Ulasan Agung Bawantara
Ogoh-ogoh ini bukan tentang bererong atau tuyul. Ia bukan tentang makhluk-makhluk kecil yang suka ngintip di atap atau diam-diam numpang makan di dapur orang. Ia tak mewakili kisah rakyat yang sudah lama tak diulang. Ogoh-ogoh ini adalah Bhuta Rare —dan di dalamnya, ada sesuatu yang lebih mengganggu dari sekadar bentuk.
Dibuat oleh STT Suryamandala, Tampaksiring, ogoh-ogoh ini tidak menyita perhatian dengan suara, warna, atau gerak. Tidak ada gerak teatrikal, tak ada permainan efek atau lighting yang mencolok. Tapi justru di situlah letak efektivitasnya. Ia menguasai ruang tanpa harus bersuara. Seperti batu besar di tengah jalan yang tidak bisa dipindahkan begitu saja. Atau seperti bisikan yang terlalu dekat ke telinga: pelan, tapi mengguncang.
Bhuta Rare berbentuk bayi raksasa. Gundul, pucat, dengan sorot wajah yang nyaris tak menunjukkan emosi, tapi justru karena itu terasa dingin. Ia duduk bersila, tangan besarnya menggenggam kepala manusia dewasa yang tampak sudah tak berdaya. Di bawah tubuhnya, terhampar tumpukan kepala-kepala tua. Ini bukan sekadar konstruksi. Juga bukan sekedar ornamen. Ia susunan visual yang punya bobot makna.
Kulit Bhuta Rare tidak diberi warna emas, perak, atau merah api seperti yang biasa ditemukan dalam ogoh-ogoh bertema raksasa atau dewa-dewi. Warna tubuhnya menyerupai kulit manusia. Guratan uratnya, tekstur lipatan kulitnya, ketidakteraturan susunan giginya, semuanya memberi kesan bahwa ini bukan bayi biasa. Tapi juga bukan raksasa lazimnya. Ini adalah wujud dari sesuatu yang perlahan tumbuh, diam-diam menyimpan amarah, dan kini telah mengambil bentuknya sendiri.
Dalam narasi visual ogoh-ogoh di Bali, mayoritas bentuk visual didasarkan pada tokoh mitologi, legenda, atau monster simbolik. Namun Bhuta Rare memilih jalan lain. Ia menyodorkan diri sebagai lambang dari sisi gelap manusia yang tidak pernah mendapat ruang bicara. Ia seperti tubuh dari energi batin yang tak diolah, pikiran-pikiran buruk yang dipendam, perasaan-perasaan keras yang disembunyikan. Ia bukan ancaman dari luar. Ia lahir dari dalam.
Itulah mengapa Bhuta Rare terasa lebih dekat dan lebih berbahaya. Karena ia bukan fantasi. Ia adalah realitas yang dipersonifikasikan. Ia mewakili yang dalam ajaran Hindu disebut sebagai asuri sampat—sifat-sifat kebatilan yang tumbuh dalam diri manusia: kemarahan, kebencian, iri, kesombongan, kemalasan spiritual, ketamakan. Dan jika sifat-sifat ini tidak dikenali dan dikelola, ia bisa mengambil alih kesadaran manusia dan membentuk karakter. Bhuta Rare adalah wujud visual dari karakter itu.
Jika sebagian besar ogoh-ogoh ditugaskan sebagai bentuk kritik sosial, hiburan, atau ajang kreativitas, Bhuta Rare melampaui itu. Ia menjadi pengingat akan sesuatu yang fundamental: bahwa manusia bisa menyimpan kekuatan destruktif dalam dirinya sendiri. Dan bahwa diam, penyangkalan, dan ketidaktahuan adalah cara paling ampuh untuk mempercepat pertumbuhannya.
Dalam kosmologi Bali, dikenal konsep Kanda Pat: empat saudara gaib yang lahir bersama manusia, berasal dari air ketuban, ari-ari, darah, dan tali pusar. Mereka disebut sebagai saudara karena diyakini menjaga manusia selama hidup. Namun dalam tafsir kontemporer, bisa juga dipahami bahwa setiap manusia lahir dengan empat aspek bawah sadar yang harus dikenali dan dijaga. Jika tidak, keempatnya bisa berubah bentuk. Bukan lagi saudara, melainkan sesuatu yang menjauh, membelok, bahkan mengaburkan jalan hidup. Dalam konteks itu, Bhuta Rare bisa dibaca sebagai manifestasi dari sisi Kanda Pat yang tak dikenali.
Kepala-kepala tua yang dijadikan dasar duduk Bhuta Rare bisa dibaca sebagai fondasi pengalaman kolektif yang diabaikan. Bisa jadi itu adalah lambang generasi terdahulu—mereka yang lelah, mereka yang tidak didengar, mereka yang pikirannya dikalahkan oleh waktu. Atau bisa juga ditafsirkan sebagai representasi dari suara-suara dalam diri manusia sendiri yang perlahan ditindih oleh dorongan-dorongan gelap yang tumbuh sejak kecil. Apa pun tafsirnya, keberadaan tumpukan kepala ini bukan sekadar estetika. Ia menyiratkan bahwa posisi Bhuta Rare sekarang berdiri di atas kekalahan sesuatu yang pernah bernalar.
Dari segi teknis, ogoh-ogoh ini dibuat dengan rapi dan tenang. Tidak banyak eksperimentasi liar. Tapi semua bagian memiliki proporsi yang meyakinkan. Tidak ada yang dibuat berlebihan. Tidak ada pula bagian yang terlihat tergesa-gesa. Semuanya tampak seperti dirancang dengan satu niat tunggal: menunjukkan sesuatu, bukan menjelaskan. Dan itu membuatnya lebih kuat.{BEKRAF/Abe]