Ulasan : Agung Bawantara
Hari-hari ini, Bali kembali menjadi buah bibir, bukan karena festival budaya atau prestasi pariwisata, tetapi karena wacana penutupan permanen Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Sarbagita Suwung. Mulai 1 Agustus 2025, TPA ini tak lagi menerima sampah organik. Hanya anorganik dan residu—kaca, puntung rokok, popok, aluminium foil—yang masih diizinkan masuk. Pada akhir Desember, praktik open dumping akan dihentikan. Di atas kertas, ini langkah maju. Namun di lapangan, situasinya memunculkan perdebatan, bahkan kontroversi, terutama soal bagaimana pesan kebijakan ini dikomunikasikan kepada publik.
Suwung bukan sekadar titik di peta Denpasar. Ia adalah jantung pengelolaan sampah Bali bagian selatan—menampung sisa aktivitas Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Gunungan sampahnya menjulang, bau menyengatnya menusuk, dan kehidupan di sekitarnya berlangsung dengan ritme yang jarang disorot kamera wisata. Pemulung, sapi, anjing, dan alat berat bekerja di tengah panas dan bau, membentuk lanskap yang sulit dibayangkan sebagai bagian dari “pulau surga”.
Di tengah riuhnya perbincangan tentang Suwung, karya-karya Wayan Suja terasa semakin relevan. Tiga lukisan—Lost In Paradise (2015), The Other Side of Paradise (2022), dan The Past ~ Present ~ The Future (2023)—seperti cermin yang memantulkan wajah Bali dari sudut yang jarang kita tatap.

150 cm x200 cm, 2015
Lost In Paradise menampilkan penari Bali yang anggun. Mahkota emas, rias tegas, busana adat yang kaya detail—semua digarap dengan presisi. Namun, alih-alih panggung atau pura, latarnya adalah tumpukan sampah. Figur penari berdiri tegar, tapi matanya tertuju pada gunungan limbah, seakan sadar bahwa ia sedang berada di tengah paradoks: keindahan yang terperangkap di lanskap yang kian tercemar.
Kontras warna memperkuat pesan: cahaya dramatis pada figur beradu dengan latar yang kusam. Di sinilah Suja memisahkan “panggung” dan “belakang panggung” Bali—panggung yang mempesona dunia, dan belakang panggung yang menyimpan masalah lingkungan yang kita biarkan.
Tujuh tahun kemudian, Suja menyuguhkan The Other Side of Paradise. Kali ini, fokusnya pada sosok lelaki Bali dalam busana adat, digambarkan seolah dari foto lama yang mulai pudar. Retakan dan noda pada citra memberi kesan nostalgia. Tapi di sisi kanvas, sebuah potongan kecil memperlihatkan tumpukan sampah dengan sapi mencari makan.
Potongan ini tidak besar, tapi cukup untuk mengganggu citra indah. Seperti kenyataan yang menyusup diam-diam ke dalam memori kolektif kita. Di sini, Suja tidak lagi frontal, melainkan menyusupkan realitas pahit di pinggiran memori—menunjukkan betapa rapuhnya narasi eksotik jika dibiarkan retak oleh masalah lingkungan.
The Past ~ Present ~ The Future adalah karya besar dalam arti harfiah dan naratif. Di bagian kiri atas, Suja melukis lanskap masa lalu: sawah, gunung, langit biru, kehidupan agraris yang harmonis. Di tengah, ia menghadirkan fragmen budaya—penari, petani, komunitas adat—semi-transparan seperti kenangan.

Lalu mata kita bergerak ke bagian bawah dan kanan, tempat masa kini terbentang: alat berat mengaduk tumpukan sampah, pemulung bekerja, hewan berkeliaran. Warna menjadi lebih kusam, tekstur lebih berat. Komposisi ini membuat kita berjalan dari masa lalu yang asri, melewati masa kini yang penuh beban, menuju masa depan yang belum jelas arahnya.
Suja tidak memberi jawaban. Arah perjalanan tergantung langkah kita hari ini.
Benang Merah
Ketiga karya ini membentuk satu perjalanan gagasan: Lost In Paradise merupakan semacam tamparan frontal akan paradoks antara budaya dan lingkungan. The Other Side of Paradise menyeupai bisikan realitas yang mengganggu memori indah. Sedangkan The Past ~ Present ~ The Future seoah memberi peta sejarah dan masa depan yang belum pasti.
Semua lahir dari kegelisahan yang sama: cinta pada Bali yang bercampur resah melihat arah perubahannya. Suja tidak menggurui; ia menempatkan kenyataan di depan kita, lalu membiarkan hati kita yang menilai.
Tiga karya I wayan Suja itu seolah cermin di dalam cermin yang memantulkan siapa kita. Ia mengungkap kebiasaan konsumsi, perilaku sehari-hari, dan cara kita mengelola ruang hidup. Dari karya-karya Suja, ada pelajaran yang bisa kita tarik: Panggung dan belakang panggung adalah satu kesatuan. Tidak ada gunanya mempertahankan citra indah jika kita membiarkan latarnya hancur. Memori indah bisa retak oleh kenyataan yang diabaikan. Potongan kecil masalah bisa merusak keseluruhan narasi. Masa depan ditentukan hari ini. Kita memilih apakah ingin mengulang harmoni masa lalu atau melanjutkan beban masa kini.
Semua Pihak, Satu Tanggung Jawab
Mengakhiri open dumping di Suwung adalah langkah penting, tetapi tidak cukup. Pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, seniman, bahkan wisatawan, semua punya peran. Dari memilah sampah di rumah hingga mengurangi kemasan sekali pakai, dari memperbaiki komunikasi publik hingga mengubah pola produksi—semua bagian dari solusi.
Suja telah melakukan bagiannya: mengarsipkan wajah Bali yang jarang masuk brosur, tetapi nyata di lapangan. Kini giliran kita.[]