DALAM beberapa tahun terakhir, ogoh-ogoh berkembang dari karya ritual tahunan menjadi aset kreatif berskala besar dengan nilai budaya, estetika, dan ekonomi yang semakin diakui. Setiap ogoh-ogoh kini memiliki identitas visual, karakter, narasi, dan teknik artistik yang unik. Di tengah meningkatnya dokumentasi publik, festival, liputan media, hingga kolaborasi lintas industri, pencatatan kekayaan intelektual (KI) alias Intelectual Property (IP) menjadi langkah penting untuk melindungi karya dari klaim sepihak dan penggunaan tanpa izin. Pencatatan IP juga memperkuat posisi Sekaa Teruna, perupa, maupun desa adat sebagai pencipta karya, serta menjadi dasar yang jelas saat ogoh-ogoh digunakan dalam konteks komersial seperti film dokumenter, merchandise, atau promosi pariwisata.
Manfaat ekonominya pun semakin nyata. Ketika desain, karakter, atau narasi ogoh-ogoh tercatat sebagai ciptaan, peluang monetisasi terbuka luas—mulai dari kaos, poster, figur, hingga lisensi untuk animasi, dokumenter, video game, atau kampanye brand. Arsip digital yang rapi memudahkan pengembangan museum virtual, pameran, atau kolaborasi kreatif yang bernilai finansial. Secara budaya, pencatatan ini menjadi bentuk pelestarian, memastikan setiap generasi dapat menelusuri rekam jejak kreativitas yang tumbuh dari banjar-banjar di Bali. Pilihan tempat pencatatan bervariasi: DJKI sebagai lembaga formal negara, sistem dokumentasi pemerintah kota sebagai arsip resmi daerah, hingga platform blockchain seperti Kraflab sebagai bukti kepemilikan cepat, murah, dan permanen. Kombinasi blockchain (untuk pencatatan awal yang luwes) dan DJKI (untuk perlindungan hukum maksimal) menjadi strategi paling realistis bagi karya yang lahir setiap tahun dengan intensitas tinggi.
Alternatif dan Solusi untuk Kendala Biaya
Kendala utama yang kerap dihadapi komunitas adalah biaya dan kerumitan proses di DJKI, terutama bagi STT yang bekerja dengan sumber daya terbatas. Di sinilah blockchain menjadi alternatif praktis. Melalui sistem pencatatan terdesentralisasi, sketsa, foto proses, video fragmen tari, dan bentuk final ogoh-ogoh dapat didaftarkan dalam hitungan menit dengan biaya jauh lebih rendah. Timestamp blockchain memberikan bukti kepemilikan yang kuat saat terjadi sengketa atau klaim dari pihak luar. Untuk ogoh-ogoh yang kemudian mendapat perhatian besar atau peluang ekonomi, barulah pendaftaran formal ke DJKI dilakukan sebagai lapisan perlindungan lanjutan.
Model kolaborasi juga dapat menjadi solusi. Pemerintah kota atau BKraf Denpasar dapat membuat program pencatatan kolektif—proses lebih sederhana, biaya lebih ramah, dan edukasi dilakukan secara massal. Kerja sama seperti Baliola melalui Kraflab untuk pencatatan digital dan BKraf untuk penulisan narasi kuratorial dapat menciptakan sistem dokumentasi yang tidak hanya melindungi, tetapi juga membangun branding kota melalui kreativitas warganya. Dengan pendekatan terukur ini, ogoh-ogoh tidak hanya hadir sebagai simbol penyucian jelang Nyepi, tetapi juga sebagai aset budaya yang dapat dilindungi, dikembangkan, dan memberikan nilai ekonomi berkelanjutan. [bekraf/red]
