Sun. Jun 15th, 2025

Menyama Braya Digital, Dari Bale Banjar ke Blockchain

 

Oleh: I Gede Putu Rahman Desyanta, CEO Baliola

(Bagian pertama dari tiga tulisan)

 

Bayangkan sebuah sore yang teduh di desa-desa Bali. Di bawah naungan pohon kamboja, para tetua duduk bersila sambil berbincang, anak-anak berlarian tanpa beban, dan warga saling sapa dengan senyum tulus yang tidak dibuat-buat. Tak ada yang merasa asing karena semua merasa menjadi bagian dari satu keluarga besar. Bukan karena pertalian darah, tapi karena pertalian nilai: saling percaya, saling tolong, dan saling menghormati.

Itulah wajah nyata dari Menyama Braya—roh kebersamaan yang telah menghidupi masyarakat Bali lintas generasi. Nilai ini bukan sekadar semboyan kultural, tapi jalinan hidup sehari-hari yang menyatukan individu dalam satu sistem sosial yang kohesif, partisipatif, dan bermakna.

Namun hari ini, ruang-ruang sosial kita bergeser. Dari bale banjar ke grup WhatsApp, dari pasar tradisional ke marketplace daring, dari tatap muka ke tatap layar. Dunia digital telah menjadi habitat baru kita. Tapi sayangnya, tak semua nilai ikut berpindah.

Di dunia digital, kita bisa saling terhubung tanpa benar-benar saling mengenal. Kita bisa berbicara tanpa merasa bertanggung jawab atas kata-kata kita. Kita bisa membangun sesuatu, tetapi juga bisa menghancurkannya, hanya dengan satu klik.

Di tengah derasnya koneksi, kita justru kehilangan sesuatu yang dulu begitu melekat: rasa memiliki bersama, rasa percaya, dan rasa keterikatan sebagai sesama manusia. Kita seperti hidup dalam jaringan yang luas, tapi tanpa jalinan yang mengikat. Padahal, dalam Menyama Braya, ada satu unsur yang menjadi nafas hidupnya: kepercayaan.

Pudarnya Kepercayaan di Dunia Digital
Kepercayaan bukan sekadar elemen moral—ia adalah fondasi praktis dari masyarakat yang sehat. Tanpa kepercayaan, tidak akan ada gotong royong, tidak akan ada saling bantu, dan tak akan ada kolaborasi sosial yang bermakna. Di dunia fisik, kepercayaan tumbuh dari tatapan, peluh, dan pengalaman bersama. Tapi di dunia digital, semuanya harus dibangun ulang—tanpa tubuh, tanpa ruang fisik, dan kadang, tanpa nama.

Dunia digital seperti menjanjikan koneksi, tetapi kerap kali menghadirkan keterasingan. Kita membuka aplikasi, membagikan data, bertransaksi, dan membuat jejak digital tanpa benar-benar merasa dilihat, dimengerti, atau dilindungi. Setiap hari kita klik, scroll, dan unggah, tetapi yang kita bangun bukan lagi braya, melainkan hanya profil dan notifikasi.

Yang menggantikan kedalaman adalah kecepatan. Yang menggantikan kepekaan adalah kepraktisan. Dan perlahan, rasa percaya memudar.

Krisis Relasi dalam Dunia Siber
Masalah terbesar dari era digital bukan hanya keamanan data atau penyebaran informasi palsu. Masalah paling dalam adalah krisis relasi: kehilangan rasa percaya sebagai dasar kebersamaan. Kita tidak tahu siapa yang menyimpan data pribadi kita. Kita tidak tahu apakah karya digital kita benar-benar milik kita. Dan, kita juga tidak tahu apakah informasi yang kita baca adalah kenyataan, atau manipulasi.

Kita diminta untuk percaya, tetapi tidak diberi alat untuk memverifikasi.

Padahal Menyama Braya mengajarkan sebaliknya. Bahwa relasi dibangun dari pengalaman bersama dan transparansi. Bahwa kepercayaan lahir dari konsistensi dan pengakuan. Tanpa kepercayaan, dunia digital hanyalah ruang transaksi: transaksional, bukan sosial; pragmatis, bukan partisipatif.

Tak heran bila makin banyak orang merasa sendiri di tengah ribuan koneksi digital. Kita terhubung ke seluruh dunia, tapi kehilangan orientasi dalam kehidupan sendiri.

Maka pertanyaannya kini menjadi sangat penting: Apakah ruang digital hanya akan menjadi tempat tanpa makna, atau bisakah menjadi rumah baru bagi nilai-nilai kebersamaan kita?
Jika Menyama Braya dulu hidup di desa-desa dan komunitas adat, kini ia perlu menemukan bentuk digitalnya—bukan untuk menggantikan, tetapi untuk bertahan dan berkembang.

Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, tapi kita bisa membawa nilainya ke masa depan. Kita tidak bisa menghentikan laju digitalisasi, tapi kita bisa menentukan nilai apa yang akan kita bawa bersamanya.

Dan di titik inilah kita perlu membangun ulang sistem kepercayaan—sistem sosial baru dalam format digital, yang bukan hanya cepat dan canggih, tetapi juga adil, terbuka, dan berakar pada nilai-nilai budaya kita.

Dunia Digital yang Manusiawi
Langkah pertama adalah menyadari bahwa teknologi bukanlah sesuatu yang netral. Ia bisa memperkuat ketimpangan, atau bisa menghidupkan nilai luhur. Semua tergantung dari bagaimana kita mendesain dan menggunakannya.

Menyama Braya tidak boleh berhenti di bale banjar. Ia harus berjalan bersama kita ke ruang-ruang digital, menjadi etika, menjadi struktur, dan menjadi semangat dalam setiap sistem yang kita bangun. Sebab tanpa kepercayaan, dunia digital hanya akan menjadi hutan notifikasi yang dingin dan kosong.

Tapi jika kita berhasil, maka ruang digital bukan hanya tempat koneksi, melainkan tempat untuk tumbuh bersama, berbagi nilai, dan membangun masa depan yang tidak hanya efisien, tapi juga bermakna.

Dan untuk itu, kita perlu melanjutkan pembicaraan ini—tentang nilai-nilai dasar yang membentuk Menyama Braya, dan bagaimana nilai-nilai itu bisa menjadi kerangka baru dalam membangun dunia digital yang adil dan manusiawi.[]

Bersambung ke Bagian Dua : “Menyama Braya dan Lima Pilar Kebersamaan di Era Siber” 

Bagian Tiga : “Blockchain Sebagai Titik Temu Nilai Tradisional Bali dan Teknologi Masa Depan” 

By Bekraf

Related Post