Ulasan : Agung Bawantara
SEORANG perempuan muda berdiri dengan wajah murung. Tatapannya lurus, menembus siapa pun yang memandangnya. Di sampingnya, seorang anak kecil menyembul, nyaris melebur dalam latar yang penuh semburat warna. Keduanya bukan sekadar figur—mereka adalah saksi, adalah suara yang mewakili ribuan anak jalanan yang tumbuh dalam sunyi dan debu kota. Judulnya Pemulung Kecil, dan inilah karya terbaru dari seniman I Nyoman Ari Winata yang secara mengejutkan menyentuh sisi terdalam kemanusiaan kita.
Selama ini, Ari dikenal melalui karya-karyanya yang berakar pada kontemplasi spiritual dan kebudayaan Bali. Ia membingkai simbol seperti gajah, topeng, dan lanskap ritual ke dalam dunia yang puitik dan reflektif. Tapi kali ini, ia turun ke jalan. Pemulung Kecil adalah pergeseran penting—bukan karena ia meninggalkan spiritualitas, tetapi karena ia menemukan spiritualitas itu dalam kehidupan yang paling nyata dan terpinggirkan.
Yang paling mencolok dalam karya ini adalah penggunaan warna. Warna-warna terang seperti merah muda, kuning cerah, hijau neon, dan biru elektrik tak sekedar hadir sebagai ornamen, melainkan seolah-olah menetes dari tubuh kedua tokohnya. Percikan warna itu seperti bekas krayon di tangan anak kecil yang belum mengenal batas. Ada yang menggembirakan, tapi juga menyakitkan. Warna menjadi metafora dari harapan yang tetap hidup, sekaligus kekacauan batin yang diam-diam mekar di antara keterbatasan.
Teknik coretan khas Ari masih dominan—garis-garis halus, sabar, penuh tekstur. Figur manusia dibentuk bukan melalui bayangan tajam atau blok warna, melainkan oleh ribuan goresan pensil dan tinta. Inilah ciri khas yang ia pertahankan, bahkan ketika medium dan pesannya meluas. Namun ketika teknik ini digabungkan dengan sapuan akrilik yang lebih bebas, terciptalah ledakan visual yang menegangkan sekaligus emosional. Kita seperti diseret masuk ke dalam dunia mereka—dunia yang jauh dari rapi, tapi jujur.
Tatapan perempuan dalam lukisan ini menjadi pusat gravitasi emosional. Ia tidak meratap, tidak memohon, tetapi menghadirkan keheningan yang keras. Sebuah tatapan yang tak meminta belas kasihan, tapi menuntut keberanian untuk melihat. Dan ketika kita membalas tatapan itu, kita dipaksa untuk bertanya: sudahkah kita benar-benar hadir sebagai masyarakat yang melihat, mendengar, dan peduli?
Pemulung Kecil adalah sebuah potret kemiskinan. Ia merupakan teguran halus namun tajam. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk digital dan menengok realitas yang mungkin selama ini luput dari perhatian. Di tengah dunia seni rupa yang kadang terlalu sibuk mengejar estetika dan simbolisme elitis, karya ini hadir sebagai kebenaran yang tak bisa ditolak.
Lewat karya ini, Ari Winata menegaskan bahwa seni bukan hanya soal bentuk, tapi juga soal keberpihakan. Ia menunjukkan bahwa spiritualitas tak selalu berada di pura, altar, atau genta. Kadang, ia ada di keranjang sampah yang dipikul anak kecil yang tersenyum di bawah lampu merah. Dan kita—jika cukup berani—akan melihat diri kita di sana. Bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai saksi. Sebagai manusia.[]