Renungan I Putu Yuliartha (Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2025)
DI TENGAH tantangan krisis iklim dan pencemaran lingkungan yang terus meningkat, sektor ekonomi kreatif (ekraf) tampil sebagai motor baru dalam upaya pelestarian lingkungan. Memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, semakin banyak pelaku ekraf di Indonesia yang mengusung prinsip keberlanjutan dalam proses kreatif mereka—mulai dari daur ulang, edukasi lingkungan, hingga pengembangan produk berbasis limbah.
Salah satu contoh nyata adalah tumbuhnya tren sustainable fashion yang mengedepankan bahan daur ulang dan pewarna alami. Brand lokal mulai mengolah limbah tekstil, botol plastik, bahkan serat pisang menjadi pakaian dan aksesoris yang tidak hanya modis, tetapi juga ramah lingkungan.
“Fashion bukan lagi soal tren semata, tapi sudah masuk ke ranah tanggung jawab sosial dan ekologi,” ujar Gung Wira, pendiri label pakaian TanahLestari, yang menggunakan limbah kain batik dan pewarna dari daun indigo, dalam sebuah wawancara.
Tak hanya fashion, kreativitas juga menjalar ke produk kerajinan dan desain. Mulai dari tas berbahan spanduk bekas, furnitur dari limbah kayu, hingga perabotan rumah tangga dari botol plastik. Bahkan, kampanye digital tentang pelestarian lingkungan kini lebih efektif ketika disajikan dalam bentuk animasi pendek, ilustrasi edukatif, atau video pendek ala TikTok yang catchy dan mudah dipahami.
Ekraf Hunt 2025 dan Geliat Inovasi Hijau
Pada Mei lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif meluncurkan program Ekraf Hunt 2025, sebagai panggung promosi karya kreatif berkelanjutan ke pasar global. Produk-produk yang tampil dalam program ini menekankan pentingnya inovasi yang selaras dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan.
Selain itu, Program BEKUP 2025 juga menjadi sorotan karena mendukung startup yang fokus pada solusi lingkungan. Aplikasi seperti Surplus, yang menjual makanan sisa berkualitas dari restoran untuk mencegah food waste, adalah salah satu inovasi yang lahir dari program ini.
“Isu lingkungan tidak bisa hanya diatasi dengan regulasi. Perlu pendekatan kreatif yang dekat dengan budaya dan keseharian masyarakat,” kata Irene Umar, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, saat menghadiri diskusi pelaku ekraf di Denpasar.
Pelestarian lingkungan hidup juga dijalankan melalui pendekatan naratif. Buku anak, dongeng digital, dan film pendek menjadi medium penting untuk membentuk kesadaran sejak dini. Banyak seniman dan penulis menggunakan hari ini sebagai momen untuk merilis karya yang bertemakan lingkungan.
“Cerita adalah jembatan. Anak-anak lebih mudah paham tentang pentingnya menjaga hutan atau tidak membuang sampah sembarangan bila disampaikan lewat kisah yang menyentuh,” kata Agung Bawantara, penulis dan pendongeng yang tengah menyiapkan seri dongeng tentang siklus air dan kehidupan pohon.
Tak Sekadar Gimmick
Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, berbagai e-commerce juga mengangkat produk-produk ramah lingkungan sebagai pilihan utama. Misalnya, kantong plastik biodegradable, pakaian dengan bahan polimikro berkelanjutan, dan plastik sampah ukuran besar dari material ecovalue yang lebih mudah terurai.
Namun penting ditekankan: pelestarian bukan sekadar tren. Ekraf yang benar-benar berpihak pada lingkungan tidak hanya menjual citra ramah lingkungan, tetapi juga menerapkan prinsip reduce, reuse, recycle dalam seluruh proses produksi hingga distribusi.
Ekonomi kreatif kini menjadi salah satu tulang punggung strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan dukungan kebijakan, akses pasar, dan edukasi yang tepat, pelaku ekraf berpotensi menjadi agen perubahan yang signifikan dalam membangun kesadaran dan perilaku ramah lingkungan di masyarakat.
Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini adalah momentum reflektif sekaligus ajakan: mari melihat kreativitas bukan hanya sebagai sarana ekspresi, tapi juga sebagai kekuatan penyelamat bumi. Karena menjaga bumi adalah satu-satunya karya kolaboratif yang harus kita menangkan bersama. []