Christie’s, rumah lelang ternama, akan mengadakan lelang bertajuk “Augmented Intelligence” yang sepenuhnya didedikasikan untuk karya seni yang diciptakan menggunakan kecerdasan buatan (AI). Lelang ini berlangsung dari 20 Februari hingga 5 Maret 2025 di galeri Rockefeller Center, New York. Ini menjadi momen penting dalam dunia seni karena untuk pertama kalinya sebuah rumah lelang besar menyelenggarakan acara khusus karya AI.
Lelang ini menampilkan lebih dari 20 karya dari seniman-seniman pionir di bidang seni dan teknologi, seperti Refik Anadol, Harold Cohen, Pindar Van Arman, Holly Herndon & Mat Dryhurst, Alexander Reben, dan Claire Silver. Berbagai medium seni dihadirkan dalam lelang ini, termasuk patung, lukisan, cetakan, karya di atas kertas, karya digital, instalasi interaktif, dan kotak cahaya. Salah satu sorotan utama adalah seri “Emerging Faces” karya Pindar Van Arman yang terdiri dari sembilan kanvas unik, dilukis secara otonom oleh jaringan saraf pada tahun 2017. Diperkirakan, seri ini akan terjual dalam kisaran harga $180.000 hingga $250.000.
Namun, lelang ini juga menimbulkan kontroversi. Lebih dari 3.000 seniman menandatangani surat terbuka yang mendesak Christie’s untuk membatalkan acara tersebut. Mereka berargumen bahwa banyak model AI dilatih menggunakan karya seni berhak cipta tanpa izin, yang mereka anggap sebagai bentuk “pencurian massal.” Model AI dikembangkan dengan menyerap dataset besar yang dikumpulkan dari berbagai sumber, sering kali tanpa mekanisme yang memastikan bahwa para seniman memberikan izin eksplisit. Para pemrotes menilai bahwa AI bukan sekadar mengambil inspirasi dari karya-karya yang telah ada, tetapi secara langsung memanfaatkan hasil kreativitas seniman sebagai bahan baku utama dalam pembentukan model visual.
Ketegangan ini tidak hanya sebatas pada pelanggaran hak cipta dan kompensasi finansial bagi seniman. Christie’s menanggapi bahwa seniman yang karyanya dilelang telah memiliki praktik seni multidisiplin yang diakui di berbagai museum terkemuka. Mereka menekankan bahwa AI bukanlah pengganti kreativitas manusia, melainkan alat yang dapat memperkaya dan memperluas kemungkinan dalam dunia seni. Perdebatan ini pun semakin luas, mempertanyakan bagaimana AI mempengaruhi definisi seni itu sendiri.
Di satu sisi, industri AI berkelit di bawah doktrin “penggunaan wajar” yang memungkinkan penggunaan karya berhak cipta dalam batas tertentu tanpa izin. Namun, banyak seniman merasa bahwa AI bukan hanya mengadopsi gaya, tetapi juga mampu mereplikasi elemen khas dari karya mereka dengan tingkat akurasi yang tinggi. Ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang di mana batas antara inspirasi dan eksploitasi.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa dunia seni sedang berada di persimpangan jalan. AI memang dapat membantu mempercepat produksi dan memperluas akses terhadap materi kreatif, tetapi tanpa regulasi yang jelas dan transparansi dalam penggunaan dataset, keberadaan AI dalam seni dapat menjadi ancaman bagi seniman manusia. Tantangan terbesar saat ini bukan hanya tentang legalitas, tetapi juga bagaimana memastikan AI tetap menjadi alat yang memberdayakan seniman, bukan mengambil alih peran mereka sebagai pencipta. Di era digital ini, kita mungkin perlu mendefinisikan ulang apa itu seni dan bagaimana manusia serta teknologi dapat berdampingan dalam menciptakan keindahan. [BEKRAF/Abe]