Oleh : I Gede Putu Rahman Desyanta, CEO Baliola dan Founder Mandala Chain
Kesepakatan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang membuka ruang transfer data, khususnya data komersial, sesungguhnya menyimpan pertanyaan besar tentang bagaimana kita memandang dan menjaga kedaulatan data nasional. Pemerintah menyatakan bahwa data yang dialirkan bukanlah data pribadi sepenuhnya, melainkan data komersial yang berkaitan dengan perdagangan tertentu. Namun, apakah ini benar-benar mengutamakan perlindungan kepentingan bangsa?
Ataukah ini cerminan dari missed governance — tata kelola yang kurang matang — atau bahkan indikasi bahwa kesadaran para pemimpin kita terhadap pentingnya perlindungan data masih sangat dangkal dan terbatas?
Kasus ini menjadi gambaran besar bagi kita semua untuk menilai kembali, apakah pondasi tata kelola data yang sedang dibangun sudah cukup kokoh? Apakah para pengambil kebijakan menyadari bahwa data bukan sekadar urusan teknis, melainkan bagian dari hak asasi dan kedaulatan digital yang harus diperjuangkan?
Di zaman digital seperti sekarang, data pribadi kita ibarat harta yang sangat berharga. Setiap klik, setiap transaksi, dan bahkan percakapan sehari-hari dapat menjadi informasi yang tersimpan dan berpotensi digunakan oleh banyak pihak. Namun, sayangnya masih banyak yang belum menyadari betapa pentingnya menjaga dan melindungi data tersebut. Padahal tanpa tata kelola yang benar, risiko kebocoran, penyalahgunaan, dan eksploitasi data pribadi bisa sangat besar.
Salah satu akar masalah terbesar dalam tata kelola data di Indonesia bukanlah teknologi. Teknologi sudah tersedia dan berkembang pesat, termasuk teknologi blockchain yang memiliki potensi besar dalam mendukung keamanan dan transparansi data. Namun, yang menjadi kunci risiko terbesar adalah implementasi yang berakar dari tata kelola yang nanggung. Jika tata kelola tidak berjalan dengan baik, teknologi sebesar apapun tidak akan mampu melindungi data secara efektif. Bahkan tanpa tata kelola yang tepat, teknologi dapat membuka celah keamanan baru yang membahayakan data pribadi.
Perlindungan data bukanlah soal menghilangkan risiko secara total, karena risiko akan selalu ada. Yang terpenting adalah bagaimana kita mengurangi dampak dari risiko tersebut. Di sinilah mindset keterbukaan dan pola proaktif menjadi sangat penting. Dengan transparansi dan kesiapan mengantisipasi risiko sejak awal, potensi dampak besar, baik dari sisi finansial maupun kepercayaan masyarakat, dapat diminimalkan.
Teknologi blockchain sendiri memiliki sifat transparan, terdesentralisasi, dan tahan manipulasi, yang membuatnya berpotensi menjadi alat yang efektif untuk mitigasi risiko dan memastikan data dikelola dengan cara yang dapat diverifikasi dan diaudit. Namun, potensi ini tidak akan maksimal tanpa tata kelola yang kuat dan komitmen dari semua pihak yang terlibat. Ketidaksadaran akan tanggung jawab perlindungan data adalah musuh terbesar yang harus diatasi.
Yang terpenting dari semua itu adalah kesadaran dan komitmen para pemimpin. Permasalahan tata kelola data di Indonesia banyak berakar pada kurangnya kesadaran (baca : kelalaian) para pemimpin mengenai pentingnya data pribadi masyarakat. Tanpa kesadaran ini, komitmen untuk menjaga tata kelola menjadi lemah, sehingga tata kelola berjalan tanpa konsistensi. Banyak kasus data yang ditangani secara reaktif, setelah kerugian terjadi, bukan secara proaktif dengan peta jalan yang jelas dan berkelanjutan.
Ketika pemimpin memiliki komitmen kuat, seluruh ekosistem digital bisa bergerak secara terpadu—dari birokrasi, pelaku bisnis, hingga masyarakat luas.
Selain peran pemimpin dan teknologi, masyarakat sebagai pemilik data pribadi juga harus sadar akan pentingnya menjaga data mereka. Literasi digital mengenai perlindungan data harus menjadi bagian dari pendidikan dan kesadaran publik sehari-hari. Ketika masyarakat aktif menjaga keamanan data pribadi, risiko eksploitasi dapat ditekan secara signifikan.
Sebagai pelajaran dari dunia, kita bisa mencontoh GDPR (General Data Protection Regulation) yang telah menetapkan kerangka kerja perlindungan data yang jelas, termasuk peran data controller dan data processor dalam mengelola data secara bertanggung jawab. Indonesia sendiri kini telah memiliki UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang telah diterbitkan dan menjadi payung hukum utama perlindungan data. Saat ini, fokus bergeser ke penyusunan teknis pelaksanaan dan aturan pelengkap untuk memastikan UU ini dapat diimplementasikan secara efektif. Meski demikian, pemerintah daerah dapat mulai bertindak secara mandiri dan responsif dalam membangun tata kelola data tanpa harus menunggu proses teknis selesai sepenuhnya.
Keberhasilan tata kelola data juga sangat bergantung pada kolaborasi yang melibatkan Pemerintah, Bisnis, Komunitas, Media, dan Akademisi secara sinergis—model yang dikenal sebagai pentahelix. Bersama-sama, elemen-elemen ini dapat membangun kesadaran dan sistem perlindungan data yang efektif dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, perlindungan data adalah sebuah upaya bersama yang dimulai dari kesadaran, didukung oleh komitmen, dan diimplementasikan melalui tata kelola yang baik serta teknologi yang tepat seperti blockchain. Dengan begitu, Indonesia mampu mengurangi risiko kebocoran dan eksploitasi data, sekaligus mengantarkan bangsa menuju kedaulatan digital sejati. Sebuah masa depan di mana data pribadi bukan lagi sumber kerentanan, melainkan kekuatan untuk kemajuan dan keadilan bagi seluruh masyarakat.[]