Dari penampilan kesehariannya, sulit untuk menebak bahwa lelaki berusia 55 tahun ini adalah seorang dokter, lebih tepatnya dokter spesialis kandungan. Dengan rambut sebahu, pembawaan tenang, dan cara berbicara dengan kata-kata terpilih dan tersusun rapi, ia lebih terkesan sebagai seorang filsuf daripada ahli medis.
Tapi memang demikianlah sejatinya sosok kalem bernama Dewa Putu Sahadewa ini. Ia sangat bangga menyebut dirinya sebagai penyair yang (kebetulan) berprofesi sebagai dokter. Pada Senin (27/5/2024) Angga Wijaya dari bekraf.id menemuinya di salah satu kafe di Kota Denpasar untuk berbinjang seputar diri dan berbagai kiprah yang dilakoninya di dunia seni dan kreativitas.
Dewa Putu Sahadewa. Lahir di Denpasar, 23 Februari 1969. Sebagai penyair ia lahir dari proses panjang yang diawali dari perkenalannya dengan panggung teater dan sastra saat bersekolah di SMP Negeri 1 Denpasar pada 1982-1985. Pada saat itu, di bawah bimbingan penyair GM Sukawidana yang menjadi guru di sekolah tersebut, Saha –demikian ia akrab disapa– bersama rekan-rekannya seperti Aan Almaidah, Oka Rusmini, dan Chandra Yowani mendirikan Sanggar Sastra Cipta Budaya dan menghabiskan hampir sebagian waktu luar sekolahnya di situ. Dari ketekunan berkutat di sanggar tersebut, beberapa temannya melahirkan sebuah antologi puisi bertajuk “Rindu Anak Mendulang Kasih” yang pada saat itu menarik perhatian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Fuad Hasan, sehingga memberi apreasisasi khusus untuknya.
Selepas SMP, Saha meneruskan sekolah di SMAN 1 Denpasar. Di situ ia melanjutkan kiprahnya di bidang sastra dan teater. Di sekolah barunya, Saha aktif di Teater Angin. Ia menggerakkan teman-teman seminatnya membuat berbagai aktivitas dan pementasan di panggung sekolah maupun di panggung-panggung lomba di Kota Denpasar. Merasa tak cukup luas, selain di Teater Angin, Saha juga aktif di Sanggar Putih dan Sanggar Minum Kopi sembari terus menulis puisi untuk mengisi ruang seni Bali Post Minggu yang diasuh oleh Penyair Umbu Landu Paranggi. Di situ kepenyairan Saha terasah setahap demi setahap sejak kualifikasi “Pawai”, “Kompetisi”, “Kompetisi Promosi”, hingga “Pos Budaya” (itu adalah jenjang kualitas puisi dan kepenyairan ala Umbu Landu Paranggi yang diterapkan di media tersebut). Di situlah Saha khusyuk masyuk dalam lautan puisi hingga ia memutuskan untuk jeda menulis hingga lebih dari saru dekade..
Sejak tahun 2005, Saha aktif dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak di Nusa Tenggara Timur (NTT) dari sejak di bertugas di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesma) hingga mendirikan Rumah sakit Ibu dan Anak (RSIA) Dedari di Kota Kupang, NTT.
Namun, rupanya kecintaannya pada sastra seperti magma yang terus bergejolak jauh di dasar batinnya. Gejolak itu terpaksa Saha tekan dalam-dalam karena ia harus memusatkan perhatiannya pada puisi-puisi konkrit kehidupan bernama pelayanan kesehatan kepada para ibu dan anak-anak mereka di Kupang dan sekitarnya.
Pada 2015, ketika kiprah pelayanan telah mampu dia kelola sedemikian rupa. magma sastra yang bergejolak di dalam dadanya itu tak bisa lagi ia bendung. Seperti lava yang semburat dari kawah gunung berapi, puluhan puisi bernas pun menyembur dari diri Saha. Puisi-puisi tersebut kemudian dikumpulkan dalam beberapa buku Kumpulan puisi antara lain ‘69 Puisi di Rumah Dedari’ (2016), Penulis Mantra (2018), Peladang Kata, Reuni Puisi Sanggar Cipta Budaya SMP Negeri 1 Denpasar, kumpulan puisi bersama (2019), ‘Gajah Mina’, kolaborasi puisi dengan lukisan dan sketsa Made Gunawan (2021), dan ‘Siwanggama’, buku kumpulan puisi tunggal keempat sebagai persembahan Bali Jani Nugraha (2021).
Tentang semua itu, Saha berujar: “Apa yang saya lakukan tidak lepas dari inspirasi almarhum Umbu Landu Paranggi, penyair legendaris yang dianggap guru oleh banyak penyair di Bali. Beliau adalah penggerak sastra dan banyak melahirkan penulis berbakat.”
Dalam berkiprah. Saha sepertinya tidak terlalu bernapsu untuk tampil bersinar di panggung-panggung gemerlap. Ia memilih lebih banyak bergerak di belakang layar, menggagas berbagai kegiatan sastra di Bali, termasuk penerbitan beberapa buku kumpulan puisi tunggal maupun kumpulan puisi bersama.
“Saya ingin menggelorakan ombak sehingga riak-riaknya dirasakan banyak orang. Juga, tak ingin menyebut diri sebagai inisiator tunggal, karena selain saya, teman-teman penyair di Bali juga banyak membantu dalam berbagai kegiatan yang saya buat,” ucapnya.
Berkaca dari gurunya, Umbu Landu Paranggi, Saha berharap dari berbagai kegiatan sastra bisa melahirkan penyair-penyair muda Bali yang secara pencapaian estetik melampaui angkatan-angkatan penyair sebelumnya. Itulah sebabnya ia menginisiasi dan memotori Festival Umbu Landu Paranggi setelah sang Guru berpulang. Dan, “Festival tersebut mendapat respons bagus dari pegiat sastra tak hanya di Bali, tetapi juga di luar Bali,” terangnya sembari mengatakan bahwa dari situ ia saya mendapat semangat baru untuk terus menggerakkan dunia sastra di Bali.
Begitulah, kecintaan Saha pada sastra terus berdenyar meskipun ia berprofesi sebagai dokter. “Dunia kedokteran adalah bidang saya. Saat ingin sejenak keluar dari rutinitas keseharian, misalnya saat tengah malam berada di rumah sakit, membantu banyak persalinan, saya merasakan bahwa kata-kata itu memang mempunyai kekuatan tersendiri. Dan, puisi mengajarkan kita untuk peka terhadap lingkungan di luar diri kita,” ucapnya.
Ditanya tentang mimpi besarnya berkait berbagai aktivisme sastra yang dilakoninya, , Saha menjawab ringan saja. Katanya, ia hanya melangkah apa adanya dengan meyakini bawa karya sastra, khususnya puisi, bisa menjadi inspirasi bagi banyak orang, terutama bagi para pemegang kebijakan untuk melakukan hal-hal mulia.
“Pemimpin sekarang terlalu asyik dengan dunia politik sehingga mereka hanya menjadi penguasa. Padahal, dari mereka lahir kebijakan-kebijakan yang bisa mengubah keadaan yang masih belum baik. Di situlah pentingnya kekuatan kata-kata untuk mengingatkan para pemimpin bangsa,” terangnya.
Lebih jauh, dalam pandangan Saha, Bali kini banyak didera masalah, seperti alih fungsi lahan, kemacetan lalu lintas, sistem kapitalisme yang menguasai berbagai lini kehidupan, hingga kurangnya keberpihakan terhadap orang Bali sebagai pelaku tradisi dan budaya Bali. Terhadap semua itu ia mengatakan dirinya percaya bahwa kata sejatinya adalah mantra.
“Kata dalam susastra mampu mengubah keadaan!” tegasnya.
Saha berharap pada komunitas sastra seperti Jatijagat Kehidupan Puisi dan lainnya agar terus menyalakan semangat sastra, termasuk bagi generasi muda Bali agar mereka terus bisa berkarya dan menyuarakan apa yang mereka rasakan dan pikirkan.
Bagi para penyair dan penulis sastra, Saha mengajak untuk berendah hati dalam pencarian dan tidak cepat merasa puas atas pencapaian yang telah digapai.
“Keluarlah dari zona nyaman, dengan bergaul dengan seniman lintas genre seperti pelukis atau seniman teater. Dari sana akan terjadi komunikasi intens, misalnya dari lukisan dapat ditulis puisi, atau sebaliknya dari puisi, pelukis dapat menuangkannya dalam lukisan,” tandasnya. *** [BEKRAF/Angga Wijaya]