Mon. Jun 16th, 2025

Konten Algoritma, Era Baru Media Sosial

DALAM sebuah sidang antitrust yang digelar oleh Komisi Perdagangan Federal (FTC) Amerika Serikat pada awal 2025, CEO Meta, Mark Zuckerberg, menyampaikan sebuah pernyataan yang mencerminkan pergeseran besar dalam dunia media sosial: “Sekarang ini bukan lagi soal siapa temanmu, tapi konten apa yang membuatmu tertarik.”

Zuckerberg menjelaskan bahwa saat ini hanya sekitar 20 persen dari konten yang muncul di feed Facebook berasal dari teman pengguna. Di Instagram, angkanya bahkan lebih kecil—sekitar 10 persen. Mayoritas sisanya adalah konten-konten yang dikurasi oleh algoritma: video, gambar, dan cerita dari orang-orang yang bahkan tidak kita kenal, namun dianggap menarik oleh mesin berdasarkan minat dan kebiasaan digital kita.

Pergeseran ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar atau di kalangan anak muda urban. Dalam kenyataannya, pola konsumsi konten berbasis algoritma kini telah merambah ke desa-desa, ke pelosok-pelosok Indonesia yang dulu mengandalkan media sosial sebagai tempat berbagi kabar dengan keluarga dan tetangga.

Jadi Santapan Sehari-hari
Di Desa Menukung Kota, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, seorang peneliti muda bernama Ari Santi Putri menemukan bahwa algoritma TikTok memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku warga desa dalam berbelanja di TikTok Shop. Mereka tidak membeli barang dari kerabat atau akun yang dikenal, melainkan dari konten-konten viral yang muncul di beranda mereka. Algoritma rupanya lebih tahu apa yang mereka butuhkan, atau setidaknya apa yang menarik perhatian mereka.

Fenomena yang sama juga terjadi di Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Di sini, banyak ibu rumah tangga menghabiskan waktu dengan menggulir TikTok. Mereka menonton video dari orang-orang yang tidak mereka kenal, mengikuti tren memasak, mendengarkan musik viral, atau sekadar menikmati hiburan ringan dari video kucing dan cerita-cerita inspiratif. Yang menentukan apa yang muncul di layar mereka bukanlah jaringan pertemanan, melainkan kerja algoritma yang senyap dan cerdas.

Lalu di Desa Silau Bayu, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, algoritma bahkan mulai membentuk gaya hidup. Warga desa mulai mengikuti tren gaya berpakaian dan ucapan yang mereka lihat di TikTok. Interaksi sosial mereka bukan lagi sekadar berbasis pada ruang fisik, tetapi juga pada ruang digital yang ditenun oleh sistem rekomendasi konten.

Meta Ikuti TikTok
Menghadapi perubahan besar ini, Meta melakukan langkah adaptasi. Facebook dan Instagram kini lebih fokus pada fitur-fitur penemuan konten seperti Reels. Mereka mendorong kreator untuk membuat video pendek dan mengandalkan algoritma untuk menjangkau lebih banyak pengguna, terlepas dari apakah pengguna mengenal sang kreator atau tidak.

Namun Meta juga menyadari bahwa tidak semua pengguna siap meninggalkan aspek sosial yang menjadi akar dari media sosial itu sendiri. Untuk itu, mereka memperkenalkan kembali fitur tab “Friends” di Facebook—upaya untuk tetap menjaga ruang agar unggahan dari teman dan keluarga tetap mendapat tempat di antara derasnya arus konten algoritmik.

Apa yang dikatakan Zuckerberg mencerminkan kenyataan yang semakin kuat: bahwa media sosial telah berevolusi dari tempat berbagi kehidupan pribadi menjadi mesin hiburan berbasis data. Di satu sisi, kita kehilangan momen-momen personal dari teman yang dulu muncul di timeline. Tapi di sisi lain, kita mendapatkan pengalaman yang lebih kaya dan beragam dari kreator yang belum tentu pernah kita kenal—tapi bisa menyentuh kita, menghibur kita, atau bahkan mengubah cara kita melihat dunia.

Dan seperti yang terjadi di Menukung Kota, Tegal Maja, dan Silau Bayu, algoritma kini bukan hanya milik orang kota. Ia telah menjadi bagian dari keseharian warga desa. Dengan satu sentuhan di layar ponsel, siapa pun kini bisa menjelajahi dunia, bukan lewat teman, tapi lewat cerita-cerita yang dipilihkan oleh mesin. Dunia digital sedang berubah—dan kita, dari kota sampai desa, sedang ikut berubah bersamanya. [BEKRAF/Abe]

By Bekraf

Related Post