Fri. Oct 17th, 2025

Website di Era Kejayaan Media Sosial, Mengapa Masih Diperlukan?

Oleh : Agung Bawantara

Pemandangan ini sudah sangat lumrah: pagi hari seorang anak muda membuka mata, bukan meraih koran atau menyalakan televisi, melainkan menatap layar ponsel. Di sana, ikon-ikon media sosial menunggu disentuh — Instagram, TikTok, YouTube, X, atau Facebook bagi generasi sedikit lebih senior. Timeline mereka penuh potongan video singkat, foto estetik, meme lucu, kabar viral, hingga komentar-komentar yang sering lebih ramai daripada berita itu sendiri.

Anak muda masa kini tumbuh dengan kebiasaan membagikan hidup mereka ke ruang publik digital. Mereka membuat video lucu di kamar kos, mengulas makanan kaki lima, merekam tarian di tepi pantai, atau sekadar berbagi curhat singkat. Semua bisa viral, semua berpotensi menjadikan seseorang “terkenal” dalam sekejap. Tak perlu kamera besar atau studio mewah—cukup ponsel dan keberanian tampil.

Fenomena ini melahirkan euforia: siapa pun bisa menjadi siapa saja. Seorang siswa SMA bisa mendadak selebritas karena video lipsync; ibu rumah tangga bisa jadi ikon kuliner karena konsisten berbagi resep; aktivis sosial bisa menggerakkan ribuan orang lewat satu unggahan. Dunia terasa terbuka lebar tanpa syarat yang rumit. Namun, di balik gegap gempita itu, muncul pertanyaan penting: apakah eksistensi digital hanya sebatas di media sosial? Dan apakah identitas kita aman bila seluruhnya bergantung pada platform yang bukan milik kita sendiri?

Rumah Digital 
Media sosial ibarat rumah kontrakan—ramai dan nyaman, tapi aturannya milik orang lain. Kita bisa kehilangan ruang itu kapan saja: algoritma berubah, jangkauan menurun, atau akun diblokir tanpa peringatan jelas. Berbeda dengan website, yang menjadi rumah permanen di dunia digital—alamat resmi yang benar-benar kita miliki.

Website memberi banyak keunggulan. Pertama, kredibilitas. Ia memberi kesan profesional dan formal. Bayangkan dokter yang hanya punya akun Instagram dibanding dokter yang memiliki website lengkap dengan profil dan artikel kesehatan—kepercayaan publik tentu berbeda. Kedua, kebebasan tampilan. Media sosial terbatas pada format feed atau story, sedangkan website memungkinkan pengaturan visual dan struktur sesuai karakter pemiliknya—bisa menjadi galeri seni, perpustakaan digital, hingga ruang kelas virtual.

Ketiga, arsip yang tertata. Di media sosial, konten cepat tenggelam oleh arus tren. Website menyimpan semua karya secara rapi dan mudah dicari, bahkan bertahun-tahun kemudian. Keempat, kepemilikan data. Di media sosial, semua data milik platform; di website, kita memiliki akses penuh atas perilaku pengunjung—informasi penting bagi pengembangan karya atau bisnis. Kelima, monetisasi mandiri. Website membuka peluang penghasilan lebih luas, dari iklan dan penjualan produk digital hingga kelas daring atau donasi.

Lebih dari sekadar alat promosi, website adalah arsip dan warisan digital. Ia menampung perjalanan panjang seorang kreator: tulisan, karya seni, foto, video, atau dokumentasi kegiatan. Bayangkan penulis dongeng yang menyusun seluruh karyanya di website—terkategori, tertata, dan mudah diakses. Kelak, arsip itu bisa berkembang menjadi ensiklopedia daring atau bahan penelitian. Website menjadikan jejak digital kita bukan sekadar rekam lalu hilang, tetapi memori yang hidup.

Dari Panggung Sosial ke Warisan Digital
Media sosial dan website bukan pesaing, melainkan dua sisi yang saling melengkapi. Media sosial adalah panggung—ramai, cepat, dan penuh penonton. Website adalah rumah—tempat kembali, tempat menyimpan segalanya dengan rapi. Strategi terbaik adalah menggabungkan keduanya: gunakan media sosial untuk menarik perhatian, lalu arahkan audiens ke website sebagai pusat kendali dan ruang mendalam.

Contohnya, potongan dongeng animasi di TikTok dapat mengarahkan penonton ke website untuk menonton versi lengkap atau membeli e-book. Penonton YouTube bisa membuka website untuk membaca artikel sejarah atau menelusuri dokumenter yang lebih panjang. Ini disebut omnichannel presence—kehadiran di berbagai platform dengan pusat gravitasi tetap di website.

Di masa depan, bentuk website akan terus berevolusi: hadir website interaktif berbasis AI yang menjawab pertanyaan pengunjung, website AR/VR yang menghadirkan ruang pamer virtual, atau website berbasis blockchain dengan sertifikat kepemilikan digital. Namun, esensinya tak berubah—ia tetap rumah digital yang stabil dan tahan waktu.

Kita boleh larut dalam euforia media sosial, tetapi perlu berpikir jauh ke depan: bagaimana karya tersimpan, bagaimana identitas bertahan, dan bagaimana warisan digital kita bisa diwariskan. Website mungkin tak seseru timeline TikTok, tapi ia adalah fondasi yang tak tergantikan—rumah yang selalu menunggu untuk dipulangi. Karena pada akhirnya, bukan sekadar likes dan views yang penting, melainkan jejak yang bisa dikenang dan diwariskan.[]

By Bekraf

Related Post