Mon. Mar 24th, 2025

Diskusi Seru Bedah Buku Karya Penulis Muda Bali di JKP

DALAM acara bedah buku karya dua penulis muda Bali, Saka Rosanta dan Angga Wijaya, suasana diskusi menjadi panas akibat pernyataan kontroversial dari GM Sukawidana, penyair senior Bali. Bertempat di Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Renon, Denpasar, acara ini berlangsung pada Senin malam dan dihadiri oleh para pecinta sastra dari berbagai kalangan.

GM Sukawidana mengkritik novel Saka Rosanta yang berjudul “Buku Itu Di Atas Kertas” dan sajak-sajak Angga Wijaya dalam buku “[Bukan] Anjing Malam”. Menurutnya, meski banyak ide yang disampaikan dalam novel tersebut, pengarangnya gagap dalam menuangkannya ke dalam tulisan. Sedangkan sajak-sajak Angga Wijaya dinilai tidak lebih dari gaya reportase ala jurnalis yang miskin diksi dan metafora.

Pernyataan GM Sukawidana memancing tanggapan dari Mas Ruscitadewi, sastrawati, dan Galuh Febri Putra, dosen Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana, yang hadir sebagai narasumber. Mas Ruscitadewi membela Saka Rosanta dengan menyebut bahwa dalam novel “Buku Itu Di Atas Kertas” terdapat banyak serakan puisi, prosa liris, dan cerpen yang menunjukkan gaya khas pengarang. Menurutnya, meski bagi pembaca awam novel ini terlihat melompat-lompat dari satu ide ke ide lain, justru hal tersebut menawarkan dimensi baru yang mengejutkan pembaca.

Galuh Febri Putra menanggapi kritik terhadap Angga Wijaya dengan menjelaskan bahwa gaya penulisan seperti reportase jurnalistik pernah menjadi tren di Amerika Serikat pada tahun 1960-an dalam penulisan prosa. Ia menyebut genre ini sebagai narrative journalism dan mencontohkan “In Cold Blood” karya Truman Capote. Menurutnya, puisi Angga Wijaya yang mengadopsi gaya tersebut menawarkan sesuatu yang baru di Indonesia.

Perdebatan semakin memanas dengan tanggapan-tanggapan yang dilontarkan oleh para narasumber. I Made Sujaya, kritikus sastra dan dosen sastra di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, yang bertindak sebagai moderator, berhasil menengahi diskusi sehingga tetap berlangsung kondusif. Acara ini juga disiarkan secara langsung melalui media sosial milik Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP).

Ngurah Aryadimas Hendratno, koordinator JKP, menyatakan bahwa perdebatan panas seperti inilah yang diharapkan pada setiap diskusi sastra. Menurutnya, silang pemikiran yang terjadi akan memperkaya kehidupan sastra di Bali, khususnya di Kota Denpasar. Aryadimas juga menyampaikan kesan pribadinya terhadap novel Saka Rosanta yang menurutnya memiliki lapisan dimensi yang mengejutkan pembaca.

Mas Ruscitadewi menambahkan bahwa karya Saka Rosanta bisa menjadi referensi dan memberi pelajaran bagi para pembaca jika pengarang mampu memberikan bayu dan jiwa yang runtun pada cerita, suasana, dan tokoh-tokohnya.

Galuh Nugraha menyebut sajak-sajak Angga Wijaya dalam buku “[Bukan] Anjing Malam” menawarkan estetika personal yang bebas nilai, sehingga pembaca memiliki ruang pemaknaan yang luas dan personal. Ia mencontohkan sajak “Denting Penjual Bakso” yang mengajak pembaca untuk menggunakan rasa dalam memahami peristiwa sosial.

Diskusi tersebut memberikan wawasan baru dan memperkaya pandangan peserta terhadap karya sastra dua penulis muda Bali ini.*** [BEKRAF/Angga Wijaya]

By Bekraf

Related Post