Fri. Jul 18th, 2025

Ketika Memori, Kritik, dan Harapan Bertemu di ROOTS

Pameran ROOTS Seratus tahun Walter Spies di Bali, (Foto oleh Agung Prameswara)

DI TENGAH gemuruh industri pariwisata Bali yang terus bergerak maju, pameran ROOTS: Seratus Tahun Walter Spies di Bali hadir sebagai sebuah ruang reflektif yang menggugah. Diselenggarakan di Museum ARMA, Ubud—sebuah lembaga yang telah lama menjadi jantung kebudayaan Bali—pameran ini berhasil mempertemukan masa lalu dan masa kini dalam satu kanvas naratif yang kuat.

Semula dijadwalkan berakhir pada 14 Juni 2025, pameran ini diperpanjang hingga 14 Juli 2025 sebagai respons atas antusiasme dan apresiasi tinggi dari publik. Tidak hanya wisatawan dan penikmat seni mancanegara yang memenuhi ruang pameran, tetapi juga masyarakat Bali sendiri, yang merasakan bahwa apa yang diangkat dalam ROOTS begitu dekat dengan keseharian dan kegelisahan mereka.

Walter Spies: Jejak Awal dan Gema Panjang
Walter Spies, seniman Eropa yang datang ke Bali pada awal abad ke-20, bukan hanya dikenang sebagai pelukis, tetapi juga sebagai tokoh penting dalam membentuk citra romantik Bali di mata dunia. Namun, ROOTS tidak terjebak dalam glorifikasi nostalgia. Melalui pendekatan film dokumenter fiksi yang dikembangkan oleh KBH.G Basel bersama Michael Schindhelm, sosok Spies dibingkai ulang dalam nuansa kritis: bagaimana pengaruhnya terhadap seni dan pariwisata, serta bagaimana warisan yang ditinggalkannya bisa dipahami dalam konteks kontemporer.

Yang membuat pameran ini menonjol bukan hanya keberadaan figur Spies, melainkan keterlibatan dua seniman kontemporer Bali: Made Bayak dan Gus Dark. Keduanya bukan sekadar pelengkap visual. Mereka turut menjadi bagian aktif dalam proses produksi film serta menyumbangkan karya visual yang menohok dan berlapis makna.

Made Bayak, dikenal lewat gerakan “Plasticology”-nya, konsisten menyuarakan krisis ekologi melalui seni. Gus Dark, dengan gaya visual yang kontras, menawarkan tafsir sinis sekaligus puitik terhadap sejarah dan realitas sosial. Kolaborasi mereka melintasi batas medium, dan lebih dari itu, menjembatani wacana lokal dengan kosmopolitanisme Spies.

Dari Dokumenter ke Dialog Kritis
ROOTS menjadi wadah yang membuka ruang dialog—tentang Bali sebagai destinasi wisata dunia, tentang sejarah kelam 1965, tentang krisis lingkungan, dan tentang resistensi budaya. Ini bukan pameran yang diam dan nyaman. Sebaliknya, ROOTS menantang, menyentil, bahkan menggugah batin.

Banyak pengunjung yang datang berkali-kali, seperti dicatat oleh Yudha Bantono, Project Manager pameran ini. Beberapa merasa seolah ROOTS berbicara langsung pada mereka, menyuarakan kegelisahan yang tak bisa diungkapkan lewat kata-kata biasa. Yudha bahkan mengutip seorang pengunjung asal Slovakia yang menyebut ROOTS sebagai “salah satu pameran paling berani dan menggugah” yang pernah ia kunjungi.

Agung Rai, pendiri ARMA sekaligus Chairman Walter Spies Society Bali, menyatakan dengan tegas bahwa pameran ini membawa pesan penting: menjaga Bali dari arus besar investasi dan pariwisata yang sering kali mengabaikan nilai-nilai luhur budaya dan alam. Baginya, ROOTS bukan semata nostalgia atau estetika, tapi sebuah peringatan dini—sebuah panggilan untuk kembali ke akar sebelum terlambat.

Agung Yudi, Direktur ARMA, menyebut ROOTS sebagai ruang “membangun kesadaran melalui refleksi sejarah dan realitas hari ini.” Ini lebih dari sekadar kegiatan seni; ini adalah praktik kebudayaan yang membangun kewaspadaan kolektif.

Akar yang Terus Bertumbuh
Pameran ROOTS bukan hanya tentang Walter Spies atau Bali semata. Ia adalah metafora tentang akar—tentang bagaimana kita terhubung ke masa lalu, sekaligus bagaimana kita bisa menumbuhkan kesadaran baru dari sana. Di tengah gempuran komersialisasi dan banalitas industri budaya, ROOTS berdiri sebagai karya kuratorial yang tak hanya estetis, tapi juga etis.

Perpanjangan waktu pameran hingga 14 Juli 2025 adalah kesempatan kedua yang sangat layak dimanfaatkan oleh siapa pun yang peduli pada nasib Bali—sebagai ruang hidup, bukan sekadar tempat wisata. Karena dari akar yang kuat, tumbuhlah pohon-pohon yang kokoh. Dan dari seni yang jujur, tumbuhlah kesadaran kolektif yang mencerahkan.[]

By Bekraf

Related Post