I NYOMAN Loka Suara, pelukis kelahiran Denpasar, 13 Februari 1971 disebutkan oleh Wayan Jengki Sunarta sebagai pelukis yang berjiwa penyair. Menurutnya, Loka menuangkan berbagai kegelisahan batinnya tentang persoalan cinta, kesepian, kemuraman manusia, dan juga persoalan sosial menjadi lukisan-lukisan metaforis yang memancarkan kedalaman renungan.
Itu pula yang Jengki tangkap melalui lukisan-lukisan yang dipamerkan di Maya Sanur, Denpasar, 11 Juli hingga 15 Agutus 2024. Pameran lukisan Loka Suara diberi tajuk “Shades of Stone in Love”.
Melalui pengantarnya, Jengki yang merupakan penyair dan penikmat seni rupa, menulis bahwa lukisan Loka Suara yang berjudul “Woman in Love” menampilkan persoalan cinta dan kesepian. Tampak sosok perempuan berwajah muram terhanyut dalam lamunannya. Dua gelas minuman dan selembar surat (cinta?) semakin mempertegas kesepiannya. Mungkin perempuan itu sedang menunggu kekasihnya atau bisa jadi ia baru saja ditinggalkan kekasihnya. Dalam perjalanan cinta selalu ada yang tiada terduga.
“Yang menarik, pada lukisan “Love Trap”, Loka secara ironis menampilkan sosok lelaki yang tampak menikmati terperangkap dalam cinta yang membingungkan dirinya. Cinta bisa bermakna luas. Selain kenikmatan, cinta juga menebarkan perangkap kemelekatan,” tulisnya.
Jengki melanjutkan, karya-karya Loka yang bertema sosial juga tak kalah muramnya. Hal itu, misalnya, tampak pada lukisan berjudul “Dialog Dua Kandidat” yang secara metaforis menggambarkan kemuraman persoalan sosial politik yang terjadi di Indonesia.
“Lukisan Loka yang sangat kuat menampilkan kemuraman berjudul “Ekspresi Jiwa”. Tampak sosok-sosok jelata yang muram, kusam, dan hancur didera derita kehidupan. Sosok-sosok yang dikalahkan kehidupan. Kemuraman lukisan ini juga menyiratkan suasana batin sang pelukis ketika menghayati dan merenungi realitas sosial,” tulis Jengki yang juga punya kegemaran melukis.
I Nyoman Loka Suara, seperti yang ditulis oleh Jengki, menimba ilmu seni rupa di ISI Denpasar. Sejak 1993 dia telah aktif menampilkan karya-karyanya dalam banyak pameran bersama, baik di dalam maupun luar negeri. Misalnya, tahun 2015 karyanya terpilih untuk ditampilkan dalam pameran Beijing International Art Biennale di China. Dia juga pernah meraih “Gold Award” atau karya terbaik dalam Asian Art Biennale III di Hongkong pada tahun 2018.
“Pameran yang kita saksikan kali ini adalah pameran tunggal perdana Loka. Dia menampilkan lukisan-lukisan dengan tematik cinta dan sosial. Ide-ide lukisannya bertitik tolak dari penghayatannya pada realitas kehidupan yang kemudian dikembangkan dengan perangkat-perangkat teknik seni lukis. Misalnya, tematik cinta muncul dari renungannya tentang kerumitan cinta,” tulis Jengki,
Ia menambahkan, tematik sosial muncul dari pengamatan dan pengalamannya bergaul dengan kaum jelata dan orang-orang kalah. Kesukaan Loka nongkrong di warung kopi membuat batinnya peka pada aneka rupa persoalan sosial yang terjadi.
“Dalam pameran ini, kemuraman menjadi benang merah yang menghubungkan persoalan cinta dan persoalan sosial. Misalnya, lukisan-lukisan Loka yang bertemakan cinta menampilkan kontradiksi antara keceriaan dan kemuraman. Keceriaan tampak pada penerapan warna-warna hangat, kemuraman tampil lewat warna-warna dingin,” lanjut Jengki.
Kontradiksi ini, tambahnya, membuat lukisan-lukisannya yang bertema cinta menjadi unik. Hal itu, misalnya, tampak pada lukisan berjudul “Sweetnees of Love”.
“Kontradiktif dengan judulnya, Loka menampilkan lambang cinta dari batu. Jika menghayati lukisan ini, kita merasakan suatu cinta yang penuh perjuangan untuk tumbuh dan mekar. Pada masing-masing lambang cinta dari batu dengan latar warna-warna hangat itu tampak setangkai bunga mawar lengkap dengan daun dan durinya, lilin yang menyala redup, gelas wine, dan pisang matang,” jelas Jengki. Disebutkan olehnya, lukisan ini menyuguhkan berbagai simbol yang perlu dikupas. Pada hakikatnya, cinta mengandung kelembutan, kehangatan, sekaligus kekerasan (yang disimbolkan dengan batu). *** [BEKRAF/Angga Wijaya]