Langit Kota Denpasar kembali semarak pada akhir pekan lalu, Sabtu–Minggu, 30–31 Agustus 2025, saat festival tahunan layang-layang kembali digelar. Ribuan layangan berbagai bentuk dan ukuran menghiasi udara, menghadirkan tontonan yang meriah sekaligus sarat makna budaya.
Tahun ini tercatat lebih dari 1.410 layangan ikut serta, terdiri atas sekaa/klub maupun perorangan. Peserta beradu kreativitas dalam beragam jenis layang-layang tradisional dan inovasi baru, seperti Bebean, Bebean Big Size, Janggan, Janggan Buntut, Janggan Buntut Big Size, dan Pecukan. Untuk kategori tradisional, panitia mewajibkan penggunaan kain bercorak khas Bali berwarna merah, kuning, hitam, dan putih.
Selain itu, lomba kober diikuti enam peserta, sementara lomba pindekan yang digelar pada 31 Agustus 2025 melibatkan 43 peserta. Rangkaian acara berlangsung dari pagi hingga sore, diiringi antusiasme masyarakat yang memadati kawasan lapangan terbuka.
Wandhira selaku penyelenggara menegaskan festival ini bukan semata ajang lomba, tetapi juga ruang ekspresi budaya. “Peserta tahun ini mencapai lebih dari 1.410 layangan. Harapannya festival berjalan lancar sebagai upaya melestarikan tradisi melayangan dan memberi ruang ekspresi bagi rare angon,” ujarnya, Sabtu (30/8/2025).
Walikota Denpasar, I Gusti Ngurah Jaya Negara, yang hadir membuka festival pada Sabtu, 30 Agustus 2025, memberikan apresiasi tinggi atas konsistensi penyelenggaraan acara. “Pemerintah Kota Denpasar berkomitmen melestarikan tradisi melayangan sebagai warisan budaya. Dari tradisi ini muncul kreativitas serta inovasi baru yang bermuara pada kelestarian budaya sekaligus mendukung kemajuan pariwisata berbasis budaya,” tegasnya.
Potensi yang Belum Sepenuhnya Terangkat
Lebih dari seribu layang-layang yang berkumpul dalam satu festival adalah bukti betapa hidupnya tradisi ini di Denpasar. Namun, di balik angka tersebut, masih terhampar potensi jauh lebih besar. Hampir setiap banjar di Denpasar memiliki komunitas pelayang dengan koleksi yang tak terhitung jumlahnya. Artinya, ribuan layangan lain sesungguhnya ada dan beredar, meski tidak semuanya tampil di arena lomba.
Denpasar dengan demikian tidak hanya sekadar tuan rumah festival, melainkan bisa dipandang sebagai museum hidup layang-layang tradisional terbesar di dunia—tempat di mana tradisi dan inovasi berpadu, dan langit selalu menjadi kanvas budaya. Tantangan sekaligus peluang ke depan adalah bagaimana menjadikan kekayaan ini bukan hanya atraksi tahunan, tetapi juga warisan yang diangkat ke panggung dunia.[]