Oleh : Agung Bawantara
Inilah ogoh-ogoh yang berpijak pada tradisi lama tetapi mengangkat isu paling kontemporer: kecerdasan buatan. Namanya Ki Ai Nir Nur. Dibuat oleh Marmar Herayukti dari Banjar Gemeh, Denpasar. Ini bukan ogoh-ogoh biasa. Ia adalah simbol dari sebuah era—era di mana manusia begitu percaya pada kecerdasannya sendiri, hingga lupa bahwa kecerdasan tanpa kesadaran adalah resepi untuk kekacauan.
Ki Ai Nir Nur adalah raksasa gundul bermata satu. Mata kanannya tajam, mata kirinya buta, hanya putih polos tanpa titik pusat. Bagi sebagian orang, itu mungkin detail kosmetik. Tapi dalam simbolisme Bali dan kenyataan yang kita hidupi hari ini, itu adalah metafora: kita hanya melihat sebagian dari kenyataan dan seringkali bagian yang kita lihat adalah yang menyenangkan.
Ia bertaring, berjanggut, bersayap, dan seluruh tubuhnya ditempeli aksesori logam: kalung tengkorak, rangka iga di punggung, dan sayap seperti mesin. Ia tampak seperti makhluk dari masa depan yang lahir dari laboratorium manusia yang terlalu percaya diri. Yang menarik, saat diarak, ia bergaya seperti penari Bali dalam gestur ulap-ulap—pose siap terbang, atau kalau mau jujur, siap meninggalkan bumi.
Yang ingin digambarkan Marmar jelas: ini bukan monster dari dongeng masa lalu. Ini adalah perwujudan dari kegelisahan masa kini. Ki Ai Nir Nur adalah kita, atau lebih tepatnya: bayangan masa depan kita jika kita terus mendorong batas kecerdasan tanpa memperkuat kesadaran.
Kita hidup di zaman di mana mesin bisa belajar. AI bisa menggambar, menulis, menerjemahkan, bahkan meniru emosi. Tapi semua itu tidak membuatnya sadar. Ia hanya meniru. Dan manusia, yang membuat semua itu, sering kali juga hanya meniru kebanggaan yang sudah basi—bahwa teknologi akan menyelamatkan kita.
Ki Ai Nir Nur adalah peringatan bahwa ada titik di mana semua rekayasa akan berbenturan. Ketika semua sistem buatan mulai berjalan sendiri, dan manusia kehilangan kendali. Ketika satu mata kita masih percaya pada kemajuan, tapi mata lainnya sudah kehilangan cahaya.
Nama “Ai” dalam bahasa Bali berarti matahari. “Nir” adalah ketiadaan. “Nur” adalah cahaya. Maka Ki Ai Nir Nur adalah “matahari tanpa cahaya”—ironi dari zaman yang bangga menyebut dirinya era pencerahan.
Yang membuat ogoh-ogoh ini penting bukan hanya bentuknya, tetapi konteks sosial dan intelektual di mana ia muncul. Kita bukan sedang kelebihan kecerdasan, tapi kekurangan pertanyaan penting. Kita sibuk menciptakan, tapi tak punya waktu bertanya: untuk apa? Siapa yang memegang kendali? Apa yang kita langgar saat kita merasa menang?
Dalam festival yang dipenuhi cahaya, tawa, dan kamera ponsel, Ki Ai Nir Nur berdiri seperti pengganggu. Ia mengganggu kenyamanan kita. Ia bukan pertunjukan. Ia tudingan.
Marmar Herayukti tidak sedang memamerkan keterampilan seni rupa. Ia sedang menyampaikan argumen sosial. Dan ia melakukannya dengan bahasa yang sangat khas Bali: visual yang pekat dengan simbol, tubuh besar yang tak bisa diabaikan, dan makna yang terus bergema setelah semua penonton pulang.
Ki Ai Nir Nur tidak menawarkan solusi. Ia juga tidak butuh kita setujui. Ia hanya hadir dan bertanya balik: setelah semua ini, apa yang sebenarnya kamu mengerti? Dan bila kamu pintar, mengapa kamu masih bingung arah?
Itulah pertanyaan yang seharusnya kita pikirkan. Sebelum raksasa itu benar-benar lepas landas, dan kita hanya bisa melihatnya terbang—membawa sesuatu dari kita yang tak bisa kembali. [BEKRAF/Abe]