Oleh : Agung Bawantara
Di tengah krisis kepercayaan terhadap lembaga publik dan kejenuhan masyarakat terhadap komunikasi pemerintah yang kaku dan seremonial, muncul sebuah pola baru yang segar dan mendobrak. Dedi Mulyadi, politisi asal Jawa Barat yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, telah mempraktikkan satu bentuk komunikasi kepemimpinan yang tak hanya empatik, tetapi juga strategis. Ia bukan sekadar turun ke lapangan—ia membawa rakyat menyaksikan sendiri bagaimana sebuah kepemimpinan seharusnya bekerja, dari balik layar kecil bernama YouTube.
Gaya komunikasi dengan branding KDM (Kang Dedi Mulyadi) bukan hanya gaya, tetapi pola. Ia konsisten menyambangi warga yang terpinggirkan, mendengar keluhan mereka tanpa protokoler, memberi solusi seketika atau mencatatnya sebagai tugas. Semua ini didokumentasikan dengan gaya naratif yang humanis lalu disebarluaskan ke publik. Apa yang dilakukan Dedi menjadi narasi visual tentang seorang pemimpin yang hadir secara harfiah dan emosional.
Lebih dari Sekadar Blusukan
Dedi Mulyadi tidak sekadar melakukan blusukan. Ia membungkus tindakannya dalam narasi. Ia membiarkan publik melihat wajah keriput para lansia yang ia bantu, mendengar suara gemetar para yatim yang ia rangkul, dan menyaksikan secara utuh ekspresi manusiawi dari pelayanan publik. Ini adalah storytelling governance, di mana aksi nyata menjadi sumber utama konten digital yang menginspirasi.
Polanya menyasar tiga sasaran sekaligus: kepercayaan rakyat, penguatan citra diri sebagai pemimpin yang membumi, dan distribusi ide kepemimpinan melalui kanal digital. Ini adalah bentuk komunikasi politik yang tidak membutuhkan juru bicara. Pemimpinnya sendiri adalah narator, aktor, sekaligus saksi.
Komunikasi Publik Era Baru, Tantangan dan Batas Etika
Apa yang dilakukan KDM menandai pergeseran besar dalam cara komunikasi pemerintah dibangun: Dari retorika formal ke cerita nyata. Dari pers rilis ke konten naratif. Dari panggung seremonial ke ruang digital yang partisipatif.
Ini menjadi pelajaran penting: publik hari ini lebih percaya pada pengalaman visual langsung dibanding pidato berlembar-lembar. Kredibilitas dibangun bukan hanya dengan hasil kerja, tetapi juga cara menghadirkan kerja itu ke mata publik.
Bila pendekatan ini diterapkan oleh lebih banyak kepala daerah, terutama di sektor ekonomi kreatif, efeknya bisa sangat progresif. Pemimpin yang hadir dalam proses kreatif warganya, mengangkat cerita mereka, lalu mendistribusikannya secara terstruktur, akan menumbuhkan ekosistem yang saling menguatkan antara pelaku ekonomi dan pemimpin daerah.
Namun, pola ini bukan tanpa risiko. Ada batas etika yang tipis antara dokumentasi empati dan eksploitasi emosi. Ketika penderitaan warga menjadi konten, pemimpin harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir dalam praktik pencitraan sinematik yang kehilangan esensinya. Terlalu banyak bergantung pada sosok pemimpin juga dapat melemahkan institusi. Pemerintahan yang kuat bukan hanya soal figur, tetapi juga sistem.
Maka dari itu, keseimbangan harus dijaga. Kepemimpinan naratif mesti diimbangi dengan sistem administrasi yang profesional. Sementara konten sosialnya mengalir ke publik, sistem pelayanan harus tetap berjalan—bukan ditinggalkan karena sibuk syuting konten lapangan.
Relasi Pemerintah dan Media di Masa Depan
Muncul pertanyaan: bagaimana nasib media umum jika pemerintah bisa langsung berbicara ke publik?
Jawabannya bukan kompetisi, tapi kolaborasi baru. Media bisa menjadi mitra penyunting, pendalaman cerita, dan penguat narasi strategis dari pemerintah. Saat pemimpin membangun kanal sendiri, media dapat bertindak sebagai kurator, penanya kritis, atau bahkan produser kolaboratif untuk produksi konten sosial-politik yang lebih mendalam.
Model seperti ini membuka peluang simbiosis baru. Pemerintah yang terbuka terhadap media akan memperluas cakupan narasinya dan menghindari jebakan ruang gema (echo chamber) yang hanya menyuarakan pujian.
Penutup
Pola komunikasi Dedi Mulyadi adalah manifestasi konkret dari perubahan besar cara kepemimpinan disampaikan dan dipersepsikan. Ia menyentuh langsung ruang kesadaran masyarakat yang selama ini dijejali jargon. Ia membuka jalan bagi pola komunikasi publik yang lebih otentik, reflektif, dan partisipatif.
Ke depan, pemimpin publik bukan hanya harus mampu bekerja, tetapi juga mampu menceritakan pekerjaan itu dengan cara yang menggerakkan hati dan membangkitkan harapan. Dalam dunia di mana konten adalah kekuatan, pemimpin seperti Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa keberpihakan bisa disiarkan, dan pelayanan bisa ditonton—bukan untuk ditertawakan, tapi untuk diteladani. [Bekraf]