Thu. Oct 16th, 2025

Ratu Adil, Tafsir Alternatif Tentang Diponegoro di Kanvas Ari Winata

Catatan Agung Bawantara

TELAH banyak seniman yang melukiskan sosok Pangeran Diponegoro, dari era kolonial hingga zaman kontemporer. Nama-nama besar seperti Nicolaas Pieneman, Raden Saleh, S. Sudjojono, dan Basoeki Abdullah telah memulaskan ke kanvas mereka beragam tafsir visual atas tokoh legendaris ini. Namun, lukisan karya I Nyoman Ari Winata berjudul Ratu Adil (2025) menghadirkan sesuatu yang berbeda. Tentu karya ini juga menggambarkan heroisme sebagaimana yang lain, namun ia juga melakukan pembacaan spiritual atas keadilan sebagai kesadaran kosmik.

Pangeran Diponegoro (1785–1855) sendiri telah banyak diceritakan sebagai tokoh sejarah yang sekaligus menjadi simbol moral bangsa. Ia salah satu ikon semangat bangsa ini yang menolak tunduk pada ketidakadilan.

Lahir di lingkungan keraton Yogyakarta dengan nama Raden Mas Ontowiryo, Sang Pangeran justru memilih hidup di luar istana. Dari pertapaannya di Tegalrejo, ia memandang dunia keraton yang makin larut dalam kemewahan dan kompromi politik sebagai tanda rusaknya keseimbangan moral Jawa. Ketika Belanda mencaplok tanah warisan leluhurnya untuk pembangunan jalan, Diponegoro tidak melihatnya sebagai sengketa biasa, melainkan pelanggaran terhadap tatanan kosmos dan martabat bangsa.

Tindakan itu menjadi pemicu Perang Jawa (1825–1830). Ini Adalah salah satu perang paling dahsyat dalam sejarah Nusantara. Perang ini melibatkan ratusan ribu rakyat dan mengguncang sendi-sendi kekuasaan kolonial.

Bagi Diponegoro, perang bukan sekadar perlawanan bersenjata, melainkan jalan spiritual untuk menegakkan dharma (kebenaran ilahi). Ia memandang dirinya sebagai hamba Tuhan yang dipanggil untuk menunaikan tugas suci.

Dalam naskah Babad Diponegoro yakni catatan otobiografis Sang pangeran yang kini diakui UNESCO sebagai Memory of the World, ia menulis bahwa perjuangan sejatinya adalah perang melawan keangkaramurkaan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri manusia sendiri.

Kepahlawanan Diponegoro tidak lahir dari ambisi, tetapi dari kesadaran moral dan spiritual. Ia memilih hidup sederhana, menolak takhta, dan memimpin rakyat dengan keteguhan hati. Ia berjuang bukan untuk menang, melainkan untuk menegakkan harga diri bangsa dan keseimbangan semesta.

Di mata banyak pemikir modern, Diponegoro adalah Ratu Adil dalam bentuk manusia.  Seorang pemimpin yang menjadikan keadilan dan kesucian sebagai landasan perjuangan. Dan setelah dua abad berlalu, sosoknya tetap hidup sebagai cermin keberanian moral, bukan sekadar ikon sejarah.

Ketika Sejarah Menjadi Spirit
Nah, dalam lukisn “Ratu Adil” (2025), Ari Winata mengangkat tema lama dengan pendekatan baru. Dalam lukisan ini Ariwinata tidak mengedepankan peristiwa, melainkan energi sejarah itu sendiri. Lukisan di atas kanvas berukuran 150 cm × 200 cm ini menjadi arena di mana dunia jasmani dan rohani berkelindan.

Di situ Diponegoro digambarkan tengah menunggang kuda hitam, mengenakan jubah putih dan sorban, mengangkat tongkat emas seperti danda dharma yang merupakan lambang kekuasaan spiritual. Di hadapannya, seorang perwira Belanda berseragam biru dengan pedang terhunus menatap lurus. Tak ada tatap kebencian pada keduanya. Yang terlihat adalah pandangan pengakuan tentang takdir atas keberadaan masing-masing. Sehinga di kanvas Ariwinata kedua sosok itu tak terlihat sebagai dua musuh tetapi dua kutub semesta yang saling melengkapi: terang dan gelap, dharma dan adharma, pengorbanan dan ambisi. Semua itu ia hadirkan melalui pusaran warna dan garis berlapis. Seperti sebuah medan energi yang berputar dan memberi nafas kembali sejarah yang telah berlalu selama 200 tahun.

Secara teknis, karya ini menegaskan keahlian Ari Winata dalam mengolah akrilik berlapis tipis dengan sapuan spiral dan silang yang menciptakan tekstur bergetar. Nyaris tidak ada bidang datar; seluruh permukaan hidup dalam gerakan melingkar. Ini iteknik yang menjadi tanda khas Ariwinata. Kesan itu membuat penonton tidak hanya “melihat”, tetapi merasakan pusaran energi spiritual yang mengelilingi figur Diponegoro.

Palet warna didominasi putih, biru, abu, dan emas lembut menandakan pencerahan, kesucian, dan keteguhan moral. Sementara cahaya dalam lukisan tidak datang dari langit, melainkan memancar dari tubuh Diponegoro sendiri, seolah pelukis ingin menyatakan bahwa kekuatan sejati lahir dari dalam kesadaran.

200 Tahun Kesadaran
Judul Ratu Adil tidak hanya merujuk pada usia dua abad sang pangeran, melainkan juga refleksi atas kondisi zaman. Ramalan Jayabaya tentang datangnya Ratu Adil —pemimpin yang menegakkan keadilan setelah masa kegelapan— menjadi metafora kesadaran bangsa Indonesia modern. Bagi Ari Winata, Ratu Adil bukan figur tunggal, melainkan energi moral kolektif.

Diponegoro dalam karyanya bukan hanya simbol perlawanan terhadap Belanda, tetapi cermin bagi manusia Indonesia masa kini: apakah kita masih memiliki keberanian moral untuk menegakkan dharma, atau telah tunduk pada kekuasaan yang korup dan kehilangan arah spiritual?

Dalam konteks ini, Ratu Adil menjadi renungan eksistensial — bahwa perjuangan belum selesai, hanya berubah bentuk: dari perang fisik menjadi perang batin, dari senjata menjadi nurani. Lukisan ini berdiri di antara dua dunia: sejarah yang konkret dan spiritualitas yang tak kasat mata.

Ari Winata tidak memisahkan keduanya; ia menjahit masa lalu dan masa kini menjadi satu medan kesadaran. Gelombang biru-putih di bawah kaki kuda tampak seperti lautan waktu, menegaskan bahwa perjuangan Diponegoro bukan hanya milik abad ke-19, tetapi juga milik masa depan bangsa.
Dalam gaya sapuannya yang berlapis, kita merasakan getaran spiritualitas Timur, di mana realisme fisik melebur dengan simbolisme mistik.

Karya yang kini dikoleksi Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, ini lebih dari sekadar lukisan Sejarah. Ia adalah meditasi visual tentang keadilan, karma, dan kebangkitan jiwa bangsa. Melaluinya I Nyoman Ari Winata memperluas makna “lukisan sejarah” menjadi lukisan kesadaran. Ia tidak mengulang heroisme lama, melainkan membangkitkan roh moral Diponegoro dalam bahasa visual yang kontemporer, spiritual, dan berakar pada nilai Nusantara. Jika lukisan Raden Saleh mengabadikan amarah yang mulia, maka karya Ari Winata menyalakan cahaya kebijaksanaan.

Dua abad setelah kelahiran sang pangeran, Ari seolah ingin mengingatkan kita: Ratu Adil tidak sedang ditunggu. Ia telah hidup — di dalam kesadaran setiap jiwa yang berani menegakkan kebenaran. []

 

By Bekraf

Related Post