Wed. Apr 16th, 2025

Krisis Kepercayaan Digital: Mengapa Kita Harus Menulis Ulang Kontrak Sosial dengan Teknologi

Oleh IGP Rahman Desyanta – CEO Baliola

Di era ketika cerita pengantar tidur anak kita disusupi oleh pelacak data dan hasil pemilu ditentukan oleh algoritma yang tak terlihat, digital trust bukan lagi sekadar isu teknis—ini telah menjadi isu kelangsungan hidup demokrasi. Ini adalah permasalahan kemanusiaan dan human
dignity.

Internet dulunya dijanjikan sebagai ruang demokrasi tanpa batas dan gudang pengetahuan bagi semua. Namun kenyataannya, kita kini hidup dalam lanskap digital yang dipenuhi targeted misinformation, manipulasi berbasis AI, dan infrastruktur digital yang lebih dikendalikan oleh korporasi daripada konstitusi. Seperti yang diingatkan oleh filsuf Onora O’Neill, kebebasan berekspresi tetaplah hak asasi, tetapi dalam bentuknya yang telah dipersenjatai—diperkuat secara anonim dan tanpa akuntabilitas—ia kini justru mengancam demokrasi yang seharusnya ia lindungi.

Dari Mistrust ke Kekacauan
Kehidupan digital kita dibentuk oleh platform yang menghindari tanggung jawab yang seharusnya dimiliki oleh penerbit. Mereka membiarkan pengaruh politik anonim, penyebaran disinformasi, dan algorithmic targeting yang tidak transparan—semua diklaim sebagai bagian dari kebebasan berekspresi. Akibatnya? Diskursus publik dipenuhi narasi tanpa sumber, pengguna tidak tahu bagaimana data mereka digunakan, dan regulator selalu tertinggal satu
langkah.

Pertanyaannya kini bukan lagi apakah kita bisa mempercayai sistem digital. Pertanyaannya adalah: haruskah kita percaya? Dan jika jawabannya tidak, sistem hukum, desain, dan accountability macam apa yang harus segera kita bangun?

Akuntabilitas di Era AI
Sistem AI, terutama yang mempengaruhi keputusan sosial, medis, atau politik, kini terlalu kompleks untuk ditelusuri atau dilawan. Trust sering kali direduksi menjadi kotak centang di formulir persetujuan atau kebijakan privasi yang tidak dibaca. Ironisnya, dalam upaya mengotomatiskan pengambilan keputusan, kita justru menghilangkan tanggung jawab manusia.

Seperti ditegaskan dalam berbagai riset terkini, digital trust bukan sekadar soal teknologi—tetapi juga filsafat dan relasi sosial. Peralihan dari sistem “personalized” ke “precision” dalam bidang kedokteran, misalnya, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi bisa saja menggantikan empowerment pasien dengan algorithmic paternalism. Siapa yang mengambil keputusan, jika pengambil keputusan adalah mesin?

Seruan untuk Hak Asasi Digital
Yang kita butuhkan sekarang adalah penulisan ulang hak asasi manusia di era digital. Ini berarti:

  • Mendesain ulang anonimitas: Bukan untuk menghapusnya, tetapi untuk mencegah penyalahgunaannya dalam manipulasi tersembunyi. Whistleblower membutuhkannya. Botnet tidak.
  • Menuntut transparansi: Pengguna berhak tahu siapa yang berbicara, apa yang didorong, dan mengapa. Bukan hanya dalam iklan, tetapi dalam setiap konten yang dikurasi oleh AI.
  • Mewajibkan auditabilitas AI: Algoritma yang memengaruhi kehidupan harus dapat diperiksa, ditantang, dan dimintai pertanggungjawaban—seperti kebijakan publik lainnya.
  • Melindungi anak digital: Regulasi harus memprioritaskan warga digital termuda, memastikan identitas, data, dan masa depan mereka tidak diperjualbelikan demi klik.

Menuju Sistem Kepercayaan yang Trustless
Ironisnya, teknologi blockchain—yang lahir dari ketidakpercayaan—menawarkan gambaranmasa depan yang memungkinkan trustless trust: sistem yang tidak memerlukan kepercayaan buta karena dirancang untuk dapat diverifikasi. Tapi tanpa kerangka etika dan demokrasi yang memandu penggunaannya, bahkan teknologi yang paling transparan pun bisa disalahgunakan.

Revolusi digital bukan hanya soal inovasi—tapi juga tentang peradaban. Jika kita gagal menanamkan etika dalam sistem digital kita, kita berisiko mengulang kesalahan sejarah dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jangan biarkan demokrasi kita terdigitalisasi hingga punah. Mari kita kodekan masa depan—secara bersama, transparan, dan bertanggung jawab. []

By Bekraf

Related Post