Oleh : Agung Bawantara
Ini pemandangan yang sudah sangat lumrah: Peristiwa pagi hari seorang anak muda. Begitu membuka mata, bukan koran yang ia raih, bukan pula televisi yang ia nyalakan, melainkan layar ponsel dengan ikon-ikon media sosial yang menunggu disentuh. Instagram, TikTok, YouTube, X (Twitter), atau Facebook bagi sebagian yang lebih senior. Timeline penuh dengan potongan video singkat, foto estetik, meme lucu, kabar viral, hingga komentar-komentar tajam yang kadang lebih ramai daripada isi berita itu sendiri.
Anak-anak muda masa kini tumbuh dengan kebiasaan membagikan potongan hidup mereka ke ruang publik digital. Mereka membuat video lucu di kamar kos, mengulas makanan kaki lima, merekam tarian di tepi pantai, atau bahkan sekadar membagikan curhat singkat. Semua bisa viral, semua berpotensi menjadikan seseorang “terkenal” dalam sekejap. Tidak perlu kamera besar, tidak perlu studio mewah, cukup ponsel dan keberanian tampil. Dari kebiasaan berbagi inilah lahir generasi yang sering disebut “digital native”—mereka yang menganggap membagikan cerita di media sosial sama wajarnya dengan mengobrol di warung kopi.
Fenomena ini menciptakan euforia: semua orang merasa bisa menjadi siapa saja. Seorang anak SMA bisa mendadak selebritas hanya karena video lipsync. Seorang ibu rumah tangga bisa menjadi ikon kuliner hanya karena konsisten mengunggah resep masakan harian. Bahkan aktivis sosial bisa menggerakkan ribuan orang hanya dengan satu unggahan yang menyentuh hati. Dunia seakan terbuka lebar, memberi panggung untuk siapa saja tanpa syarat yang rumit.
Namun, di balik gegap gempita itu, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: apakah eksistensi digital hanya sebatas di media sosial? Apakah identitas kita aman jika seluruhnya bergantung pada platform yang kita tidak punya kendali penuh?
Website Sebagai Rumah Digital
Media sosial bisa diibaratkan sebagai rumah kontrakan. Kita menempati ruang, tapi aturan ditentukan oleh pemilik kontrakan. Kita bisa diusir sewaktu-waktu jika dianggap melanggar aturan, meskipun kadang kita tidak benar-benar tahu batasannya. Algoritma bisa berubah, jangkauan bisa menurun, akun bisa diblokir.
Berbeda dengan website, yang bisa disebut rumah permanen di dunia digital. Website adalah alamat resmi yang kita miliki. Ia tidak sekadar ruang untuk berbagi, melainkan identitas, arsip, dan pusat kendali.
Berikut keunggulan website. Pertama, kredibilitas. Website memberikan citra profesional dan formal. Bayangkan seorang dokter yang hanya punya akun Instagram dibandingkan dengan dokter yang punya website resmi lengkap dengan profil, layanan, dan artikel kesehatan. Rasa percaya publik tentu berbeda. Kedua, kebebasan mengatur tampilan. Di media sosial, format terbatas. Semua posting mengikuti pola feed atau story. Sementara di website, kita bisa mengatur tampilan sesuka hati: warna, struktur, menu, hingga interaktivitas. Website bisa menjadi galeri seni, perpustakaan digital, museum hidup, atau bahkan ruang kelas virtual.
Ketiga, arsip yang tertata. Media sosial lebih cocok untuk konten yang cepat menguap. Hari ini viral, besok sudah tenggelam di timeline. Website berbeda. Ia menyimpan arsip dengan rapi, bisa diakses kapan saja, dan mudah dicari. Artikel yang ditulis lima tahun lalu masih bisa muncul di mesin pencari jika dikelola dengan baik.
Keempat, kepemilikan data. Di media sosial, semua data pengunjung dimiliki platform. Kita hanya diberi “angka” berupa jumlah like, komentar, atau followers. Di website, kita bisa mengakses data lebih detail: siapa yang datang, dari mana asalnya, apa yang mereka baca, dan bagaimana perilaku mereka. Data ini penting untuk strategi bisnis dan pengembangan jangka panjang.
Dan, kelima, monetisasi yang mandiri. Website membuka peluang penghasilan yang lebih luas: dari iklan mandiri, penjualan produk digital, kursus online, hingga donasi. Kita tidak sepenuhnya tergantung pada iklan bawaan platform seperti AdSense atau brand deals.
Menyimpan Jejak, Membangun Warisan
Salah satu fungsi penting website yang sering dilupakan adalah sebagai arsip. Media sosial cenderung memanjakan kita dengan kecepatan. Hari ini kita melihat tren A, besok sudah berganti ke tren B. Konten lama menghilang di lautan algoritma.
Website justru menonjol di sisi berlawanan. Ia bisa menyimpan tulisan, karya seni, video dokumenter, foto kenangan, hingga testimoni dalam jangka panjang. Bayangkan seorang penulis dongeng yang sudah menulis puluhan cerita. Jika hanya diposting di Instagram, cerita itu akan hilang dalam gulungan feed. Tetapi jika disusun dalam website, ia bisa dikategorikan: dongeng untuk anak, dongeng healing, dongeng tradisi Nusantara. Suatu saat, arsip itu bisa berkembang menjadi ensiklopedia daring, bahkan bahan penelitian akademis.
Di sinilah website berperan sebagai memori kolektif. Ia bukan sekadar tempat berbagi untuk saat ini, tapi wadah yang menampung perjalanan panjang. Seorang musisi bisa menyimpan semua lagu, lirik, dan cerita di balik penciptaan dalam websitenya. Seorang fotografer bisa menata arsip pameran dari tahun ke tahun. Seorang seniman ogoh-ogoh bisa mengabadikan karyanya agar tidak hilang ditelan waktu.
Dari Media Sosial ke Website
Banyak akun kuliner yang viral di Instagram, tapi daya tahannya bergantung pada tren. Ada yang kemudian mendirikan website, mengarsipkan resep, menulis blog panjang, membuka kelas memasak daring, hingga menjual e-book resep. Dengan begitu, mereka tidak hanya bergantung pada algoritma Instagram, tapi juga membangun kerajaan kuliner digital yang lebih kokoh.
Di Bali, berbagai sekaa truna membuat konten ogoh-ogoh yang viral setiap menjelang Nyepi. Namun, konten itu cepat menghilang setelah musim berlalu. Bayangkan jika ada website yang mengarsipkan ogoh-ogoh dari tahun ke tahun lengkap dengan foto, video, dan cerita. Website itu bukan hanya tempat dokumentasi, tapi juga bisa menjadi pusat rujukan budaya, bahkan sumber pendapatan lewat tur virtual atau merchandise.
Seorang penulis bisa menggunakan media sosial untuk promosi cepat, tapi website untuk menyimpan seluruh dongeng, dokumenter, dan ilustrasi. Website menjadi portofolio resmi, tempat orang mencari karya lama, sekaligus ladang monetisasi jangka panjang.
Penting untuk dipahami bahwa website bukanlah pesaing media sosial. Keduanya justru saling melengkapi. Media sosial adalah panggung yang ramai, penuh penonton, tempat kita menarik perhatian. Website adalah rumah tempat kita mengarahkan mereka setelah tertarik.
Contohnya: seseorang melihat potongan dongeng animasi di TikTok, lalu diarahkan ke website untuk menonton versi lengkap atau membeli e-book. Atau penonton YouTube tertarik dengan dokumenter lima menit, lalu membuka website untuk membaca artikel mendalam. Inilah strategi yang disebut omnichannel presence—kehadiran di berbagai platform dengan pusat kendali tetap berada di website.
Evolusi Website di Masa Depan
Bentuk website tentu akan terus berubah mengikuti teknologi. Di masa depan sangat besar kemungkinan hadir Website interaktif berbasis AI yang bisa menjawab pertanyaan pengunjung secara otomatis; Website dengan AR/VR yang bisa mengajak pengunjung masuk ke ruang pamer virtual; Website berbasis blockchain yang menjadikan setiap karya punya sertifikat kepemilikan resmi. Namun, esensinya tetap sama: website adalah rumah digital yang stabil dan tahan lama.
Kita boleh larut dalam euforia media sosial, menikmati kemudahan berbagi, dan merasakan ketenaran yang bisa datang dalam sekejap. Namun, kita juga perlu berpikir jangka panjang: bagaimana jejak itu tersimpan, bagaimana karya bisa bertahan, dan bagaimana identitas kita tidak lenyap hanya karena algoritma berubah.
Website memberi jawaban. Ia tidak seseru timeline TikTok, tapi ia adalah fondasi yang tidak bisa tergantikan. Seperti rumah yang selalu kita pulanginya setelah pergi ke pesta, website adalah ruang kembali yang menyimpan semua dengan rapi.
Di era di mana semua orang bisa terkenal dalam sekejap, website mengingatkan bahwa bukan hanya ketenaran yang penting, tetapi juga warisan digital. Karena suatu hari nanti, yang kita butuhkan bukan hanya likes dan views, tapi jejak panjang yang bisa dikenang, diakses, dan diwariskan.[]