Akhir-akhir ini, istilah “kena mental” semakin populer di kalangan generasi milenial Indonesia. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan kondisi seseorang yang sedang tertekan atau mengalami masalah mental. Fenomena ini menjadi perhatian serius bagi para ahli kesehatan mental, termasuk psikiater Bali Mental Health Clinic, dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ.
Menurut dr. Rai Wiguna, penggunaan istilah “kena mental” bisa dilihat dari dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, ini menunjukkan bahwa generasi milenial semakin terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental. Mereka tidak lagi malu untuk mengakui bahwa mereka sedang berjuang dengan tekanan mental. Ini merupakan langkah positif karena membuka jalan bagi diskusi yang lebih luas dan mendalam tentang kesehatan mental.
Namun, di sisi lain, istilah “kena mental” juga memiliki sisi negatif. Penggunaan istilah ini bisa dianggap menyederhanakan masalah kesehatan mental yang sebenarnya sangat kompleks. Dr. Rai Wiguna menjelaskan bahwa istilah ini bisa meminimalisir keseriusan masalah kesehatan mental dan menyamakan semua kondisi mental dengan cara yang tidak akurat. Lebih mengkhawatirkan lagi, penggunaan istilah “kena mental” secara bercanda dapat memperkuat stigma negatif terhadap kesehatan mental.
Dampak Penggunaan Istilah “Kena Mental”
Orang yang sering dijuluki “kena mental” mungkin merasa malu dan tidak nyaman untuk mencari bantuan profesional. Dr. Rai Wiguna menekankan bahwa penting untuk memahami bahwa kesehatan mental adalah masalah serius dan harus ditanggapi dengan tepat. Istilah “kena mental” memang bisa menjadi cara untuk membuka percakapan tentang kesehatan mental, tetapi penggunaannya harus berhati-hati agar tidak memperburuk stigma yang sudah ada.
Selain itu, istilah ini dapat membuat orang menyederhanakan kesehatan mental. Misalnya, mereka yang sedang kelelahan atau burnout mungkin hanya menyebut diri “kena mental” dan menganggap solusinya adalah liburan, bukan mencari bantuan profesional dari psikolog atau psikiater. Ini bisa menjadi masalah serius karena kondisi mental yang tidak ditangani dengan tepat dapat memburuk seiring waktu.
Pengaruh Media Sosial
Di era media sosial, informasi tentang kesehatan mental sangat mudah diakses. Namun, ini juga membawa tantangan tersendiri. Stigma terhadap kesehatan mental bisa semakin kuat karena banyaknya informasi yang tidak akurat atau disalahgunakan. Misalnya, mereka yang mengalami gangguan mental seringkali disebut lebay (berlebihan) di media sosial.
Lebih jauh lagi, psikolog atau psikiater yang rajin membuat konten di media sosial sering kali justru membuat masyarakat mudah mendiagnosis diri sendiri dan orang lain tanpa melalui pemeriksaan medis. Misalnya, karena banyaknya informasi tentang gangguan narsistik yang viral di media sosial, seseorang bisa dengan mudah mendiagnosis pasangannya dengan gangguan tersebut hanya karena sebuah perdebatan, tanpa pemeriksaan lebih lanjut.
Pesan untuk Masyarakat
Dr. Rai Wiguna berpesan agar kita semua melihat isu kesehatan mental sebagaimana adanya, tanpa berlebihan atau mengabaikan. Menggunakan istilah “kena mental” sebagai humor atau bahan bercanda bisa menyuburkan stigma di masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menggunakan istilah ini dengan bijak dan sensitif, serta memahami bahwa kesehatan mental adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan penanganan yang tepat.
Dengan demikian, meskipun istilah “kena mental” telah membuka pintu bagi diskusi tentang kesehatan mental di kalangan generasi milenial, penting untuk tetap menghormati kompleksitas masalah ini dan mendorong pendekatan yang lebih profesional dan akurat dalam menangani isu kesehatan mental.*** [BEKRAF/Angga Wijaya]