang sehat—dibangun oleh strategi teknis, fondasi profesional, dan dukungan menyeluruh dari sektor industri kreatif. Sebuah contoh kuat bagaimana imajinasi, desain, dan narasi bisa membawa satu bangsa melaju jauh hingga pentas dunia.[]

By Bekraf

Related Post