Thu. Mar 6th, 2025

Menguatkan Kepercayaan Digital

DALAM beberapa tahun terakhir, dunia digital diguncang oleh berbagai kasus pelanggaran data yang mengancam kepercayaan pengguna terhadap teknologi. Skandal Cambridge Analytica tahun 2018 mengekspos bagaimana 87 juta data pengguna Facebook digunakan tanpa izin untuk kepentingan politik, menggugah kesadaran global akan pentingnya perlindungan privasi. Di tahun 2017, kebocoran data Equifax menyebabkan 147 juta informasi pribadi bocor, termasuk nomor jaminan sosial dan informasi keuangan, memperlihatkan betapa rentannya sistem keamanan perusahaan besar. Sementara itu, pada 2020, peretasan Twitter yang menargetkan akun-akun tokoh dunia seperti Elon Musk dan Barack Obama menunjukkan kelemahan dalam sistem keamanan media sosial, di mana platform sebesar Twitter pun dapat ditembus untuk menjalankan skema penipuan Bitcoin.

Rentetan kasus ini semakin menegaskan bahwa Digital Trust bukan sekadar konsep, tetapi kebutuhan mendesak dalam ekosistem digital yang semakin kompleks. Atas dasar inilah Seminar Digital Trust: Data Kita, Kendali Kita digelar di Ruang Taksu, Dharma Negara Alaya, Denpasar, pada Jumat, 28 Februari 2025. Seminar ini merupakan bagian dari DTIK Festival, yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-237 Kota Denpasar, dengan menghadirkan dua pakar di bidangnya, IGP Rahman Desyanta (CEO Baliola) dan Adrian Keet (Direktur Mandala Blockchain Academy). Acara ini dipandu oleh Yudik Setiawan dari Baliola, yang mengarahkan jalannya diskusi secara interaktif.

IGP Rahman Desyanta membuka sesi dengan membawakan materi bertajuk Kenapa Digital Trust? – Hak dan Kewajiban Kita. Dalam paparannya, ia mengajak peserta untuk merenungkan pertanyaan kritis: Apakah data saya aman? Siapa yang bisa mengaksesnya? Bagaimana saya tahu jika data saya telah digunakan tanpa izin? Ia menekankan bahwa kepercayaan digital adalah fondasi keamanan siber, transparansi, dan akuntabilitas dalam dunia digital. Tanpa kepercayaan ini, pengguna akan semakin ragu menggunakan layanan digital, yang pada akhirnya dapat menghambat inovasi teknologi.

Tantangan dalam membangun kepercayaan digital juga muncul di berbagai sektor, mulai dari media sosial, perbankan digital, hingga e-commerce. Banyak pengguna bertanya-tanya, Apakah pesan pribadi saya benar-benar aman? Bisakah saya mempercayai sistem keuangan online sepenuhnya? Bagaimana saya tahu bahwa informasi kartu kredit saya tidak akan disalahgunakan? Ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak mendapatkan jawaban yang memadai, dampaknya bisa sangat besar. Hingga kini, biaya ekonomi global akibat kejahatan siber diperkirakan mencapai 10,5 triliun dolar AS pada tahun 2025, menjadikan keamanan digital sebagai tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Untuk menjawab tantangan ini, masyarakat perlu memahami hak-haknya dalam dunia digital. Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia menjadi payung hukum yang menegaskan bahwa setiap individu berhak atas privasi, transparansi, dan keamanan data. Pengguna harus memiliki kendali atas data mereka sendiri serta diberikan akses terhadap informasi bagaimana data mereka dikumpulkan dan digunakan oleh platform digital. Prinsip ini juga selaras dengan regulasi global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa, yang menjadi standar utama dalam kebijakan perlindungan data di dunia.

Diskusi semakin menarik saat Anta membahas Paradoks Digital Trust, di mana transparansi dan keamanan harus berjalan beriringan tanpa saling mengganggu. Ia menjelaskan bahwa membangun kepercayaan digital membutuhkan lapisan transparansi yang terstruktur (Layered Transparency) agar platform digital bisa mengungkapkan kebijakan keamanan mereka tanpa membahayakan integritas sistem. Mekanisme Distributed Trust juga penting untuk menghindari ketergantungan pada satu titik kegagalan (single point of failure), sementara pengawasan etis dan audit independen menjadi kunci untuk memastikan kepercayaan tidak hanya bertumpu pada sistem teknologi, tetapi juga pada tanggung jawab bersama antara pengguna, operator, dan pengawas eksternal.

Salah satu pertanyaan yang muncul dalam seminar adalah apakah blockchain dapat menjadi solusi untuk membangun ekosistem digital yang lebih aman dan terpercaya. Anta menegaskan bahwa blockchain menghadirkan desentralisasi, transparansi, keterlacakan, perlindungan privasi, dan sifat tidak dapat diubah (immutability). Teknologi ini memungkinkan setiap individu memiliki kendali atas data mereka sendiri, sementara sistem verifikasi yang transparan memastikan bahwa data yang tersimpan dalam jaringan blockchain tidak dapat dimanipulasi. Dengan konsep ini, blockchain dapat mengembalikan tanggung jawab digital kepada tiga pilar utama: pengguna, penyedia layanan, dan pengelola jaringan.

Memasuki sesi berikutnya, Adrian Keet membawakan materi berjudul The Value of Trust & the Importance of Digital Education. Dalam paparannya, ia menyoroti pentingnya literasi digital dalam membangun kepercayaan di dunia maya. Ia mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dalam menjaga keamanan digital dengan menerapkan prinsip “verify, don’t believe“, mengelola kata sandi dengan lebih aman, serta memahami risiko yang terkait dengan aset digital.

Adrian juga menyoroti peluang karier di industri digital yang semakin berkembang, mulai dari sektor perangkat lunak hingga regulasi hukum. Ia menekankan bahwa memahami teknologi seperti blockchain dan kecerdasan buatan (AI) dapat membuka peluang besar bagi individu yang ingin berkontribusi dalam ekosistem digital. Selain itu, ia menyoroti Visi Indonesia Digital 2045, yang bertujuan menciptakan ekosistem digital yang inklusif, aman, dan berdaya saing global.

Di penghujung seminar, sesi tanya jawab berlangsung dengan antusiasme tinggi. Banyak peserta yang ingin mengetahui lebih jauh bagaimana mereka dapat melindungi data pribadi mereka serta bagaimana pemerintah dan perusahaan dapat bekerja sama untuk membangun ekosistem digital yang lebih aman.

Kesimpulannya, Digital Trust bukan hanya tanggung jawab perusahaan teknologi atau pemerintah, tetapi merupakan tanggung jawab kolektif seluruh pengguna internet. Dengan memahami hak dan kewajiban dalam ekosistem digital, masyarakat dapat lebih cerdas dalam menjaga keamanan data mereka dan memastikan bahwa teknologi yang digunakan benar-benar dapat dipercaya.

Seminar ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Denpasar untuk lebih memahami bagaimana kepercayaan digital dapat membentuk masa depan interaksi online yang lebih aman, transparan, dan bertanggung jawab. [BEKRAF/Abe]

By Bekraf

Related Post