Ulasan Agung Bawantara
Di bawah langit Badung yang mulai senja, Jumat 28 Maret 2025, sebuah raksasa aneh menjulang di atas sanan, rakitan bambu utuh yang digotong bersama-sama. Kodok raksasa, dengan tubuh kehijauan dengan kaki mengangkang seolah hendak melompat dari dunia tak kasatmata ke dunia fana, menggendong seorang gadis berwajah ayu. Di dalam mulutnya, yang terbuka lebar seperti hendak memangsa atau justru mengungkap rahasia, tampak wajah pangeran tampan yang bergerak-gerak, seolah hendak keluar dari tubuh menjijikkan yang menahannya. Di bawahnya, sepasang petani tua berdiri di tepi telaga, menyaksikan semua itu dengan ekspresi yang entah kagum, takut, atau pasrah. Inilah Kungkang Siwa, ogoh-ogoh garapan ST Tunas Remaja, Banjar Umahanyar, Desa Adat Penarungan, Mengwi, yang berhasil meraih Juara I Kompetisi Ogoh-ogoh Kabupaten Badung dalam Bhandana Bhuhkala Festival 2025.
Sekilas, ini tampak seperti ogoh-ogoh biasa: besar, seram, dan dibuat untuk diarak malam pengerupukan. Namun, seperti halnya puisi yang bagus, makna dari Kungkang Siwa tak bisa ditangkap sekadar dari kulit luar. Ia adalah karya yang kompleks, rumit, berlapis, dan yang terpenting: ia memiliki jiwa. Dan di sinilah pentingnya mengulas karya ini dengan cara yang tak sekadar menyanjung.

Mari kita mulai dari cerita. Kungkang Siwa mengangkat legenda lokal yang sudah jarang terdengar di kalangan muda Bali hari ini: kisah I Godogan, si kodok ajaib yang lahir dari pasangan suami istri paruh baya yang bekung—tidak bisa memiliki keturunan. Mereka adalah Pan Bekung dan Men Bekung, yang tetap sabar dan setia berdoa kepada Bhatara Siwa demi mendapat keturunan. Suatu hari, doa mereka terjawab. Saat ke ladang, Men Bekung merasa haus dan Pan Bekung berusaha keras mencarikan sumber air. Ditemukanlah sebuah wadah berisi air, dan air itu diminum oleh Men Bekung. Ajaibnya, tak lama kemudian Men Bekung hamil. Namun Men Bekung melahirkan seorang bayi berwujud katak. Antara sedih dan senang, mereka meminta petunjuk atas kejadian ini. Akhirnya mereka mendapat pawisik dari Bhatara Siwa bahwa sebenarnya kodok ini merupakan reinkarnasi pangeran sakti yang di kehidupan lampau terkena kutukan akibat kesalahannya.
Menurut pawisik, I Godogan akan berubah menjadi lelaki tampan ketika bertemu seseorang gadis yang mencintainya dengan tulus. Setelah beranjak dewasa, ia bertemu seorang putri raja. Keduanya saling jatuh cinta, namun ditentang oleh sang raja. Karena ketidaksetujuan itu, raja pun memerintahkan prajuritnya untuk membunuh I Godogan, namun si kodok tidak bisa mati. Tak menyerah, prajurit raja pun akhirnya memotong-motong tubuh si kodok menjadi empat bagian lalu menyebarnya ke empat penjuru desa. Di tengah kesedihan, Pan Bekung dan Men Bekung memungut potongan-potongan tubuh anaknya dan menyatukan kembali untuk diupacarai secara layak. Ajaibnya, tubuh kodok kembali seperti sediakala. Bersamaan dengan kejadian itu, kerajaan sang raja justru terkena musibah. Oleh penasihat spiritual kerajaan, terungkap bahwa penyebab musibah itu adalah karena memotong tubuh Godogan. Si raja akhirnya merestui hubungan si kodok dengan anaknya. Setelah direstui, I Godogan seketika berubah menjadi pangeran tampan.
Pilihannya untuk mengangkat Godogan ketimbang tema lain yang lebih populer seperti Barong Landung, Bima Swarga, atau bahkan figur-figur digital dari gim daring, adalah keputusan artistik dan kebudayaan yang sangat berani. Ia menunjukkan satu hal: bahwa para seniman muda Banjar Umahanyar masih memiliki akar budaya yang kuat, dan tidak malu menampilkan mitos kampungnya sendiri di panggung megah.
Namun keberanian mereka bukan hanya pada tema. Secara teknis, ogoh-ogoh ini menerapkan rekayasa konstruksi yang ekstrem. Bayangkan: beban struktur raksasa kodok dan gadis di atasnya dipikul hanya oleh tangan Pan Bekung, tokoh petani lelaki yang berdiri di bawah. Ini bukan sekadar gimmick teatrikal, tapi pencapaian teknik yang nyaris tak masuk akal. Mereka bahkan sempat merancang agar titik tumpunya hanya berada di ujung jari kaki Godogan! Meski pada akhirnya dibatalkan demi alasan keamanan dan keseimbangan, niat semacam ini mencerminkan daya khayal yang luar biasa.

Yang lebih menarik lagi adalah penggunaan elemen mekanis. Di dalam mulut Godogan, wajah pangeran tampan yang digerakkan oleh mesin kecil menjadi pusat perhatian. Ia bukan sekadar ornamen, tapi simbol dari inti cerita: bahwa di balik makhluk hina ada jiwa yang luhur. Ini bukan pesan yang digembar-gemborkan secara vulgar, tapi dihadirkan dengan subtilitas yang membuat penonton berpikir.
Di sisi lain, aspek artistik visual ogoh-ogoh ini juga sangat matang. Warna-warna kulit, busana, ekspresi wajah tokoh-tokohnya dibuat dengan perhatian terhadap detail. Tidak ada satu bagian pun yang terasa asal-asalan. Bahkan leher Godogan yang robek bukan karena kecelakaan teknis, melainkan memang dirancang untuk menyiratkan transformasi—bahwa ia sedang “mengganti kulit” menjadi manusia.
Namun semua kehebatan teknis dan estetika itu akan kosong tanpa kekuatan filosofis yang menopang narasi. Kisah tentang I Godogan yang melamar putri raja, ditolak, dibunuh, dan tubuhnya dipotong menjadi empat bagian lalu disebar ke seluruh penjuru desa, bukan hanya drama mitologis. Ini adalah metafora yang kuat tentang bagaimana seorang jelata—bahkan seekor kodok—jika memiliki tekad, kejujuran, dan cinta sejati, tak bisa dihancurkan oleh kekuasaan mana pun. Tubuh Godogan memang tercerai-berai, namun semangat dan cintanya tetap utuh. Ia dibunuh secara fisik, namun jiwanya tak bisa ditaklukkan.
Empat penjuru tempat tubuh Godogan disebar pun tak kalah penting untuk dimaknai. Dalam kosmologi Hindu-Bali, empat penjuru (utara, selatan, timur, barat) adalah simbol keseimbangan alam semesta, penjuru arah yang dijaga oleh para dewa lokapala. Dengan tubuhnya tersebar ke keempat arah, Godogan seolah menyatu dengan semesta, menyebar menjadi bagian dari tatanan dunia. Maka ketika tubuhnya disatukan kembali oleh cinta orangtuanya, ia tidak hanya hidup kembali secara fisik, tapi juga secara spiritual telah menjadi bagian dari kekuatan kosmis yang utuh. Peristiwa ini menyiratkan bahwa seseorang yang berserah pada dharma dan tidak menyerah pada ketidakadilan, justru akan memperoleh keberkahan dari seluruh penjuru alam. Di sinilah letak keberhasilan utama dari Kungkang Siwa. Ia bukan ogoh-ogoh yang sekadar ingin menakut-nakuti atau pamer kemampuan teknis. Ia mengangkat pertanyaan eksistensial tentang rupa dan hakikat, tentang tubuh dan jiwa, tentang kutukan dan karunia.
Godogan adalah lambang dari banyak hal yang kita tolak dalam hidup: kekurangan, ketidaksempurnaan, bahkan keburukan. Tapi seperti dalam banyak mitos klasik di seluruh dunia—dari The Frog Prince di Eropa hingga kisah-kisah dalam Mahabharata—yang buruk seringkali adalah ujian batin. Bahwa yang tampak hina bisa menyimpan keagungan, asal kita mampu melihat dengan mata yang lebih dalam.

Kungkang Siwa juga menjadi cermin dari zaman ini. Di tengah masyarakat yang gemar menghakimi dari tampilan, yang cepat melabel tanpa menyelami isi, ogoh-ogoh ini datang seperti pukulan pelan yang menohok. Ia mengingatkan bahwa yang indah belum tentu baik, dan yang buruk belum tentu jahat.
Kita juga tak bisa melupakan dimensi niskala dari ogoh-ogoh ini. Prosesnya diiringi dengan ritual di Pura Dalem Tambangan Badung, pura tua yang menyimpan arca Gelung Arja, yang dianggap bertuah. Dan ketika ogoh-ogoh ini dibawa melintasi sawah di bawah hujan yang tiba-tiba turun hanya di lokasi itu, ada semacam konfirmasi spiritual yang memperkuat bahwa karya ini bukan sekadar seni, tapi persembahan.
Di balik seluruh narasi ini, kita juga harus memberi tempat bagi kisah manusia di baliknya. Yan Gadink, sang arsitek ogoh-ogoh, bersama tim ST Tunas Remaja, bukan seniman profesional berbayaran tinggi dari sekolah seni rupa modern. Mereka adalah anak-anak muda kampung, sebagian besar dengan pekerjaan biasa, yang menyisihkan waktu berbulan-bulan demi menciptakan sesuatu yang luar biasa. Mereka tidak mencari ketenaran, apalagi uang. Mereka bekerja dalam semangat gotong royong, dengan keyakinan bahwa budaya adalah ruang hidup yang mesti terus dinyalakan.
Dan seperti kata Agus Deva, salah satu pentolan mereka: “Kami tidak akan pernah puas sampai di sini saja.” Ini bukan sekadar pernyataan ambisi, tapi ikrar akan kontinuitas. Akan komitmen budaya. Dan di sinilah letak kekuatan sejati Kungkang Siwa—ia bukan hanya tentang tahun ini, tapi tentang warisan.
Karya ini akan tinggal lama dalam ingatan. Tidak hanya sebagai pemenang lomba ogoh-ogoh, tapi sebagai tonggak bahwa mitos kampung, teknik modern, spiritualitas niskala, dan semangat kolektif bisa berpadu menjadi sebuah mahakarya.
Dan jika Bali memang ingin terus hidup sebagai pusat kebudayaan Nusantara, maka karya-karya seperti inilah yang harus diberi ruang, diberi panggung, dan yang terpenting: diberi penghormatan.[BEKRAF/Abe]