Pameran tunggal Jango Pramartha, bertajuk “View From Here”, resmi dibuka pada 31 Oktober 2025 di Ramada by Wyndham Bali Sunset Road, Kuta. Pameran ini menghadirkan puluhan karya yang merekam pandangan Jango terhadap Bali dari sudut yang unik : tajam, lucu, sekaligus getir.
“View From Here” sejatinya merupakan pertemuan kembali Jango sebagai seniman, satiris, dan pengamat sosial. Melalui gaya kartun yang khas, ia menampilkan Bali sebagai ruang spiritual yang indah namun penuh kontradiksi. Dari goresan tangannya, kartun bukan sekadar pertunjukan humor visual, melainkan refleksi budaya atas dinamika masyarakat Bali, yakni benturan antara tradisi dan modernitas, spiritualitas dan pariwisata massal, kearifan lokal dan arus global.
Karya-karya Jango lebih dari sekadar komedi gambar. Ia mengubah setiap sapuan warna menjadi cermin budaya yang jujur. Di dalamnya, kita menemukan ironi yang lahir dari kehidupan sehari-hari di Bali seperti ritual yang berubah menjadi tontonan, alam yang terancam atas nama pembangunan, serta identitas yang diguncang oleh globalisasi.

Melalui pameran ini, Jango mengajak publik melihat Bali dari dalam, dengan lensa orang Bali sendiri: mereka yang hidup di tengah pura, sawah, dan turis, antara doa dan proyek. Ia menegaskan bahwa kartun dapat menjadi bahasa penyadaran yang lembut, menghadirkan tawa yang menyentuh hati, bukan sekadar menghibur mata.
Tradisi, Pariwisata, dan Batas yang Samar
Di Bali, batas antara tradisi, spiritualitas, dan industri pariwisata hidup berdampingan, bahkan saling tumpang tindih. Namun, sebagaimana diingatkan Jango, batas itu kini kian kabur.
Dalam karyanya tentang pohon-pohon bertanda silang dengan satu batang yang masih bersaput kain poleng, kita membaca simbol perlawanan kecil terhadap eksploitasi alam. Sementara pada karya yang menampilkan orang-orang bersembahyang di depan mesin ATM, Jango menyinggung pergeseran spiritualitas menjadi transaksionalitas, di mana kesucian dan uang kini berdiri sejajar di ruang yang sama.

Melalui gambar seolah Jango mewanti-wanti bahwa “jika batas-batas itu tak lagi dibicarakan dengan kesadaran, maka akan menjebak kita sendiri. Maka, pameran View From Here pun menjadi upaya untuk mengembalikan percakapan itu. Tentang siapa kita (baca: orang Bali), dan ke mana arah Bali akan berjalan.
Humor bagi Jango adalah alat berpikir, bukan sekadar alat tertawa. Ia menelusuri isu lingkungan, pariwisata, dan kesenjangan sosial melalui humor gelap (dark humor) yang menyentuh sekaligus menohok.
Dalam satu karya, seorang anak kecil tampak menggambar pohon dan pura di batang kayu setelah seluruh hutan di sekitarnya ditebang—sebuah simbol kehilangan generasi muda yang hanya bisa membayangkan alam lewat memori.
Sementara di karya lain, sosok investor tambun menunggang orang Bali dengan umpan bertuliskan “Proyek Budaya”, menegaskan sindiran pada relasi timpang antara modal dan kearifan lokal.
Jango tidak menuding, tidak pula berkhotbah. Ia menghadirkan absurditas sebagai cermin dari realitas mengenai dunia yang makin terbalik, di mana komodifikasi menyamar sebagai pembangunan.

Dari sisi teknis, karya Jango menunjukkan disiplin pelukis dan kecerdasan kartunis. Ia menggunakan cat air di atas kertas bertekstur kasar, menghadirkan nuansa tropis yang akrab seperti kuning tanah, oranye matahari, dan hijau dedaunan. Warna-warna yang merepresentasikan kesuburan dan spiritualitas Bali.
Garis tintanya halus namun tegas, memperkuat karakter-karakter bulat, sederhana, dan ekspresif. Semua terlihat ringan, padahal di situlah kritik bekerja.
Ruang kosong yang luas memberi jeda bagi mata dan pikiran—seolah mengajak penonton untuk berhenti sejenak dan merenung di tengah hiruk pikuk dunia modern.
Globalisme, Ketimpangan, dan Ketahanan Budaya
Simbolisme dalam karya-karyanya terasa kuat. Dalam karya bertuliskan “GLO-BALI-SM”, huruf BALI muncul di tengah kata globalism—menandakan upaya Bali mempertahankan identitas di tengah arus global.
Kaleng cat bertuliskan PEACE di kaki sang seniman kecil yang melukis garis Pulau Bali menunjukkan harapan sederhana untuk tetap damai di tengah perubahan besar.

Karya lain menunjukkan jungkat-jungkit bertuliskan “BALI” di porosnya—dengan pura, petani, dan sapi di satu sisi, sementara hotel, turis, dan kolam renang di sisi lainnya. Sebuah perumpamaan visual tentang keseimbangan identitas yang makin goyah.
Jango juga menangkap kesenjangan sosial yang kian terasa. Dalam satu karya, pasangan petani Bali berjalan berpapasan dengan pasangan turis bergolf—dua dunia yang berdekatan secara fisik, namun berjauhan secara makna.
Pameran “View From Here” memperlihatkan bahwa kartun dapat menjadi jembatan antara kritik sosial dan refleksi spiritual. Melalui karya-karyanya, Jango tidak sekadar menggugat, tetapi juga mengajak berdialog dengan realitas. Ia menampilkan Bali bukan sebagai surga pariwisata, melainkan sebagai organisme hidup yang sedang mencari keseimbangannya.
Karya-karya ini mengingatkan kita bahwa seni masih memiliki kekuatan untuk membangunkan kesadaran, mengajarkan kita untuk menertawakan tanpa kehilangan empati, dan menyadari tanpa kehilangan harapan.[Bekraf/Agung Bawantara]

