Sat. Jun 14th, 2025

Cermin Batin dalam Lukisan Immortal Karya I Nyoman Ari Winata

"Immortal" Karya I Nyoman Ari Winata. Drawing Ink on Canvas, 70 x 70 cm, 2025

Ulasan Agung Bawantara

KETIKA menatap karya bertajuk “Immortal” karya I Nyoman Ari Winata ini, mata kita segera tertarik ke arah satu wajah besar yang menghuni pusat kanvas. Wajah itu terbelah dua secara simbolik, sisi kanannya menampilkan wajah seorang tua bertopeng—penuh guratan waktu dan kedalaman batin—sementara sisi kirinya menunjukkan wajah muda yang kokoh, penuh semangat dan keberanian. Seakan satu jiwa menampakkan dua zaman: masa lalu yang bijak dan masa kini yang membara. Keduanya hidup bersama dalam satu raga, satu napas, satu kesadaran.

Sisi tua, dengan kedalaman ekspresinya, mengingatkan kita pada tokoh “topeng tua” dalam pertunjukan topeng Panca di Bali—tokoh yang mewakili kebijaksanaan dan penerimaan hidup. Ia adalah kesadaran yang telah menua dalam keheningan, namun tetap hidup dalam kerendahan hati. Di sisi lain, wajah muda penuh daya, seperti personifikasi dari api Gajah Mada yang menyala dalam sumpah dan perjuangan. Namun, keduanya bukan sedang bertentangan. Mereka hadir untuk melengkapi. Keduanya adalah tanda dari sesuatu yang abadi: jiwa yang tetap menyala, bahkan ketika raganya berubah.

Dalam konteks hari ini, di mana masyarakat global dihadapkan pada krisis identitas, polarisasi nilai, dan cepatnya perubahan sosial akibat digitalisasi, “Immortal” berbicara dalam bahasa yang menenangkan. Wajah yang terbelah itu bisa dibaca sebagai representasi manusia modern—terpecah antara nostalgia tradisi dan semangat kontemporer, antara kedalaman spiritual dan tuntutan performatif zaman.

Lukisan “Immortal” ini berbicara langsung melalui bahasa visual yang disusun tanpa kontur. Tidak ada garis yang memisahkan wajah dari tangan, tangan dari makhluk, atau makhluk dari langit. Semuanya mengalir. Ini bukan dunia terpisah, melainkan satu kesatuan eksistensial—sebuah narasi visual tentang keberadaan yang tidak mengenal batas usia, ruang, atau bahkan tubuh.

Di puncak kepala sosok utama, seekor monyet kecil duduk bersila sambil membaca sebuah buku. Di depan si monyet, tampak sekuntum mawar Tengah mekar. Keduanya menghuni ubun-ubun tokoh utama—tempat yang dalam banyak ajaran spiritual dianggap sebagai pusat kesadaran tertinggi. Monyet, dalam banyak budaya, melambangkan pikiran liar. Namun dalam “Immortal”, monyet telah duduk tenang. Ia telah menjinakkan dirinya, mulai membaca, mulai memahami. Inilah evolusi pikiran: dari gelisah menjadi hening, dari ingin tahu menjadi bijak.

Mawar yang mekar di ubun-ubun menjadi simbol dari pencerahan yang tumbuh dari luka. Mawar tak pernah hadir tanpa duri, dan karenanya, ia adalah tanda bahwa kebangkitan kesadaran sejati bukan datang dari kenyamanan, tetapi dari perjalanan yang menyakitkan namun mengubah. Di tengah dunia yang terlalu cepat mengagungkan kemudahan, kenyamanan, dan hasil instan, kehadiran mawar ini seakan mengingatkan kita akan nilai dari perjalanan panjang dan refleksi.

Di depan dada, kedua telapak tangan tokoh utama terbuka dalam gestur ambigu: seolah sedang memohon, namun juga menjaga. Gestur ini bukan hanya sikap tubuh, melainkan isyarat batin. Tangan-tangan ini menjaga cahaya batin yang tak tampak, menampung makna yang tak terucap. Di sinilah jiwa menemukan bentuk: bukan dalam lompatan heroik, tetapi dalam kerendahan hati untuk menyimpan sesuatu yang sakral.

Binatang-binatang lain mengelilingi tokoh utama: ikan, burung, ular. Mereka bukan penghuni hutan atau laut, melainkan simbol-simbol dari arus bawah sadar, intuisi, dan energi primordial. Ikan mengalir dari tangan-tangan yang terbuka, melambangkan insting yang jernih. Burung merak membawa pesan dari langit. Ular melingkar mewakili kekuatan dalam yang tengah bangkit. Di bawah semuanya, bunga teratai tumbuh dari pusaran air tenang. Ia menjadi dasar dari seluruh narasi ini. Sebuah landasan spiritual yang menegaskan bahwa kesucian dan pencerahan tidak datang dari pelarian, tapi dari keberanian menyelam ke dasar diri.

Jika kita letakkan “Immortal” dalam perbincangan kekinian—tentang teknologi, kecerdasan buatan, dan ketakutan akan kehilangan kemanusiaan—maka lukisan ini menjelma sebagai pengingat bahwa keabadian bukanlah tentang unggah data ke cloud atau meniru kesadaran dalam bentuk digital. Keabadian adalah ketika kita mampu mengenali wajah kita yang terdalam, menjaga nilai yang tak tergantikan, dan membiarkan waktu berjalan tanpa kehilangan inti diri.

Dengan tinta hitam sebagai medium utama di atas kanvas putih, Ari Winata menyusun dunia yang tak terbatas dalam ukuran 70 x 70 cm. Teknik guratan halus yang mengisi bidang kanvas ini menyingkirkan batas antara ilustrasi dan meditasi. Tidak ada warna mencolok, tidak ada efek dramatis. Justru dari kesederhanaan medium dan intensitas garis, muncul ketenangan yang mendalam. Inilah kekuatan lukisan ini—ia tidak menjerit, tetapi berbisik pelan kepada yang siap mendengar.

I Nyoman Ari Winata, melalui karya ini, telah menghadirkan bukan hanya lukisan, melainkan cermin batin. Sebuah cermin yang tidak memantulkan wajah, tetapi mengajak jiwa untuk mengenali dirinya. Karena bisa jadi, di tengah kesibukan dunia luar, kita lupa bahwa seekor monyet bijak dan sekuntum mawar telah lama menunggu di ubun-ubun kita—menyimpan buku yang hanya bisa dibaca dalam keheningan. Dan barangkali, justru dalam keheningan itulah, kita menemukan apa yang benar-benar abadi. [BEKRAF]

 

By Bekraf

Related Post