Di tengah sorotan dunia terhadap teknologi disruptif, dua tokoh utama dari Bali membawa isu yang tak kalah penting ke panggung internasional: perlindungan hak kekayaan intelektual dalam industri kreatif. Adalah I Gede Putu Rahman Desyanta (CEO Baliola) dan I Putu Yuliartha (Ketua Harian BKraf Denpasar) yang menyuarakan persoalan ini dalam Black Swan Summit 2025—sebuah forum bergengsi yang mempertemukan pemikir-pemikir radikal dari berbagai belahan dunia di Winthrop Hall, University of Western Australia.
Digelar pada 24–26 Maret, forum ini menjadi ruang diskusi lintas disiplin untuk membahas masa depan teknologi dan dampaknya terhadap perubahan global. Di hadapan para inovator dunia, Rahman dan Yuliartha membawa realita kreator lokal yang, meski penuh potensi, belum terlindungi secara memadai.
“Ekonomi kreatif telah berkontribusi sebesar 7% terhadap PDB Indonesia—senilai AUD$110 miliar,” ungkap Gede Anta dalam sesinya. “Tetapi kenyataannya, 90% pelaku belum mendaftarkan kekayaan intelektual mereka, dan 95% paten di Indonesia malah dimiliki oleh pihak asing. Ini bukan hanya kehilangan nilai ekonomi, tapi juga kehilangan identitas.”
Rahman juga menyoroti ancaman global berupa maraknya produk tiruan, yang nilainya mencapai AUD$750 miliar. “Barang-barang palsu ini merugikan kreator orisinal dan menghancurkan ekosistem kreativitas,” tegasnya.
Kreativitas Bali: Kaya Potensi, Rentan Klaim
I Putu Yuliartha yang di forum tersebut memperkenalkan nama Putu Lengkong sebagai sapaan akrabnya menambahkan bahwa di Bali, situasinya bahkan lebih genting. Produk-produk khas seperti tenun endek, songket, dan keramik lukis tangan belum memiliki sistem perlindungan yang kuat, baik dari sisi hukum maupun teknologi.
“Kita bicara soal warisan budaya yang luar biasa. Tapi saat dunia bertanya: siapa yang merancang? siapa yang menenun? kapan dan di mana dibuat?—kita tidak bisa menjawab dengan pasti. Itu masalah serius,” ujar Yuliartha. “Bali butuh sistem yang bisa menjamin orisinalitas secara terbuka dan terpercaya.”
Lebih parahnya lagi, banyak merek lokal kesulitan mendapatkan pengakuan sebagai “produk asli Bali”, karena tidak adanya sistem verifikasi yang diakui secara formal.
Namun di balik keresahan itu, tersembunyi peluang besar. Masyarakat global kini lebih peduli pada keaslian produk dan kisah di baliknya. Teknologi seperti blockchain, didukung regulasi dan kebangkitan pascapandemi, menciptakan momentum baru untuk perlindungan kreatif berbasis digital.
Kraflab.id: Inovasi Sertifikasi Produk Kreatif dari Bali
Untuk menjawab tantangan tersebut, Bali melalui kerja sama antara Baliola dan BKraf Denpasar, meluncurkan Kraflab.id—sebuah platform digital yang memverifikasi orisinalitas karya kreatif lokal, lengkap dengan sertifikat berbasis blockchain.
“Kraflab.id adalah sistem terbuka yang membangun kepercayaan. Ini bukan hanya tentang teknologi, tapi juga tentang martabat kreator,” jelas Gede Anta. “Setiap produk akan memiliki bukti keaslian, cerita asal-usul, dan identitas kreatornya.”
Fitur unggulan Kraflab.id antara lain: Sertifikat Orisinalitas (OCP) – diterbitkan setelah verifikasi ketat oleh komunitas dan instansi; Origin Product Number (OPN) – nomor unik untuk melacak riwayat produk; Tag Lokal – seperti label UnBalivable untuk menyatakan produk asli Bali; QR Fisik pada Produk – terhubung ke sertifikat digital berbasis blockchain; Dashboard Analitik & Katalog – untuk memantau data kreator dan tren industri.
Platform ini juga menyediakan tiga skema fleksibel: satu kreator satu OCP, satu perusahaan dengan banyak kreator dalam satu OCP, atau beberapa OCP dalam satu ekosistem besar.
Produk Lokal, Kisah Global
Kraflab.id hadir untuk menjawab keraguan yang selama ini melingkupi produk-produk khas Bali. Misalnya, pada kain Endek, platform ini akan mencatat siapa yang menenun, dari daerah mana motifnya berasal, berapa jumlah produksinya, dan kisah budaya apa yang melatarbelakanginya.
Begitu pula dengan songket dan keramik lukis tangan—yang selama ini hanya dikenal sebagai “produk Bali”, tanpa detail konkret tentang sejarah, pembuat, atau keterbatasan produksinya. Kraflab.id memberi mereka identitas digital yang otentik dan mudah diverifikasi.
Dengan 80% pendapatan Bali berasal dari sektor seni dan budaya, kebutuhan akan perlindungan kekayaan intelektual menjadi sangat mendesak.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Jika Bali ingin tetap menjadi kiblat seni dunia, maka perlindungan terhadap penciptanya harus menjadi prioritas,” ujar Putu Lengkong menegaskan. “Kraflab.id bukan hanya alat digital. Ia adalah gerakan untuk menjaga warisan, martabat, dan masa depan kreator Bali.” [BEKRAF/Rls]