Sun. Oct 13th, 2024

Walu Nata, Reinterpretasi Mitologi dan Tradisi dalam Seni Kontemporer

By Bekraf May 24, 2024

DENGAN mata berkaca-kaca, seorang wanita yang dikhianati memaksa untuk memberikan kesaksian tentang kebenarannya. Dialah Walu Nata, seorang perempuan mitos yang kisahnya melegenda dalam pertunjukan sakral “Calonarang” yang hingga kini dipentaskan di waktu-waktu tertentu di desa-desa di Bali. Dan, adalah Gung Ama Gama, seorang seniman fotografi, tampil untuk “menginterogasi” kisah yang telah nyaris baku dan menjadi sejarah itu dengan perangkat jepret Afghan Box Camera ciptaannya sendiri.

Narasi dari esai foto ritual ini berpusat pada legenda kematian seorang janda di tangan Airlangga, seorang raja Jawa abad kesebelas. Di sini, Gama menata ulang Calonarang, menjadikan Walu Nata sebagai ibu yang murka membela putrinya, Ratna Manggali. Bahwa oleh karena alasan itu Walu Nata dituduh sebagai penyihir oleh ahli-ahli taurat kerajaan. Bahwa kekecewaan dan kemarahan Walu Nata kemudian mengristal menjadi rangda —makhluk gaib bertaring yang mengerikan, yang hingga kini tetap hidup dan berdenyar sebagai mitos dalam kisah Calonarang dan dipentaskan di desa-desa pada waktu-waktu tertentu.

“Melalui kamera ciptaan sendiri yang saya namai Kumbakarna ini saya berusaha menghadirkan gambaran tentang kekuatan seorang perempuan dengan cinta keibuannya melindungi dan memuliakan putrinya,” ujar Gung Ama sembari memaparkan bahwa sudut pandang fotografiknya tersebut terinspirasi dari karya-karya mendiang Cok Sawitri, novelis dan dramawan, yang melakukan terobosan tafsir terhadap sosok Walu Nata yang ia pandang sebagai seorang Perempuan yang kokoh mempertahankan wilayahnya yang terancam punah dan karenanya mendapat fitnah yang mengerikan dari penguasa saat itu.

“Dia dihina, dikucilkan, diserang, dan dihancurkan hanya karena dia berbeda,” imbuh Gung Ama menirukan ucapan Cok Sawitri.

Dalam adegan utama pertunjukan tersebut, Gung Ama menggambarkan Walu Nata menggendong topeng Rangda dengan sangat lembut seolah tengah memeluk dirinya sendiri yang mengerikan dan disalahpahami.

Seluruh jepretan Gung Ama dalam proyek bertajuk Walu Nata ini akan dipamerkan di Logan Center mulai 10 Mei hingga 7 Juli 2024. Pameran ini dikurasi oleh Luh Natalia Granquist guna melengkapi tesisnya yang berjudul “Reframing ”.

Para pendukung proyek ini termasuk Dayu Ani Barali sebagai model Walu Nata, Ni Kadek Thaly Titi Kasih sebagai model Ratna Manggali, Indira Laksmi sebagai desainer kostum, Ayu Suma Lestari sebagai desainer, dan Agung Panji Tresna sebagai penulis naskah. Konsultasi budaya dan topeng Rangda dalam proyek ini dipercayakan pada Dewa Ayu Eka Putri dan Putu Tangkas Adi Hiranmayena dari Fakultas Grinnell College.

Tentang Gung Ama Gama
Gung Ama Gama sendiri adalah seorang fotografer Bali yang menjadi saksi subjek fotografi kolonial. Ia memusatkan praktiknya untuk menghidupkan kembali ingatan budaya. Gama menanggapi kurangnya subjektivitas Bali dalam arsip fotografi dengan menyatukan narasi visual yang mengatasi kesenjangan perspektif ini melalui Afghan Box Camera buatannya sendiri, tanpa bergantung pada warisan imperialistik kamera. Lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), Gama pernah berkolaborasi dengan Museum Nasional Indonesia, Istana Kerajaan Ubud, dan terakhir berkontribusi dalam konser film Samsara. Gama rutin mengadakan workshop bagi komunitas seni lokal Bali di Tegal Temu Creative Space di Batubulan, Bali.

Tentang perangkat jepret bernama Afghan Box Camera yang digunakan untuk merekam adegan-adegan ini, itu adalah alat untuk memproduksi gambar yang awalnya dikenal sebagai kamra-e-faoree, kamera kotak kayu yang memiliki kamar gelap mandiri. Kamera yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950-an di Afganistan ini dapat digunakan untuk melakukan penjepretan gambar secara portabel sekaligus memroses hasilnya di tempat itu juga.

Selanjutnya, Gung Ama Gama melakoni setiap aktifitas berkaryanya dengan kamera yang ia beri nama Kumbakarna, tokoh mitos sakti dalam epos Ramayana. *** [BEKRAF/Abe]

 

By Bekraf

Related Post