Ulasan Agung Bawantara
Raksasa bertubuh kelabu berdiri membungkuk. Otot-ototnya menjalar di permukaan kulit seperti alur-alur sungai yang membeku. Rambut di kepalanya kusut dan kemerahan. Matanya melotot, tidak dalam amarah, tapi dalam lapar yang hebat.
Gus Man Surya, undagi yang menciptakan makhluk ini, tampaknya tidak terlalu ngotot hendak menyumbang keindahan bagi dunia. Ia justru seperti ingin mengingatkan bahwa dunia sedang dijajah oleh selera rendah yang dipelihara terus-menerus. Maka lahirlah “Sop Uluh”—dua kata dari bahasa Bali yang berarti “memasukkan makanan ke mulut” (sop) dan “menelan bulat-bulat apa yang masuk ke dalam mulut” (uluh). Tindak sederhana sehari-hari, tapi ketika dijadikan simbol, berubah jadi cermin yang memantulkan kerakusan manusia modern.
Makhluk ini punya enam tangan. Masing-masing menebar ancaman, dengan jari-jari meregang seperti hendak mencakar langit atau mencabik denan kku runcingnya siapa saja yang lewat di dekatnya. Tak satu pun dari tangan itu tampak ramah. Semua dalam posisi menyerang, membekukan niat baik sebelum sempat lahir. Keenam tangan ini bisa dibaca sebagai representasi visual dari Sad Ripu—enam musuh utama dalam diri manusia menurut ajaran Hindu: kama (nafsu), lobha (keserakahan), krodha (amarah), mada (keangkuhan), moha (kebingungan), dan matsarya (iri hati). Bukan sekadar elemen tambahan, tangan-tangan itu menyatakan bahwa dalam tubuh satu makhluk pun bisa bercokol seluruh sebab kehancuran umat manusia.
Mulutnya terbuka lebar. Tapi bukan untuk bicara. Di dalamnya ada kepala manusia. Bukan kepala imajiner. Kepala yang sedang ditelan. Kita bisa pura-pura tidak melihatnya. Tapi ia ada di sana. Tegas dan mengganggu. Bahwa yang sedang dilahap bukan korban imajinasi. Tapi manusia seperti kita.
Yang juga unik adalah keberadaan empat payudara yang menggantung di tubuh itu. Secara biologis, struktur tubuh seperti ini lebih menyerupai mamalia betina seperti sapi, kerbau, atau kambing—hewan-hewan yang memiliki ambing dengan empat kelenjar penghasil susu. Dalam dunia peternakan, ambing itu adalah sumber kehidupan, penghasil air susu bagi anak-anak yang lahir. Tapi pada tubuh ogoh-ogoh ini, ambing itu tak berfungsi memberi. Ia justru menjadi simbol domestikasi yang gagal—alat menyusui yang kehilangan konteks. Tidak ada kasih, tidak ada pengasuhan. Hanya sisa fungsi yang menggantung di tubuh yang seharusnya tak mengenalnya. Maka ia tampak seperti ejekan terhadap harapan, terhadap fungsi biologis yang biasanya diasosiasikan dengan kelembutan. Di dunia ini, bahkan kemampuan memberi kehidupan bisa dipakai untuk menindas.
Lalu di keningnya, tertanam mata ketiga—dikenal di Bali sebagai Cuda Mani, permata terbaik. Dalam ajaran Hindu, ia disebut Anja Cakra, tempat intuisi dan kebijaksanaan. Tapi di sini, mata itu justru seperti menatap kosong. Seolah menegaskan bahwa kebijaksanaan pun bisa dibajak. Bahkan mata batin, bila tidak diawasi, bisa menjadi alat penindas.
Secara teknik, ogoh-ogoh ini disusun dengan ketelitian yang luar biasa. Tubuh besar ditopang oleh rangka besi yang tidak hanya kuat, tapi juga memperhitungkan keseimbangan saat diarak. Detail otot, lipatan kulit, hingga urat-urat di leher dan betis, dikerjakan dengan presisi. Bahkan kakinya pun bukan kaki manusia—melainkan kaki mamalia, serupa sapi atau kerbau. Ia berlutut di atas kuku, bukan telapak. Ini bukan kebetulan. Pemilihan kaki seperti itu mempertegas bahwa makhluk ini bukan hasil evolusi manusia, melainkan hasil domestikasi yang gagal. Campuran antara manusia, hewan ternak, dan roh-roh yang kehilangan tempat tinggal. Catnya tidak mencolok, tapi dalam diamnya menyampaikan pesan lebih keras dari warna-warni parade.
Kita bisa bicara tentang tradisi, tentang Bhuta Kala, tentang penyucian spiritual. Semua itu sah. Tapi pertanyaannya: masihkah kita percaya bahwa yang kita hadapi hanyalah makhluk-makhluk mitos? Bukankah ogoh-ogoh ini justru lebih menyerupai manajer korporat yang tega memotong gaji karyawan, atau politisi yang menjanjikan surga sambil menggadaikan masa depan?
Ogoh-ogoh ini bukan penjelmaan mitos. Ia penjelmaan sistem. Sistem yang kita biarkan tumbuh, sambil pura-pura tidak melihat kepala manusia di mulutnya. Kita bisa berdalih bahwa ini hanya tradisi. Tapi di titik tertentu, kita harus akui: kita sedang menciptakan altar untuk memuja raksasa yang kita buat sendiri.
Pada “Sop Uluh” Gus Man Surya tidak sekadar membentuk sosok-sosok besar dari bambu dan kertas, melainkan sebuah esai visual. Ia sedang menulis editorial dengan resin dan cat semprot. Mereka tahu bahwa dunia ini tidak bisa lagi dilawan dengan bait-bait puisi lama. Maka mereka menggambar langsung wajah kekuasaan dan menaruhnya di mulut rakus.
“Sop Uluh” bukan semata-mata untuk dikagumi. Ia tidak dibuat hanya untuk itu. Ia dibuat agar kita merasa tidak tenang. Agar kita bertanya: kapan terakhir kali kita menjadi kepala yang ditelan, atau tangan yang ikut merampas? [BEKRAF/Abe]
Sumber Foto : IG @gusman_surya