Lonjakan kasus kebocoran data pribadi dalam beberapa tahun terakhir menjadi alarm serius bagi Indonesia. Penjualan 1,3 miliar data registrasi kartu SIM di forum gelap internasional, kebocoran ratusan ribu data pelanggan internet provider, hingga penyalahgunaan identitas untuk pinjaman online ilegal menunjukkan rapuhnya sistem identitas digital yang masih berbasis terpusat. Situasi ini menguatkan urgensi penerapan model baru tata kelola data yang aman, transparan, dan dapat diverifikasi.
Menjawab tantangan tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), PT Baliola Adi Maha Duta, dan Indonesia Blockchain Society (IBS) melakukan sosialisasi riset kebijakan publik di kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), Kamis (18/9/2025). Fokus pembahasan meliputi penerapan identitas digital, blockchain, dan kecerdasan buatan (AI) dalam aplikasi publik.
Peneliti BRIN menekankan bahwa transformasi digital pemerintah tidak bisa berjalan optimal bila arah kebijakan masih terpecah (scattered). Diperlukan koordinasi yang lebih kuat antara pusat dan daerah, termasuk pemetaan tujuan nasional yang jelas agar penerapan digital identity dan blockchain memberi dampak nyata bagi layanan publik.
Selain koordinasi, aspek cyber trust menjadi fondasi penting. Tanpa jaminan keamanan dan kepercayaan, reformasi birokrasi digital rawan berujung pada kerentanan baru.
Dasar Hukum dan Use Case
CEO PT Baliola, IGP Rahman Desyanta atau Gede Anta, memaparkan dasar hukum penerapan blockchain di Indonesia. “Pijakan regulasi kita sebenarnya sudah kuat, mulai dari UU ITE, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Data Pribadi, hingga agenda transformasi digital nasional yang menekankan aspek cyber security,” jelasnya.
Gede Anta juga mencontohkan implementasi nyata di Jawa Barat, di mana Baliola bersama pemerintah daerah membangun Blockchain-as-a-Service untuk memperkuat integritas data. Ia memperkenalkan E.ID dan IDCHAIN sebagai infrastruktur decentralized identifier (DID) yang bisa menopang kebutuhan identitas digital nasional.
Lebih jauh, ia menegaskan: “Persoalan layanan publik digital bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal tata kelola kepercayaan. Sistem berbasis blockchain tidak lagi sekadar meminta masyarakat percaya, melainkan membuktikan keabsahan data melalui mekanisme yang transparan dan terdesentralisasi.”
Model Federated Blockchain untuk Indonesia
Dalam forum ini, model federated blockchain dinilai paling sesuai dengan konteks Indonesia. Protokol utama data ditetapkan di tingkat pusat, sementara pemerintah daerah memiliki ruang untuk mengadopsi sesuai kebutuhan lokal. Pendekatan ini menjaga standar nasional sekaligus memberikan fleksibilitas implementasi di daerah.
Teknologi blockchain diproyeksikan menjadi trust layer bagi reformasi birokrasi digital. Layanan publik dapat dibangun dengan lapisan verifikasi yang kuat—mulai dari tanda tangan digital, validasi lintas lembaga, cap digital resmi, enkripsi data, hingga manajemen akses.
Dengan pendekatan ini, seluruh siklus hidup warga negara—dari lahir hingga akhir hayat—dapat tercatat, terlindungi, dan saling terhubung lintas lembaga secara aman. Transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak warga menjadi tujuan akhir.
Transformasi digital pemerintah pun dipandang hanya akan berhasil bila dilandasi sistem yang terbukti, bukan sekadar diminta percaya.[]