Ulasan Agung Bawantara
Ogoh-ogoh “Warak Keruron” tidak lahir dari keinginan untuk sekadar unjuk gigi artistik. Ia tidak sekadar ditarik keliling dan dibakar untuk menandai akhir tahun saka. Ogoh-ogoh ini adalah bisikan keras—yang justru karena kerasnya, kita sering pura-pura tidak dengar. Ia adalah pernyataan, tangisan yang dijelmakan dalam rupa raksasa, ekspresi kolektif atas luka sosial yang terlalu sering dianggap pribadi. Dan seperti kebanyakan luka yang tidak dibicarakan, luka ini membusuk di balik kebisuan budaya.
Ibu, Darah, dan Bayi Bermata Satu
Tak banyak yang langsung paham saat melihat sosoknya. Seorang raksasa perempuan dengan lidah menjulur panjang, mengangkat bayi bermata satu yang jari-jarinya tak lengkap, dan menginjak seorang perempuan muda yang pucat, nyaris remuk oleh rasa bersalah. Tapi simbolisme di balik itu tidak sulit untuk dipahami. Ia berbicara dalam bahasa naluri, bahasa batin.

Durga, yang dalam bentuk ini jauh dari dewi anggun di altar rumah-rumah Bali, muncul sebagai pengingat, sebagai entitas yang menagih janji: janji untuk mengantar roh yang terbuang ke tempat seharusnya. Bayi itu bukan bayi biasa. Ia adalah hasil dari keputusasaan, atau mungkin ketidaksiapan, atau bahkan ketidaktahuan. Ia adalah janin yang tidak sempat menjadi manusia. Dan perempuan muda itu adalah siapa saja yang pernah berada di ambang memilih atau terpaksa kehilangan.
Aborsi, Tabu, dan Kenyataan yang Pedih
Menurut data dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Indonesia mencatat 750 ribu hingga 1,5 juta kasus aborsi setiap tahunnya. Dari angka itu, 2.500 perempuan meninggal karena prosedur yang tidak aman. Tapi data hanyalah data. Ia tak membawa beban rasa bersalah. Ia tidak bisa menjerit di malam hari. Berbeda dengan roh-roh janin yang tidak diupacarai dalam tradisi Hindu Bali.

Warak Keruron karya ST Dharma Santika Banjar Tembau Kelod, Denpasar, ini mengingatkan kita bahwa dalam kepercayaan ini, bahkan darah yang baru menggumpal di rahim sudah punya Atman—roh. Dan roh, sebagaimana manusia yang melupakannya, juga bisa marah. Terutama jika mereka tidak diberi jalan pulang. Maka lahirlah upacara Warak Keruron: untuk mengembalikan mereka ke alamnya, agar ibu-ibu yang ditinggalkan bisa kembali tidur tanpa dihantui rasa bersalah yang samar tapi melekat.
Ketika Fragmen Tari Menjadi Fragmen Jiwa
Di Catus Pata, pertunjukan Warak Keruron tidak dibawakan di atas panggung. Ia turun ke jalan. Ia tidak meminta perhatian, tapi menyedotnya. Seorang aktris muda memerankan perempuan yang sekarat secara batin. Ia tidak bicara, tapi tubuhnya mengisyaratkan lebih dari seribu kata. Kita bisa melihat: rasa takut, kehilangan, dan penghakiman—bukan dari luar, tapi dari dalam.
Tari ini bukan lagi tentang koreografi. Ini tentang pengakuan. Tentang tubuh yang membawa beban dosa, yang entah dari mana datangnya. Dan saat latihan fragmen tari diperlihatkan ke publik, yang tampak bukan sekadar persiapan pertunjukan. Itu adalah proses penyucian kolektif, pengangkatan luka batin menjadi laku spiritual.

Pesan yang Tak Tertulis, Tapi Terasa
Tidak ada tulisan besar bertuliskan “STOP ABORSI” di tubuh Warak Keruron. Tapi setiap detailnya—dari bayi cacat yang dipanggul, hingga wajah pucat perempuan di bawah kakinya—adalah pesan keras yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan propaganda. Ini adalah ajakan untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki dimensi yang lebih luas dari sekadar pilihan individu.Bayi itu, meskipun tidak sempat menangis, masih ingin didengar. Dan ibu itu, meskipun mungkin sudah berusaha melupakan, tetap menanggung sesuatu yang tidak bisa didefinisikan dalam bahasa medis.
Di Balik Api, Ada Jalan Pulang
Ketika ogoh-ogoh dibakar, yang terbakar bukan hanya karyanya. Tapi juga emosi kita yang telah disulut, kesadaran yang telah disentuh. Warak Keruron bukan hanya tentang aborsi. Ia tentang tanggung jawab. Tentang spiritualitas yang bersanding dengan rasa bersalah. Tentang tubuh yang membawa karma, dan seni yang membawanya pulang.
Dalam dunia yang makin nyaring, Warak Keruron memilih berbicara dalam sunyi. Tapi sunyi itu menggema di hati siapa pun yang masih percaya bahwa seni bisa menyembuhkan, bahwa simbol bisa menyampaikan apa yang tidak bisa kita ucapkan.

Dan Bali, sekali lagi, menunjukkan bahwa dalam tradisinya yang kuno dan rumit, masih tersimpan cara paling manusiawi untuk memahami kesalahan: bukan dengan mengutuk, tapi dengan upacara. Bukan dengan sembunyi, tapi dengan menatapnya langsung—dalam rupa raksasa yang menakutkan, tapi menyelamatkan.[BEKRAF/Abe]