Sun. Jun 15th, 2025

Sebuah Komedi Tragis dalam Tiga Adegan

 

Renungan di Balik “Puppet Dialogue” Karya I Wayan Redika (2010)

 

Ulasan Agung Bawantara

 

Lukisan “Puppet Dialogue” karya Wayan Redika, dibuat pada tahun 2010 dengan teknik minyak di atas linen berukuran 100 x 120 cm, adalah sebuah karya yang layak disimak tidak hanya dari sisi estetikanya yang kompleks, tetapi juga dari kedalaman kritik sosial dan budaya yang dibawanya. Dalam satu kanvas, Redika menyusun tiga dunia: dunia mitologis Bali, dunia rakyat yang penuh satire, dan dunia pewayangan klasik, yang seluruhnya berdiri di atas latar batik merah menyala—sebuah bentangan budaya yang menjadi medan bagi pertarungan simbol dan narasi.

Berbeda dari kebanyakan lukisan yang memperlakukan latar sebagai elemen minor, Redika menjadikan batik merah dengan motif flora-fauna khas Bali sebagai dasar visual dan konseptual dari seluruh lukisan. Warna merah bukan hanya pilihan dekoratif, melainkan simbol kekuatan hidup, konflik, dan daya cipta, yang dalam kosmologi Hindu Bali sering dikaitkan dengan Dewa Brahma. Motif batik ini menyelimuti seluruh bidang lukisan, mengisyaratkan bahwa semua kisah—mitologis, satiris, maupun adiluhur—berasal dari dan kembali ke akar budaya lokal.

Mitos yang Diam
Di sisi kiri lukisan, kita disambut oleh kehadiran dua tokoh utama dalam mitologi Bali: Rangda dan Barong. Keduanya tidak dalam posisi bertarung, melainkan berdampingan dalam suasana seolah membeku. Barong—sebagai simbol kekuatan pelindung—dan Rangda—sosok kegelapan yang menakutkan—bukan lagi aktor dalam drama sakral, tetapi figur yang diam, ditarik keluar dari ritual dan ditempatkan dalam ruang representasi. Mereka menjadi semacam ikon visual, bukan subjek kepercayaan.

Kondisi ini mencerminkan bagaimana mitos dan spiritualitas seringkali hanya tinggal sebagai hiasan dalam dunia modern: ditampilkan, difoto, dikagumi, namun kehilangan daya hidupnya. Redika secara halus menyentil praktik folklorisasi budaya, ketika yang sakral dijadikan eksotika.

Rakyat dalam Kekacauan Narasi
Bagian tengah lukisan adalah bagian paling “berisik” secara visual dan wacana. Di sini kita melihat dua topeng bebondresan Bali, bagian dari Topeng Panca, yang dalam konteks ini sejajar dengan punakawan dalam pertunjukan wayang Jawa. Kedua topeng ini memiliki ekspresi khas: yang satu seperti teriak dalam ketakutan, yang lain tertawa getir seperti sedang mengejek dirinya sendiri.

Mereka tidak berdiri di panggung, melainkan ditempel di atas lukisan potongan koran berbahasa Inggris. Beberapa judul headline seperti “Reading Own Mind”, “Aesthetics Reborn”, “Discourse Colour Prime” menunjukkan ironi—bahwa semua narasi kini adalah permainan kata yang tak jelas rujukannya. Sebagian koran bahkan telah digunting, mengisyaratkan bahwa informasi yang kita konsumsi bukan hanya tidak utuh, tapi juga telah dipilihkan untuk kita.

Di tengah-tengah panel ini, tampak gambar seorang perempuan yang memegang guci. Bukan tokoh nyata, perempuan ini adalah bagian dari gambar dalam potongan koran itu sendiri. Ia bukan representasi individu, tetapi citra yang dikonstruksi oleh media dan ditanamkan dalam ruang visual publik. Dalam konteks ini, kehadirannya menjadi simbol dari bagaimana identitas dan nilai diri kini terbentuk bukan dari pengalaman langsung, melainkan dari citra-citra cetak dan potongan media massa yang disusun secara sepihak.

Narasi Luhur yang Terasing
Sisi kanan lukisan menampilkan tokoh wayang kulit Arjuna. Tokoh ini berdiri megah di atas batu, menunjuk ke arah panel tengah. Namun, gesturnya tak menunjukkan kuasa, melainkan seperti komentator yang kehilangan pendengarnya. Latar belakang relief candi menegaskan akar budaya tinggi yang menjadi tempat berpijak Arjuna, tetapi dalam konteks lukisan ini, ia seolah hanya menjadi dekorasi monumental: diagungkan, tapi tak lagi didengarkan.

Sosok Arjuna merepresentasikan generasi bijak dan nilai-nilai luhur yang makin terasing dalam dunia yang gaduh dan cepat. Ia menatap, namun tidak menjadi bagian dari pertunjukan. Ia menunjukkan arah, tetapi tidak ada yang benar-benar memperhatikan.

Tembok, Raja, dan Kritik Politik
Pada bagian bawah lukisan, Redika menghadirkan tembok batu seperti panggung atau altar. Di atasnya diletakkan topeng Arsa Wijaya—topeng raja dalam tradisi Topeng Panca. Raja di sini tidak sedang memerintah, melainkan menjadi arca sunyi di atas tembok. Ia menyaksikan kekacauan di atasnya, tetapi tidak turun tangan.

Yang paling mengejutkan adalah kehadiran pas foto mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, dalam posisi terbalik, ditempel di dinding. Ini adalah satire politik yang tajam: kekuasaan global dijungkirkan secara simbolik dalam kanvas lokal. Kritik terhadap imperialisme, perang, dan intervensi Barat diungkap dalam bahasa visual yang subtil namun gamblang.

Relief candi yang menghiasi sisi bawah dan tengah tembok menjadi pengingat bahwa semua elemen ini—baik yang sakral, yang rakyat, maupun yang adiluhur—berpijak pada fondasi sejarah dan spiritualitas yang sama. Namun, seperti halnya arsitektur yang mulai lapuk, nilai-nilai itu kini hanya menjadi ornamen.

Media Cetak Akan Tinggal Kenangan?
Lukisan potongan koran yang mendominasi sisi tengah kanvas bukan sekadar alat naratif, melainkan simbol zaman. Redika tampaknya menyadari perubahan besar dalam lanskap informasi. Surat kabar, yang dahulu menjadi tulang punggung kebenaran publik, kini tergilas oleh media digital, algoritma, dan disinformasi. Potongan dan guntingan koran dalam lukisan ini menjadi semacam kenangan terhadap masa di mana informasi masih bersumber dari teks dan manusia berpikir lebih lambat.

“Puppet Dialogue” adalah sebuah drama visual yang menampilkan tragedi dalam bentuk komedi. Ia adalah pentas boneka, tapi para bonekanya sadar bahwa mereka dikendalikan. Ia adalah pertunjukan yang memanggungkan mitos, rakyat, dan warisan budaya, tetapi tak ada satu pun yang tampil dengan utuh. Semua tokoh seperti terjepit dalam bingkai zaman yang mengatur narasi mereka. Yang luar biasa, semua subyek dalam karya ini –bahkan hingga huruf-huruf pada potongan koran– dilukis secara detil dan presisi. Menunjukkan ketekunan yang sungguh.

Dengan karya ini, Wayan Redika tidak sedang menggurui, tetapi menghadirkan ruang refleksi: tentang apa yang terjadi ketika budaya hanya menjadi gambar, ketika informasi menjadi tempelan, dan ketika tokoh luhur tak lagi punya panggung. Ini bukan sekadar kritik, tetapi juga pengingat bahwa budaya bukanlah fosil untuk dikoleksi, melainkan kesadaran yang perlu terus dihidupkan.[BEKRAF]

 

By Bekraf

Related Post