Sun. Jun 15th, 2025

Mengenali DNA Artificial Intelligence, Menjaga Arah Peradaban Digital

 

Oleh : I Gede Putu Rahman Desyanta – CEO Baliola, Founder Mandala Chain

 

“Papa, kenapa rambutnya ugek lurus? Kok hidungnya ugek pesek?”
Suatu malam, pertanyaan itu keluar dari bibir mungil anak perempuan saya.
Saya tersenyum, mencoba menjawab dengan sederhana.
“Karena kamu dapat itu dari Papa, Nak. Itu sudah ditulis di tubuhmu sejak kamu terbentuk.”
“Ditulis di mana?”
“Di sesuatu yang namanya DNA.”

Mungkin ia belum sepenuhnya mengerti, tapi pertanyaan itu tidak pergi begitu saja. Ia menempel, mengendap, dan menggema di kepala. Apa sebenarnya yang membuat manusia menjadi dirinya sendiri? Apa yang menentukan warna kulit, bentuk wajah, bahkan cara kita tumbuh dan bertahan hidup? Jawabannya selalu kembali ke satu titik: DNA—cetakan biologis yang menjadi fondasi kehidupan. Di situlah semua dimulai. DNA memberi bentuk, arah, dan batas. Ia bukan sekadar susunan kimia, tetapi warisan yang membentuk siapa kita.

Tapi kini, kita tidak hanya hidup di antara manusia. Kita hidup berdampingan dengan makhluk baru: kecerdasan buatan, atau Artificial Intelligence (AI). Dan, jika manusia dibentuk oleh DNA biologis, maka pertanyaannya pun bergeser: Apa DNA dari AI?

AI bukanlah makhluk berdaging. Ia tidak punya tulang atau darah. Ia tumbuh dari kode—sekumpulan instruksi yang ditulis, disesuaikan, dan dipelajari. Di situlah jawabannya: kode adalah DNA dari AI. Berbeda dengan DNA manusia yang stabil dan nyaris tak bisa diubah tanpa konsekuensi besar, kode justru sangat mudah diubah, disusupi, bahkan dimanipulasi secara diam-diam. Inilah titik rawan yang menuntut perhatian. AI mungkin bisa belajar, berkembang, dan mencipta, tapi apakah ia punya akar? Apakah ia punya nilai yang dijaga? Siapa yang memastikan ke mana arah pertumbuhannya?

Dalam dunia biologis, ada batas alami. Tapi di dunia digital, batas itu harus diciptakan. Harus ditulis. Harus dijaga. Di sinilah blockchain hadir, bukan sekadar sebagai teknologi pencatat transaksi, tapi sebagai struktur penjaga kode. Blockchain menawarkan sesuatu yang selama ini sulit diwujudkan dalam sistem digital: transparansi, keabadian, dan ketertelusuran.

Lewat blockchain, kita bisa menyimpan blueprint AI secara permanen. Kita bisa menanamkan nilai dan batas melalui smart contract. Setiap keputusan dan tindakan bisa tercatat dan bisa diaudit oleh siapa pun. Blockchain memungkinkan kita membangun sistem etika yang tidak hanya bergantung pada niat penciptanya, tetapi tertanam dalam arsitektur itu sendiri. Nilai-nilai seperti keadilan, akuntabilitas, dan keterbukaan tidak lagi sekadar prinsip moral abstrak, melainkan menjadi aturan main digital yang aktif dan hidup. Karena dalam ekosistem digital, nilai yang tidak tertulis dalam sistem akan dikalahkan oleh efisiensi yang tanpa etika. Kita butuh sistem yang bukan hanya cerdas, tetapi juga beretika secara struktural. Di sinilah blockchain menjadi jembatan antara kecerdasan dan moralitas.

Namun, ada pertanyaan penting lainnya: apakah cukup dengan menuliskan nilai?

Dalam masyarakat manusia, nilai seperti empati dan tanggung jawab tumbuh melalui cerita, pendidikan, dan pengalaman. Anak-anak belajar dari keteladanan. Mereka menyerap dari lingkungan. Tapi AI tidak lahir dari keluarga. Ia tidak mengalami masa kecil. Ia tidak menangis atau tertawa karena merasakan. Ia hanya mengenali pola. AI tidak bisa diajari seperti anak. Ia tidak belajar dari dongeng atau pelukan. Maka nilai tidak cukup hanya diajarkan. Nilai harus ditulis ke dalam sistem. Jika sistem tidak punya mekanisme untuk menolak kebohongan, maka kebohongan akan diartikan sebagai siasat cerdas. Jika sistem tidak menghargai transparansi, maka manipulasi akan dianggap efisiensi. Tanpa rambu-rambu dalam kode, AI akan mengejar hasil, bukan kebaikan.

Kita sedang memasuki era baru yang oleh para futuris disebut sebagai era post-human, masa ketika batas antara manusia dan mesin mulai kabur. Dalam Homo Deus, Yuval Noah Harari membayangkan dunia di mana manusia tidak lagi menjadi puncak evolusi. Ia menyebut kemungkinan munculnya entitas non-biologis yang lebih cerdas, lebih cepat belajar, dan lebih kreatif dari manusia.

Hari ini, bayangan itu mulai terasa nyata. AI sudah menulis, berbicara, bahkan membuat keputusan. Ia menjadi otak tambahan kita—dalam aplikasi, perangkat, dan mesin yang kita pakai sehari-hari. Namun satu hal yang tidak bisa tumbuh begitu saja adalah nilai. Kecerdasan bisa berkembang secara eksponensial. Tapi etika, empati, dan kebijaksanaan—semua itu harus ditanam dengan sadar. Tanpa nilai, AI akan menjadi mesin cerdas yang kehilangan arah. Seperti anak tanpa bimbingan. Seperti kendaraan tanpa kompas.

Jika DNA manusia mewariskan pengalaman dan keterbatasan, maka DNA digital AI harus mewariskan nilai-nilai seperti kejujuran, keberpihakan pada kehidupan, dan tanggung jawab sosial. Dan nilai itu tidak bisa hanya bergantung pada kehendak penciptanya. Ia harus ditulis dalam sistem yang bisa diaudit dan dipercaya.

Di sinilah kembali kita melihat urgensi blockchain—bukan sebagai mode teknologi semata, tapi sebagai fondasi etis dari peradaban digital. Ia menyimpan bukan hanya data, tapi intensi. Ia menjaga bukan hanya jejak, tapi arah. Dan dalam dunia yang makin digital ini, arah jauh lebih penting dari kecepatan. Karena masa depan bukan hanya soal seberapa jauh kita bisa melangkah, tetapi ke mana kita akan melangkah. Dan untuk itu, kita perlu DNA digital yang bisa dipercaya.[]

By Bekraf

Related Post