Sun. Jun 15th, 2025

Blockchain dan Raja Ampat: Saat Teknologi Berdiri Membela Alam

 

Oleh : IGP Rahman Desyanta – CEO Baliola dan Pendiri Mandala Chain, kini mengikuti International Visitor Leadership Program di AS.

 

Raja Ampat. Nama itu tak hanya menggambarkan gugusan pulau eksotis di timur Indonesia, tapi juga menjadi simbol dari surga ekologis yang rentan. Di tempat ini, laut berdenyut pelan menyimpan 75 persen spesies karang dunia, ikan-ikan berenang bebas di antara padang lamun, dan masyarakat adat hidup selaras dengan alam selama ratusan tahun.

Namun surga itu kini retak. Rencana penambangan nikel kembali mengancam wilayah ini. Di tengah slogan besar “transisi energi” dan “baterai hijau”, ironisnya justru tambang yang disebut sebagai bagian dari solusi perubahan iklim, malah mengoyak ekosistem paling kaya dan rapuh di muka bumi.

Lebih memilukan lagi, suara masyarakat adat yang telah menjaga tanah itu justru tercekat, nyaris tak terdengar dalam hiruk-pikuk izin usaha dan kepentingan industri.

Pertanyaannya kini bukan hanya soal bagaimana kita menghentikan tambang, tapi bagaimana kita menjaga alam ketika kekuasaan dan uang tampaknya saling berpihak?

Dan di tengah krisis ini, muncul sebuah pertanyaan penting yang patut direnungkan: Bisakah teknologi berpihak pada alam? Bisakah blockchain menjadi alat untuk pelestarian, bukan pembenaran?

Ketika Teknologi Menjadi Saksi
Selama ini, banyak perusakan lingkungan tersembunyi di balik kabut birokrasi dan kelonggaran hukum. Izin tumpang tindih, dana kompensasi fiktif, hingga data kerusakan yang hilang dari arsip. Kita tahu praktik semacam ini bukan rahasia.

Di sinilah blockchain bisa memainkan peran kunci. Sebagai sistem pencatatan digital yang transparan, tidak bisa diubah, dan dapat diakses publik, blockchain membuka kemungkinan baru dalam perlindungan lingkungan.

Bayangkan jika seluruh izin tambang tercatat di blockchain. Tak ada lagi celah untuk tumpang tindih izin di kawasan konservasi. Siapa pun bisa menelusuri sejarah izin, siapa yang menandatanganinya, kapan, dan untuk lahan mana.

Bayangkan jika dana CSR dan ganti rugi lingkungan hanya bisa dicairkan lewat smart contract, yang baru aktif jika perusahaan memenuhi tanggung jawabnya. Uang tidak sekadar janji, tapi komitmen yang diikat secara digital dan bisa diaudit oleh siapa pun.

Bayangkan jika komunitas adat memiliki sistem voting digital—mirip seperti DAO dalam dunia Web3—yang memberi mereka suara sah dalam pengambilan keputusan atas tanah leluhurnya. Tidak lagi sekadar dilibatkan secara simbolik, tapi benar-benar diberi kuasa teknis untuk menolak atau menyetujui proyek yang masuk ke wilayah mereka.

Bayangkan pula jika rantai pasok nikel bisa dilacak sepenuhnya dari hulu ke hilir. Konsumen global bisa tahu apakah logam yang mereka gunakan berasal dari kawasan sensitif seperti Raja Ampat, dan menolak membelinya.

Dan tak kalah penting, data kerusakan lingkungan dari drone, satelit, atau sensor di lapangan bisa dihubungkan ke blockchain, menjadikannya bukti permanen yang tak bisa dihapus. Tak ada lagi data lingkungan yang lenyap saat ganti kepemimpinan. Tak ada lagi kebohongan yang tak bisa dibantah.

Bukan Solusi Ajaib, Tapi Alat Baru
Tentu saja, blockchain bukan sihir. Ia tidak otomatis menyelamatkan hutan, laut, atau pulau. Ia hanya alat. Tapi di tangan yang tepat, ia bisa menjadi alat yang memberdayakan masyarakat, melindungi kebenaran, dan membuka ruang keadilan ekologis yang selama ini sering dibungkam.

Kita sedang berada di masa ketika narasi besar seperti “energi hijau” dan “pertumbuhan berkelanjutan” kerap menyimpan paradoks. Nikel ditambang atas nama mobil listrik, tapi ditambang dari hutan purba. Baterai disebut masa depan bersih, tapi lahir dari lumpur tambang yang menenggelamkan rumah dan kehidupan.

Di sinilah pentingnya blockchain bukan sebagai pemaaf, tapi sebagai pengingat permanen. Sebuah sistem yang menyimpan rekam jejak ekologis, memastikan siapa pun yang bermain di wilayah alam harus bertanggung jawab.

Raja Ampat adalah rumah. Bukan ladang bisnis, bukan angka dalam grafik pertumbuhan. Rumah yang seharusnya dijaga, dihormati, dan diwariskan. Jika tambang tak bisa dihentikan hari ini, setidaknya kita bisa mengawal, mencatat, dan mengadili setiap pelanggaran dengan teknologi yang tak bisa dibeli. Setidaknya kita bisa memastikan bahwa masyarakat adat punya alat untuk bersuara dan menyimpan sejarah mereka sendiri.

Mungkin di masa depan, blockchain akan menjadi buku catatan ekologi terbesar di dunia. Tempat kita merekam bukti cinta, dan juga bukti luka yang pernah diciptakan manusia atas nama pembangunan. Tugas kita sekarang bukan memilih antara teknologi dan alam, tapi menyatukan keduanya di sisi yang benar.[]

By Bekraf

Related Post