DI TENGAH maraknya lahirnya startup digital di Indonesia, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar menekankan pentingnya kemampuan pitching dan penguasaan teknis terhadap produk sebagai kunci utama untuk mendapatkan pendanaan dari investor. Hal ini disampaikan Irene dalam sesi panel diskusi peluncuran program BEKUP 2025 yang disiarkan secara langsung oleh Kementerian Ekonomi Kreatif.
Dalam pernyataannya, Irene menyebut bahwa masih banyak perusahaan rintisan yang datang dengan membawa istilah-istilah populer seperti artificial intelligence (AI) atau blockchain tanpa benar-benar memahami relevansi teknologi tersebut dengan produk yang mereka kembangkan. Ia menilai bahwa startup kerap menggunakan kata-kata yang sedang tren, padahal belum tentu aplikatif untuk solusi yang mereka tawarkan.
“Ini pekerjaan rumah bagi kita sebagai investor. Kadang-kadang, kita menerima ribuan proposal startup. Lalu bagaimana cara kita membedakan mana yang bagus dan mana yang tidak? Semua kembali ke kemampuan pitching. Jadi, yang penting adalah belajar cara mempresentasikan ide dengan tepat,” ujar Irene.
Lebih dari sekadar gaya bicara atau desain presentasi, Irene menekankan bahwa pitching harus menunjukkan pemahaman yang mendalam atas produk, target pasar, serta masalah nyata yang ingin diselesaikan. Menurutnya, banyak startup yang gagal memberikan alasan kuat kenapa solusi mereka penting, atau apa dampak yang ditawarkan dari inovasi yang mereka bawa.
“Pertanyaan sederhana saja—apakah Anda sedang mencoba memperbaiki sesuatu yang sebenarnya tidak rusak? Kalau jawabannya ya, maka Anda harus memastikan bahwa perubahannya akan membawa dampak besar dan bisa Anda jelaskan dengan jelas,” tambahnya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Founding CEO BRI Ventures, Nicko Widjaja. Ia menggarisbawahi bahwa mengikuti tren industri digital tidak serta-merta menjamin pendanaan dari investor. Menurut Nicko, kendala besar justru terjadi pada tahap berikutnya: proses scale up.
Nicko mencermati bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, banyak dana investor asing yang mandek di Indonesia bukan karena gagalnya startup menciptakan produk, tetapi karena lemahnya eksekusi strategi pertumbuhan dan tidak adanya strategi keluar (exit strategy) yang jelas. Akibatnya, tidak sedikit startup lokal yang kesulitan berkembang setelah fase pendanaan awal.
“Ketika strategi keluar tidak ada, dana pun sulit bergerak. Banyak founder startup yang tidak memiliki kemampuan untuk memperbesar usahanya. Ujung-ujungnya, mereka macet di tengah jalan,” kata Nicko.
Meskipun demikian, Irene tetap menyatakan bahwa perubahan arah atau pivot dalam bisnis adalah hal yang lumrah. Dalam dunia startup yang cepat berubah, kemampuan untuk bertahan pada ide dan beradaptasi menjadi sangat penting.
“Yang terpenting adalah kesiapan mental para pendiri untuk terus memperjuangkan gagasannya. Dunia startup tidak statis, dan kadang justru mereka yang lentur dan gigih yang bisa bertahan lebih lama,” tuturnya.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan startup tak hanya bergantung pada ide yang cemerlang atau istilah yang terdengar futuristik. Di balik itu semua, penguasaan substansi, kemampuan menyampaikan dengan jelas dan percaya diri, serta strategi pertumbuhan yang matang adalah fondasi penting yang tidak boleh diabaikan.[BEKRAF?Ant]